MENGENAL DAN MENGENANG
Ephorus (Em.) Pdt. Dr. DR (Hc) SAE Nababan LLD
Oleh: Padmono Sk
Berita kembalinya Pdt. Dr. SAE Nababan ke pangkuan Bapa di Surga Sabtu sore (8 Mei 2021) cukup mengejutkan. Walaupun saya sudah mendengar kesehatan beliau “naik turun” dan saya berdoa untuk kekuatan dan pemulihan beliau, namun ketika Tuhan memanggilnya untuk pulang ke pangkuan-Nya, saya cukup terkejut.
Betapa tidak, Pak SAE Nababan – begitu beliau dikenal – temasuk orang yang tegar. Tepat setahun yang lalu, beliau mengalami sakit dan menjalani perawatan di rumah sakit. “Saya kira saya akan lewat”, kata beliau setelah pulih. Waktu itu saya diundang ke rumahnya.
Yah, selama beberapa bulan saya berkomunikasi secara intensif sehubungan dengan penerbitan kumpulan tulisan dan kotbah serta otobiografinya berjudul “Selagi Masih Siang”. Saya dipercaya untuk menyeleksi dan merngedit kumpulan kotbah dan tulisan itu melalui adiknya Pak Indera Nababan di PMK HKBP Jakarta. Puluhan tulisan dan ribuan halaman di sebuah tas besar diberikan untuk diseleksi dan diedit menjadi buku.
Pelan-pelan saya memilahnya dan membacanya. Luarbiasa! Membaca tulisan pak SAE yang begitu banyak saya merasa mendapat banyak ilmu. Barangkali kalau di perkuliahan, ilmu yang diajarkan melalui tulisan-tulisan itu bisa mencapai dua semester penuh atau lebih. Pengalaman hidup sebagai seorang pendeta dan aktivis oikumenis di tingkat dunia terasa dalam tulisan-tulisannya. Saya memilah-milah dan menjadikannya tiga buku: (1) Kepemimpinan, Adat, dan Pemuda; (2) Gerakan Oikumene dan Penginjilan; dan (3) Perdamaian dan Pembaruan.
Ketiga buku itu sarat dengan pemikiran teologis. Pak SAE begitu piawai dalam menjelaskan isi Alkitab sehingga pembaca dapat memahami maksud Firman Tuhan dengan terang benderang. Tak sekadar mencocok-cocokkan dengan keadaan sekarang seperti yang sering kita dengar dari banyak pendeta di televise, tetapi pak SAE mengajak pembaca memahami Firman Tuhan dalam konteks historis dan mengaplikasikannya secara kontekstual kini dan di sini. Terutama dalam konteks sekarang dalam buku-bukunya itu pak SAE mengingatkan bagaimana gereja (dan orang beriman) harus bersikap secara benar! Bahaya-bahaya yang mengancam gereja dijelaskan secara gamblang, ancaman dan tipuan yang datang dari sistem neoliberalisme.
Karena itu teologi keseimbangan yang dikembangkannya sejak beberapa puluh tahun lalu masih sangat relevan. “Sebab kamu dibebani bukanlah supaya orang lain mndapat keringanan tetapi supaya ada keseimbangan. Maka hendaklah sekarang ini kelebihan kamu mencukupkan kekurangan mereka, agar kelebihan mereka kemudian mencukupkan kekurangan kamu, supaya ada keseimbangan” (2 Kor. 8: 13-14).
Itu teologi keseimbangan beliau kembangkan selama berpuluh tahun menjadi pendeta dan aktif dalam gerakan oikumene se dunia. Dalam gerakan keesaan se dunia, beliau sangat gigih memperjuangkan gereja-gereja di negara-negara belahan bumi selatan yang miskin. Pun kepada gereja dari negara-negara miskin beliau selalu ingatkan, “mereka (negara-negara belahan utara) lebih maju dan kaya bukan karena Tuhan lebih menyayangi mereka, tetapi mereka lebih dahulu menguasai ilmu pengetahuan”. Itu sebabnya beliau sangat peduli kemajuan gereja dari belahan dunia selatan.
Kepedulian itu ditunjukkan ketika WCC (Dewan Gereja se-Dunia) mau merumuskan tema Sidang Raya tahun 1983 di Vancouver Kanada. Gereja-gereja bagian Utara mau merumuskan, “peace, justice, and integrity of creation”. Beliau katakana, bukan kedamaian dulu, tetapi keadilan dulu. Kenapa? Karena kalau perdamaian didahulukan bisa dimanipulasi. Karena itu temanya diubah, Justice, Peace and Integrity of creation (Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan). Soal kedamaian itu juga yang beliau singgung berkali-kali. Beliau kritik secara tajam tulisan-tulisan yang berbunyi “damai itu indah”. Menurut beliau pemahaman seperti itu adalah pendekatan kekuasaan. Bagi beliau, keadilan itulah yang harus didahulukan dan akan tercipta kedamaian. Seperti seruan dalam kitab Amos, “….. biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang mengalir” (Amos 5: 24).
Pengalaman perjalanan pak SAE itu dituangkan dalam biografinya yang diberi judul SELAGI MASIH SIANG, diterbitkan BPK Guning Mulia tahun 2020. Buku itu sebenarnya sudah ditulis beberapa tahun sebelumnya dan sudah siap untuk diterbitkan. Namun beliau kurang berkenan dengan editingnya. Ketika saya selesai mengedit kumpulan tulisan dan kotbah beliau, baru naskah biografi itu diberikan ke saya. “Tolong kamu edit dulu, biar diterbitkan”, kata beliau. Isterinya, Ibu Alyda mendorong buku itu segera jadi dan terbit. Maka saya baca lagi dan edit di sana-sini, melancarkan bahasanya. Akhirnya dalam perjalanan waktu beliau minta BPK yang menerbitkan mengingat puluhan tahun pak SAE sebagai Sekum DGI (sekarang PGI) memilkiki kedekatan dengan BPK. Judul yang semula hanya berbunyi “Catatan Perjalanan Soritua Nababan”, melalui diskusi yang panjang berubah menjadi Selagi Masih Siang.
Di kalangan gereja baik di Indonesia, Asia maupun Dunia, pak SAE Nababan memang dikenal sebagai pejuang yang gigih dalam gerakan oikumene. Beliau selalu hadir dalam kesulitan yang dihadapi gereja di manapun.
Ketokohannya dalam gerakan oikumene taka da yang meragukan! Saya pikir, kecemerlangannya berorganisasi itu menurun dari ayahnya, Ayahnya, Jonathan Nababan, adalah Ketua Afdeling, gabungan pemuda Kristen di Solo ketika masih bersekolah di HIK di Solo, dan pernah memimpin pertemuan pemuda Kristen di Padalarang tahun 1927 dan di Kaliurang Jogjakarta.
Namun bagi saya, untuk bangsa Indonesia khususnya untuk kehidupan gereja dan kehidupan beragama, beliau bukan sekadar tokoh oikumenis, Beliau adalah symbol ketegaran gereja dan agama menghadapi tekanan dan campur tangan pemerintah dan kekuasaan. Ketika dipilih sebagai Sekretaris Umum DGI tahun 1967, DGI segera dihadapkan dengan situasi beragama yang sulit. Pemerintah melakukan dialog antaragama dan menyiapkan konsep kesepakatan yang melarang penyebaran agama kepada orang yang sudah beragama. Dialog itu gagal karena DGI dan MAWI (kini KWI) menolak menandatangani kesepakatan itu. Kegagalan tersebut mendorong Pemerintah mengeluarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri no. 1 tahun 1969 yang intinya merupakan rumusan yang ditolak termasuk tatacara mendirikan tempat ibadah!
Sikap gereja-gereja yang diwakili DGI (dan MAWI) yang menolak untuk menyetujui konsep kesepakatan yang disiapkan Pemerintah menunjukkan ketegaran gereja dan ketaatan Gereja pada Tuhan Allah yang mengutusnya untuk mewartawakan Injil kepada dunia ini. Tak terkecuali, injil harus diwartakan kepada semua orang karena Tuhan menghendaki semua orang diselamatkan! Ini perintah Tuhan yang tidak boleh dihambat oleh manusia, dan itu hak azasi manusia!
Namun kegagalan dialog itu tak menghentikan niat Pemerintah untuk berhenti mengganggu kehidupan gereja atau malah mencampuri urusan gereja. Tahun 1973 Pemerintath mengintrodusir UU Perkawinan. Di sana lagi-lagi ada benturan antaragama! Lalu setelah tahun Sidang Umum MPR 1978, Menteri Agama Alamsyah Ratuperwiranegara mengeluarkan SK no. 70 dan 77 tahun 1978. Lagi-lagi isinya tidak berbeda dengan isi dialog antaragama yang gagal disepakati! Lalu tahun 1982 keluar edaran Menteri Agama yang melarang pejabat untuk menghadiri upacara keagamaan yang berbeda dari agama yang dianutnya.
DGI sebagai representasi dari gereja-gereja Kristen Protestan di Indonesia gigih dalam soal itu. DGI (kini PGI) semakin tegar, kokoh di atas dasar imannya kepada Tuhan Yesus, dan menolak niat penguasa untuk campurtangan di dalam kehidupan gereja! Setelah semua itu terjadi Pemerintah dengan dalih melaksanakan TAP MPR tahun 1983 mengintrodusir UU Keormasan dan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Gereja-gereja pun dipaksa untuk mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam Anggaran Dasarnya. Itu berarti Gereja harus mengubah dasar imannya dan menggantinya dengan ideology negara.
Penyelesaian masalah itu cukup rumit. Pak SAE Nababan sebagai Sekretaris Umum bersama seluruh pimpinan DGI bekerja keras menghadapi tekanan pemerintah. Undang-undangnya belum ada tetapi Pemerintah memaksa semua organisasi kemasyarakatan harus menerima dan mencantumkannya dalam anggaran dasar. Akhirnya DGI berhasil memberikan rumusan alternative bahwa Pancasila adalah asas dalam berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Rumusan itu diterima pemerintah, namun “dendam kesumat” Penguasa terhadap DGI sudah di ujung rambut. Presiden tak mau hadir dalam SidRaya ang DGI di Ambon. Di sanalah DGI mengubah nama dari DGI menjadi PGI dan yang memilih pak SAE sebagai Ketua Umum PGI yang pertama.
Maka berbagai cara ditunjukkan oleh Pemerintahan Soeharto, bahkan menggunakan tentara (waktu itu ABRI) untuk mengaduk-aduk kehidupan gereja. Dua peristiwa penting yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mendemonstrasikan kekuasaannya yang bersifat tirany. Pertama, mengaduk-aduk Universitas Satyawacana Salatiga dan kedua, mengaduk-aduk HKBP yang dipimpin oleh Pdt. SAE Nababan ketika terpilih sebagai ephorus, pimpinan tertinggi HKBP. Tentara diperalat kekuasaan untuk mencampuri kehidupan kampus dan gereja.
Celakanya ada orang yang memang menyediakan diri untuk dipakai oleh penguasa di kedua lembaga tersebut.
Ephorus yang sah, yang memimpin gereja terbesar di Indonesia diserang oleh mereka yang mengaku beriman, bahkan mereka yang masih mempunyai ikatan persaudaraan. Itulah yang ditunjukkan kekuasaan dan pak SAE Nababan tegar menghadapi semua itu.
Ketegarannya di dalam beriman kepada Tuhan Yesus membuahkan hasil berupa pemuliaan dari Tuhan. Penguasa itu rontok! Kemana mereka yang selama itu menyediakan diri menjadi hamba penguasa harus menyembunyikan mukanya? Entahlah! Tuhan tidak tidur! Tuhan terus berkarya dan pak SAE Nababan terus melakukan karya Tuhan melayani Tuhan dan melayani sesamanya. Beliau diundang ke mana-mana untuk berkotbah maupun menjadi pembicara. Justru di masa harus beristirahat itu beliau tetap sibuk melayani undangan.
Kini pejuang oikumenis dan symbol ketegaran gereja menghadapi kekuasaan yang tiran itu telah kembali menghadap Tuhan. Damai bersama Tuhan di surga. Tinggallah kita yang masih di bumi nusantara ini. Akankah kita mengikuti jejaknya, melawan ketidakadilan, melawan campurtangan penguasa dalam kehidupan gereja dan terus memperjuangkan kebersamaan gereja? Atau mau berjuang sendiri dan bersikap oportunis, mencari peluang untuk menghamba pada kekuasaan? Ibarat nabi di jaman Perjanjian Lama, Pak SAE Nababan itu seperti nabi Yeremia. Nabi Tuhan. Ketika banyak nabi kerajaan yang menjilat kekuasaan guna memperoleh jaminan kesejahteraan dari penguasa, pak SAE Nababan terus menyuarakan amanat dari Tuhan: biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air ……. agar tercipta keseimbangan.
Pak SAE Nababan adalah orang yang tidak suka dipuji. Tulisan di atas juga tidak saya maksudkan untuk memuji, tetapi mengungkapkan fakta kehidupan yang saya rasakan. Apapun alasannya, hormat saya yang setinggi-tingginya kepada beliau. Salam saya untuk ibu Alyda Nababan – Tobing, anak, menantu dan cucu. Saya pernah bertelepon dengan putri beliau yang tinggal di Amerika untuk merundingkan cover buku-buku pak SAE Nababan yang saya tangani. Dan kini buku-buku itu dapat dibaca siapapun. Masih ada setumpul tulisan beliau yang ada di saya dan masih menunggu untuk diterbitkan. Tak apa-apa, biarlah Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belangnya, dan Pak SAE Nababan yang kembali ke pangkuan Bapa di surga meninggalkan tulisan dan ilmu, yang membuat orang menjadi cerdas dan semakin kuat imannya ketika membacanya.
Selamat jalan ompui Ephorus (Em) Pdt. Dr. DR (HC) Soritua Albert Ertns Nababan LLD.
Salam dari Padmono Sk