Oleh: Merphin Panjaitan.
I.Pendahuluan.
Reformasi Politik di Indonesia, yang berlangsung sejak pemerintahan Presiden Habibie, telah membawa banyak kemajuan dibidang politik, antara lain: konstitusi menjamin pemenuhan martabat manusia serta hak- hak politik dan kebebasan sipil; kebebasan pers; pemilihan umum yang adil, bebas dan demokratis; Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan semua anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum; militer mundur dari politik; dan masa jabatan Presiden dibatasi. Kita telah mencapai banyak kemajuan di bidang politik; Indonesia adalah negara-bangsa yang demokratis. Kebebasan berpendapat, HAM, supremasi hukum dan sistem politik checks and balances telah dimeteraikan. Ditinjau dari perspektif peradaban, revolusi politik di Indonesia telah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa merdeka; yang mendirikan dan menyelenggarakan suatu negara kebangsaan, yaitu Republik Indonesia yang demokrasi, damai dan stabil; dan kemajuan ini adalah suatu prestasi besar yang belum dapat diwujudkan oleh banyak bangsa di bumi ini. Setelah Perubahan UUD 1945, Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat.
Sayangnya, pola pikir dan perilaku kita masih terbelakang; kita lebih mengedepankan status ketimbang prestasi. Status sosial adalah segala-galanya, prestasi kerja kurang dihargai. Pangkat dan jabatan, gelar akademik dan gelar lainnya; serta rumah, kendaraan dan harta benda lainnya adalah simbol status. Walaupun Jakarta telah dikepung oleh kemacetan lalulintas, keluar rumah harus dengan mobil pribadi, karena mobil pribadi bukan sekedar alat transportasi, tetapi juga berfungsi sebagai simbol status. Gelar pendidikan dipajang berderet-deret, tetapi pada waktu yang sama prestasi kerja dianggap tidak penting. Jabatan politik diburu, kalau perlu dengan menuang banyak uang. Dan kalau sudah didapat tidak digunakan untuk melayani rakyat, tetapi digunakan untuk menumpuk kekayaan yang kemudian akan digunakan untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi lagi. Jabatan bukan untuk kebaikan bersama, tetapi untuk meningkatkan statusnya. Emosi dipupuk dan rasio dikubur dalam-dalam. Dan dalam interaksi dengan warga masyarakat yang berbeda, terutama yang berbeda agama, kebencian dan permusuhan dikobarkan. Persaudaraan kebangsaaan Indonesia dilupakan; kita sering konflik dengan sesama warga bangsa. Kita lupa memperkuat daya saing nasional; dan sering lupa dengan kehormatan bangsa. Kondisi ini menjadi ancaman bagi keberadaan Indonesia, dan oleh karena itu harus segera di atasi. Persaudaraan kebangsaan Indonesia sedang terkoyak, dan kita harus segera merajutnya kembali.
Persaudaraan kebangsaan Indonesia bukan suatu yang terjadi dengan tiba-tiba, tetapi hasil dari perjalanan hidup bersama, dalam waktu yang panjang. Proses ini berlangsung ribuan tahun, sejak bertumbuhnya kehidupan kelompok-kelompok manusia di Nusantara, berkembang tahap demi tahap dan masuk ke dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Persaudaraan ini harus terus dipupuk dengan selalu mengedepankan kebaikan bersama. Penderitaan seseorang dirasakan yang lain, dan kemudian bersama-sama mengatasinya. Nilai persaudaraan bertolak dari pengakuan bahwa semua manusia bersaudara, dan diwujudkan dalam sikap: “semua bertanggung jawab untuk semua”. Semua warga dapat berbagi rasa dan berbagi beban, berbagi suka dan berbagi duka; dan tolong menolong adalah penerapan nilai persaudaraan yang paling mudah dan manusiawi. Persaudaraan kebangsaan Indonesia adalah perkembangan lebih lanjut dari persaudaraan yang dalam keluarga, kemudian masuk ke dalam kehidupan bersama dalam masyarakat dan negara. Persaudaran kebangsaaan Indonesia bukan sesuatu yang terjadi tiba-tiba, tetapi hasil dari perjalanan hidup bersama yang panjang, yang harus terus dipupuk dengan mengedepankan kebaikan bersama.
Agenda politik Indonesia 2020 – 2045 adalah penerapan persaudaraan kebangsaan Indonesia dalam rangka pemantapan demokrasi di Indonesia, untuk memperkuat Indonesia agar mampu menjawab berbagai tantangan bangsa di masa depan ini. Mampu menghentikan kebencian dan permusuhan di antara berbagai kelompok masyarakat, dan menggantikannya dengan toleransi, dialog yang setara, dan hidup rukun; mampu mandiri dan memperkuat daya saing nasional di pasar global; mampu mengatasi permasalahan bangsa yang menghadang, antara lain pertumbuhan penduduk yang terlalu tinggi. Kita akan melanjutkan perjuangan ini, antara lain dengan melanjutkan politik kebangsaan Indonesia; mempercepat pembentukan daerah otonom baru; menyederhanakan pemilihan umum; memperkuat peranan perempuan di bidang politik; dan semua itu akan kita laksanakan dengan kerja keras dan gotongroyong.
II. Politik kebangsaan dilanjutkan.
Republik Indonesia adalah suatu negara-bangsa. Kongres Pemuda II, yang dilaksanakan pada 26-28 Oktober 1928, di Jakarta, menghimpun semua organisasi pemuda menjadi satu kekuatan nasional. Kongres ini membawa semangat nasionalisme ke tingkat yang lebih tinggi. Semua utusan yang datang mengucapkan sumpah setia “Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia”. Sumpah tersebut berbunyi sebagai berikut: 1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia; 2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; 3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945, oleh Sukarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia, menyatakan: Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dll, diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama menyatakan: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dalam Sidang Konstituante timbul perbedaan mengenai dasar negara yang akan dituangkan dalam undang- undang dasar pengganti UUD Sementara, dan akibatnya Sidang Konstituante macet. Lembaga negara yang sudah bekerja sejak November 1956 hingga April 1959, belum berhasil menyusun undang-undang dasar yang baru. Oleh karena itu dalam pidato di depan Sidang Konstituante 22 April 1959, Presiden Soekarno menganjurkan agar memberlakukan kembali UUD 1945. Pada 30 Mei 1959 dilakukan pemungutan suara terhadap usul Pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Hasilnya ialah setuju 269 suara lawan tidak setuju 199 suara, dan anggota yang hadir 474 orang. Artinya, tidak tercapai dua pertiga suara seperti yang disyaratkan UUDS 1950 pasal 137 ayat (2) yang menyatakan: Undang-Undang Dasar baru berlaku , jika rancangannya telah diterima dengan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah suara anggota yang hadir dan kemudian disahkan oleh Pemerintah. Sesuai dengan ketentuan tata tertib Kostituante, diadakan pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan suara terachir dilakukan pada 2 Juni 1959, dan jumlah suara dua pertiga tetap tidak tercapai, dan keesokan harinya, 3 Juni 1959, Konstituante reses dan ternyata untuk selamanya.
Pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit Presiden, yang dikenal dengan sebagai “Dekrit 5 Juli 1959”. Inti Dekrit 5 Juli 1959 ialah: 1. Pembubaran Konstituante; 2. UUD 1945 berlaku kembali; dan 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan pembentukan Dewan Pertimbangan Agung. Dalam waktu yang kritis, ketika keadaan negara membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa, dan partai-partai politik sebagai keseluruhan tidak berdaya, Presiden Soekarno dan TNI muncul sebagai kekuatan politik yang mengatasi kemacetan itu. Gagalnya upaya kembali ke UUD 1945 melalui Konstituante dan rentetan peristiwa politik yang mencapai klimaks dalam bulan Juni 1959, membuat Presiden Soekarno sampai kepada kesimpulan bahwa: “keadaan ketatanegaraan telah membahayakan persatuan dan kesatuan negara, nusa, dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur”.
Politik kebangsaan harus terus dilanjutkan, karena Republik Indonesia adalah negara–bangsa, dan tidak akan ada masa depan bersama di luar itu. Ancaman, hambatan dan gangguan masih akan berlangsung lama, dan oleh karena itu dibutuhkan kesabaran serta ketekunan menghadapinya. Walaupun disadari politik kebencian/permusuhan akan merusak persaudaraan kebangsaan Indonesia, tetapi politik ini masih akan berlanjut, karena politisasi agama masih berjalan dan memberi keuntungan terhadap pihak-pihak tertentu. Sebelum perubahan UUD 1945 yang berlangsung dari tahun 1999 sd 2002, MPR telah sepakat bahwa dalam perubahan ini Pembukaan UUD 1945 tetap, dan perubahan pasal-pasal mengacu pada Pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia semakin kuat, dan tidak boleh diutak-atik lagi; perbedaan diantara anak bangsa hanya pada penafsirannya; yang kemudian dimusyawarahkan untuk menghasilkan kesepakatan, yang kemudian ditetapkan dalam pasal-pasalnya. Walaupun sekarang kita melihat posisi Pancasila sebagai dasar negara telah semakin kuat, tetapi ancaman terhadap Pancasila masih tetap kuat. Untuk menghadapi ancaman tersebut, politik kebangsaan harus terus diperkuat, dan untuk itu pemimpin negara di semua tingkatan hendaknya adalah nasionalis sejati, yang menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan lainnya: kepentingan pribadi, kelompok ataupun golongan.
III. Pembentukan daerah otonom baru dipercepat.
Bagi Indonesia dan bagi banyak negara lainnya, demokrasi adalah pilihan, oleh karena demokrasi adalah tatanan kenegaraan yang paling sesuai dengan martabat manusia. Demokrasi menghormati dan menjamin pemenuhan hak asasi manusia; mengakui bahwa manusia dilahirkan merdeka dengan martabat dan hak yang sama. Tatanan pemerintahan negara yang lain tidak mengakui kesetaraan manusia, bahkan dengan jelas menyatakan bahwa martabat manusia itu berbeda-beda. Ada manusia dengan martabat “tuan” dan ada masyarakat biasa.“Tuan” mendapat tugas suci untuk memerintah, dan masyarakat biasa harus menerimanya dengan ucapan terima kasih. Aristokrasi menganggap yang layak memerintah adalah para bangsawan, dan yang lainnya harus patuh dan taat. Monarki absolut meyakini kebenaran bahwa raja dan keturunannya yang mendapat “tugas” memerintah, dan masyarakat luas harus mematuhinya. Otokrasi adalah pemerintahan satu orang kuat, yang biasanya harus bertindak kejam kepada orang-orang yang mengkritiknya. Seorang otokrat memperlakukan orang yang berbeda pendapat sebagai musuh yang harus dibungkam, dipenjarakan atau dibunuh. Tindakan kejam ini seringkali diberikan pembenaran ideologi atau cita-cita, dengan alasan semua yang dia lakukan ini semata-mata demi kepentingan rakyat. Seorang otokrat tidak membedakan kepentingan umum dengan kepentingan pribadi, karena semua kepentingan menjadi kepentingan pribadi. Oligarki adalah pemerintahan oleh sedikit elite politik, yang seringkali mengadakan kerjasama dengan elite lainnya, elite bisnis atau bahkan elite agama.
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan negara yang paling bijaksana dan paling aman yang pernah ditemukan manusia, karena demokrasi merefleksikan paradoks manusia. Di satu sisi demokrasi menjunjung tinggi martabat manusia citra Allah, dan oleh karena itu demokrasi menolak pemerintahan negara tanpa persetujuan dari rakyat. Tetapi di sisi lain demokrasi menyadari kecenderungan manusia berbuat buruk akibat dari kejatuhannya ke dalam dosa, dan oleh karena itu demokrasi menolak pemberian seluruh kekuasaan negara ke dalam tangan satu atau beberapa orang saja. Demokrasi menuntut dengan tegas pembagian kekuasaan negara, untuk melindungi manusia dari kecongkakan dan kebodohan mereka sendiri. Reinhold Niebuhr secara ringkas merumuskannya sebagai berikut: Kemampuan manusia berpikir dan berbuat adil, membuat demokrasi menjadi mungkin, dan kecenderungan manusia untuk berpikir dan bertindak tidak adil, membuat demokrasi menjadi keharusan.
Secara vertikal kekuasaan negara di bagi kepada pemerintahan nasional dan pemerintahan daerah provinsi, dan kabupaten/kota. Pemerintahan daerah adalah mitra kerja lebih rendah pemerintahan nasional, dalam melayani masyarakat, sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing. Pendelegasian sebagian dari kekuasaan negara kepada pemerintahan daerah dikenal sebagai otonomi daerah, dengan maksud untuk mendekatkan kekuasaan negara kepada masyarakat. Semakin dekat kekuasaan negara kepada masyarakat, semakin mudah masyarakat berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara, mulai dari pemilihan penyelenggara negara sampai dengan proses penetapan kebijakan publik, pelaksanaan dan evaluasinya. Setelah 5 tahun moratorium penambahan daerah otonom, wacana tentang perlunya penambahan daerah otonom baru marak kembali; banyak kelompok masyarakat yang menuntut penambahan provinsi baru; tetapi banyak pihak sering menganggap bahwa penambahan daerah otonom membutuhkan banyak biaya.
Pembentukan daerah otonom baru harus dilaksanakan untuk memperkuat demokrasi, terutama dengan mendekatkan kekuasaan negara kepada rakyat. Demokrasi membutuhkan kondisi yang kondusif bagi komunikasi dialogal antara masyarakat dengan pemerintahan daerah, yang tentunya akan lebih mudah tercapai apabila daerah otonom tidak terlalu luas dan atau terlalu padat penduduknya. Saya berpendapat, akan lebih demokratis kalau sampai tahun 2045 Indonesia memiliki sekitar 100 provinsi, dan sekitar 2000 kabupaten/kota. Penambahan daerah otonom secara besar-besaran ini harus disertai dengan pengurangan jumlah pejabat negara di masing-masing daerah otonom. Anggota DPRD provinsi: 11 – 15 orang, anggota DPRD kabupaten: 7 – 9 orang, dan anggota DPRD kota: 9 – 13 orang. Kecamatan dihapus, karena dapat menghambat interaksi antara pejabat negara di kabupaten/kota dengan masyarakat setempat; dan kepada pemerintahan desa/kelurahan diberikan otonomi daerah. Pembentukan daerah otonom baru tidak harus dengan menambah pengeluaran anggaran, hingga memberatkan APBN; tetapi dapat dijalankan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
Pulau Sumatera dengan luas 447.000 km2, menjadi 25 provinsi dan 500 kabupaten/kota. Pulau Jawa dengan luas 130.000 km2, menjadi 30 provinsi dan 700 kabupaten/kota. Pulau Kalimantan dengan luas sekitar 508.000 km2, menjadi 20 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Pulau Sulawesi dengan luas sekitar 194.000 km2, menjadi 10 provinsi dan 200 kabupaten/kota. Papua dengan luas sekitar 425.00 km2, menjadi 5 provinsi dan 100 kabupaten/kota. Wilayah lainnya menjadi 10 provinsi dan 200 kabupaten/kota. Pulau-pulau yang cukup besar seperti Nias, Madura, Lombok, Sumbawa, Sumba, Timor Barat, Flores dan Buton masing-masing menjadi provinsi. Kepulauan Sangir Talaud dan Maluku Tenggara, walaupun tidak terlalu luas dan tidak banyak penduduknya, tetapi oleh karena letaknya terpencil membutuhkan kekuasaan negara yang lebih besar, dan untuk itu sebaiknya masing-masing dijadikan provinsi dengan 7-10 kabupaten/kota. Selanjutnya masih banyak lagi pulau-pulau terpencil, terutama di bagian terluar wilayah Indonesia, dalam upaya mempercepat kemajuan wilayah tersebut, sekaligus dalam upaya mempertahankan keberadaannya di Indonesia, walaupun kurang luas dengan penduduk sedikit (misalnya sekitar 10.000 jiwa) perlu dipertimbangkan untuk dijadikan kabupaten atau kota. Demikian pula dengan daerah-daerah di pegunungan yang penduduknya cukup banyak, otonomi daerahnya perlu ditingkatkan, seperti Tana Toraja akan lebih baik kalau dijadikan provinsi. Di DKI Jakarta, dengan alasan yang sama sebaiknya dibentuk sekitar 20 kota otonom. Kota-kota besar seperti Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya dan Makasar ditambah dengan daerah sekitarnya, dijadikan provinsi, dan kota-kota tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kota otonom. Dengan demikian terbentuk kota yang lebih kecil.
Pusat-pusat kekuasaan negara tersebar luas di seluruh wilayah negara, dan kondisi seperti ini kondusif bagi pengendalian proses penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh rakyat, dan bagi pemerintahan daerah akan mempermudah penentuan berbagai pelayanan publik yang tepat dan cepat. Keuntungan lain dari banyaknya provinsi, kabupaten dan kota, akan membuat gaji dan fasilitas anggota DPRD, gubernur, bupati dan walikota menjadi lebih kecil, sehingga jabatan ini tidak dapat digunakan untuk menjadi kaya dan bersenang-senang. Kondisi seperti ini mendukung penerapan etika politik. Pejabat negara dipercayai rakyat untuk melayani rakyat, bukan melayani kepentingannya sendiri, oleh karena itu menjadi kaya karena jabatan kenegaraan adalah sesuatu yang tidak etis. Di negara-negara demokrasi, biasanya gaji seorang pejabat negara lebih rendah dari gaji pejabat yang setingkat di perusahaan swasta. Ke depan ini diharapkan warganegara yang mencalonkan diri menjadi pejabat negara, termasuk menjadi anggota DPRD, gubernur, bupati dan walikota adalah warganegara yang ingin melayani masyarakat lebih banyak dari sebelumnya, dan bukan karena ingin menambah kekayaan.
IV. Penyerderhanaan pemilihan umum.
Demokrasi berangkat dari asumsi, bahwa semua warganegara dewasa mampu ikut serta mengurus negara, sebagaimana mereka mampu mengurus dirnya sendiri. Dalam negara demokrasi, pemerintahan berlangsung atas persetujuan dari rakyat. Penyelenggara negara, khususnya pimpinan eksekutif dan anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum. Rakyat paling mengetahui tentang siapa yang layak menjadi penyelenggara negara. Pemilihan Umum adalah suatu prosedur demokrasi dengan berbagai fungsi yang saling terkait, antara lain: fungsi legitimasi politik, melalui pemilihan umum keabsahan penyelenggara negara ditegakkan, begitu pula kebijakan dan program yang dihasilkannya; fungsi pemilihan/ penentuan penyelenggara negara, baik eksekutif maupan legislatif langsung oleh rakyat siempunya kedaulatan atas negara; fungsi mekanisme sirkulasi elite politik yang berlangsung secara damai; fungsi penjatuhan sanksi politik oleh rakyat kepada penyelenggara negara yang gagal dalam menjalankan tugasnya dengan tidak memilihnya kembali dalam pemilihan umum; fungsi pendidikan politik bagi rakyat yang bersifat langsung, terbuka dan massal.
Mempelajari fungsi-fungsi diatas, pemilihan umum sangat strategis dalam penyelenggaraan suatu negara demokrasi. Banyak pakar berpendapat bahwa suatu negara dapat dikatakan demokrasi kalau di negara tersebut dilaksanakan pemilihan umum yang bebas, adil, kompetitif dan berkala. Melalui pemilihan umum demokratis, yang diikuti oleh warganegara dengan kesadaran dan pengetahuan demokrasi yang cukup, baik sebagai calon maupun sebagai pemilih, dapat diharapkan akan terpilih calon yang demokratis, mampu, adil, rendah hati dan melayani. Agenda politik ke depan, antara lain menyempurnakan sistem pemilihan umum. Pemilihan anggota DPR RI dan anggota DPRD sebaiknya dijalankan dengan sistem distrik dengan banyak anggota (multi member district system), misalnya dalam satu distrik pemilihan disediakan antara 4 sd 12 kursi. Pemilihan Umum dijalankan dua kali, yaitu Pemilihan Umum Nasional untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR RI dan DPD RI; dan Pemilihan Umum Lokal untuk memilih Kepala Daerah dan anggota DPRD; dan kedua Pemilihan Umum ini dilaksanakan pada waktu yang berbeda.
Pada tahun 2045 diharapkan: Demokrasi di Indonesia semakin mantap; jumlah partai politik berkurang menjadi 2 sd 4 partai; para politisi semakin cerdas dengan kinerja politik semakin baik; mekanisme checks and balances semakin mantap. Dialog dan partisipasi politik masyarakat meningkat kualitasnya; politisasi agama berkurang; anggota TNI dan Polisi memperoleh hak memilih; sentimen premordial berkurang dan pilihan politik lebih berdasarkan prestasi kerja para calon dan partai politik. Partai politik menjadi lebih besar dan merakyat, dan akan lebih baik kalau ada partai politik yang berusaha menjadi partai 50 plus 1.
V. Penguatan perempuan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaran.
Sekarang ini, Indonesia menghadapi masalah berat yang harus ditanggulangi segera, antara lain: pertama, pola pikir dan perilaku masyarakat kita masih sangat terbelakang, yaitu masyarakat emosional berorientasi status; dan kedua, angka pertumbuhan penduduk Indonesia sangat tinggi. Pilpres 2019 yang lalu memperlihatkan interaksi masyarakat yang berbeda pilihan Presiden penuh kebencian dan permusuhan; dan sikap seperti ini, kalau tidak segera diperbaiki akan membahayakan keberadaan bangsa dan negara Indonesia. Masyarakat Indonesia harus segera berubah, dari masyarakat emosional berorientasi status menjadi masyarakat rasional berorientasi prestasi. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang terlalu tinggi ini sudah menjadi penghalang besar bagi kemajuan Indonesia sekarang ini; dan di kemudian hari nanti, akan berubah menjadi bencana sosial dan bencana alam yang sangat sulit ditanggulangi. Di era modern ini, pertumbuhan penduduk Indonesia sangat cepat. Pada tahun 19930 penduduk Indonesia sekitar 60 juta, 1960: 87,79 juta, 1970: 114,8 juta, 1980: 147,5 juta, 1990: 181,4 juta, 2000: 211,5 juta, 2010: 242,5 juta, dan pada 2017: 264 juta. Sebagai perbandingan, penduduk Amerika Serikat tahun 1960: 187,7 juta, 1970: 205,1 juta, 1980: 226,5 juta, 1990: 250,1 juta, 2000: 282,2 juta, 2010: 309,3 juta, dan 2017: 325,7 juta. Pertumbuhan penduduk Rusia sangat lambat, dan beberapa tahun terakhir ini telah stabil, tahun 1960: 119,9 juta, 1970: 130,4 juta, 1980: 139 juta, 1990: 148,3 juta, 2000: 146,6 juta, 2010: 142,8 juta, dan tahun 2017: 144,5 juta. Pertumbuhan penduduk Indonesia yang sanat cepat ini, harus segera dikendalikan, Kalau ke depan ini, pertumbuhan penduduk Indonesia masih seperti sekarang ini, pada tahun 2070 penduduk Indonesia akan meningkat menjadi dua kali lipat dari sekarang, yakni sekitar 540 juta jiwa.
Menghadapi dua permasalahan besar ini, saya menawarkan gagasan seperti ini. Sejak sekarang, ke masa depan nanti, peranan dan karir perempuan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan ditingkatkan dengan cepat, hingga dalam 10 tahun, posisi perempuan dan laki-laki dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan menjadi seimbang; perempuan dan laki-laki berbagi sama pekerjaan dan jabatan dalam negara dan masyarakat. Dengan semakin berperannya perempuan dalam lembaga negara dan masyarakat, diharapkan kebencian dan permusuhan dalam kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan akan sangat berkurang, dan kondisi ini kondusif terhadap peningkatan kinerja dan produktifitas masyarakat dan negara. Dan yang lebih penting, banyaknya perempuan yang kerja, berkarir dan berperan di dalam masyarakat dan lembaga negara, akan menurunkan angka kelahiran bayi, dan dengan demikian akan menurunkan angka pertumbuhan penduduk. Kita bisa berharap, pada tahun 2070 jumlah penduduk Indonesia bertahan di sekitar 350 juta sd 400 juta, dan pada tahun 2120 bertahan di sekitar 500 juta dengan angka pertumbuhan nol. Sehubungan dengan pemikiran ini, saya pikir akan lebih baik kalau dalam Pilpres 2024 ada calon Presiden perempuan.
VI. Kerja keras dan gotongroyong.
Gotongroyong adalah kerjasama sukarela dalam persaudaraan, setara, bantu membantu dan tolong menolong untuk kebaikan bersama. Gotongroyong telah berlangsung di Indonesia sejak puluhan atau bahkan ratusan ribu tahun lalu, dimulai pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, sejak kelompok-kelompok manusia mulai berburu hewan besar. Manusia gotongroyong adalah manusia merdeka, dan keikutsertaannya dalam gotongroyong adalah sukarela, tanpa paksaan dari pihak manapun. Manusia merdeka derajatnya setara, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah; dan tidak ada yang bisa memaksakan kehendaknya terhadap yang lain. Manusia merdeka terbebas dari rasa ketidakberdayaan dan ketergantungan; merdeka dalam menentukan pikiran dan tindakannya; tidak berada dibawah kekuasaan pihak lain; menghargai kemerdekaan orang lain, sebagaimana dia menghargai kemerdekaannya. Manusia merdeka rasional dan toleran, dan menempatkan tingkah-lakunya di bawah kendali akal sehat; suka mengambil inisiatif dan melaksanakannya dengan senang hati; menerima akibat dari perbuatannya, berhasil ataupun gagal; mereka menggunakan kemerdekaannya dan memikul tanggung jawab atas pilihannya. Manusia merdeka bersikap toleran, yaitu mengakui hak menentukan sendiri yang dimiliki orang lain. Toleransi menghormati kemerdekaan pribadi; kemerdekaan pribadi mendapat perlindungan dari tirani penguasa dan tirani mayoritas. Walaupun kehendak mayoritas akan menjadi kebijakan negara, tetapi harus dihindari perampasan kemerdekaan individu. Toleransi dibutuhkan oleh karena disadari tidak ada manusia yang mempunyai kebenaran mutlak sepanjang masa; toleransi juga perasaan jujur dari dalam diri manusia, bahwa mungkin saja kebenaran ada di pihak lain. Manusia toleran mendengarkan pendapat orang lain, termasuk yang dianggap salah; menyanggahnya dengan adu argumentasi dan tidak menyerang pribadi yang mengemukakan pendapat tersebut. Gotongroyong diawali dengan musyawarah, karena gotongroyong adalah kerjasama manusia merdeka yang setara; musyawarah adalah proses pengambilan mufakat dengan mendengarkan, memperhatikan dan mempertimbangkan pendapat dari berbagai pihak yang berkepentingan. Isi mufakat adalah gabungan dari berbagai gagasan yang sesuai dengan kepentingan bersama; dan oleh karena itu, mufakat yang dihasilkan dalam suatu musyawarah sering lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Komunitas kreatif bangsa ini menciptakan cara perjuangan yang baru; dimulai dengan kesadaran sebagai suatu bangsa merdeka, yakni bangsa Indonesia; dan bergotongroyong mendirikan suatu negara berdaulat, yakni Republik Indonesia, dan mereka adalah kaum pergerakan nasional. Persaudaraan kebangsaan Indonesia menyadarkan bahwa bangsa Indonesia itu ada, hidup di Nusantara, merupakan persekutuan manusia merdeka yang sederajat. Melalui perjumpaan dengan ideologi nasionalisme yang datang dari Peradaban Barat, timbul kesadaran kebangsaan Indonesia, yang menjiwai para tokoh pergerakan nasional, dan kemudian meluas ke berbagai kelompok masyarakat. Komunitas kreatif di Indonesia, yang terdiri dari kaum terpelajar, yang melihat penguasa Hindia Belanda berlaku tidak adil, diskriminatif dan eksploitatif. Mereka menyadari bahwa Kerajaan Belanda tidak berhak memerintah di Indonesia. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat Nusantara adalah satu bangsa, yakni bangsa Indonesia, dan sama dengan bangsa-bangsa lainnya, berhak menjadi bangsa merdeka dan mendirikan negara sendiri. Mereka mengubah cara melawan penguasa penjajah, dengan berjuang, belajar dan mengambil sebagian unsur-unsur Peradaban Barat. Perlawanan terhadap penguasa kolonial dengan cara tradisional yang berideologi religio-magis dan kepemimpinan kharismatik telah gagal; dan dibutuhkan cara perjuangan modern, dan untuk itu perlu mengambil beberapa unsur Peradaban Barat. Cara perjuangan tradisional diganti dengan cara perjuangan baru yang rasional dengan ideologi nasionalisme dan organisasi modern.
Cara hidup gotongroyong diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, dan bertahan sampai sekarang. Dibagian akhir pidato 1 Juni 1945 dalam Sidang BPUPKI, Soekarno menyatakan bahwa Negara Indonesia haruslah Negara gotongroyong. Gotongroyong adalah membanting tulang bersama, memeras keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu. Amal semua buat kepentingan semua; keringat semua buat kebahagiaan semua. Soekarno mengusulkan gotongroyong dalam menyelenggaraan negara Republik Indonesia, yang akan membawa kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia; semua bekerja dan semua berbahagia. Cara hidup gotongroyong telah mewujud dalam Sumpah Pemuda, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan Pembukaan UUD 1945.
Merphin Panjaitan: Penulis buku Logika Demokrasi, Peradaban Gotongroyong dan Tuhan Memberkati Indonesia dan Penasehat Perkumpulan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI).