Oleh: Jeannie Latumahina
Beberapa alasan mengapa Jokowi mesti memilih sipil untuk menjadi cawapres.
Alasan mendasar, militer Indonesia sangat dekat dengan oligarkis . Sejarah yang dimulai sejak Suharto. Dan kita harus membersihkannya.
Mereka cerdas untuk militer, tapi bukan untuk sipil.
Kecenderungan untuk memakai nalar militernya sangat kuat, dan itu tidak baik bagi kehidupan sipil.
Mereka menjadi demokratis karena batasan UU. Tapi tetap menjadi oligarkis. Dalam banyak kasus sejarah, militer sangat dekat dengan oligarkis.
Bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin sipil yang cerdas, intelektual, dan progresif.
Seorang praktisi yang visioner, pekerja, cerdas dan keras. Akan menjadi komplet kalau dilengkapi dengan intelektual yang cerdas, progresif, dan bisa diterima semua kalangan.
Jokowi memerlukan seorang intelektual yang cerdas agar dapat menarik simpati dari banyak intelektual cerdas Indonesia lainnya untuk berani masuk ke dunia Politik praktis dan berperan menata sistem agar lebih baik.
Di tengah kondisi negara yang rentan pecah, kita butuh para pemikir kebangsaan yang cerdas untuk menenun konsep keindonesiaan yang kuat, pro pada multikultural, bersemangatkan kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Kita ingin membentuk blok politik yang kuat dan diisi oleh kalangan kelas menengah, yang terdidik, cerdas, nasionalis, dan progresif. Maka kehadiran mereka yang diwakili dan juga didorong oleh kaum intelektual sangat penting.
Negara mesti mengembangkan kebajikan republikanisme sipil (Civic virtue). Dan hal itu hanya mungkin kalau sipil yang menguasai pemerintahan.
Mengapa militer tidak perlu dipilih untuk menjadi cawapres?
Militer harus dipersatukan kembali.
Kita harus jujur untuk mengakui bahwa militer kita mengalami keterpecahan. Ini utamanya terjadi pada para pensiunan militer yang masih berpengaruh kuat terhadap militer aktif oleh karena strukturnya.
Kita membutuhkan figur yang bisa menyatukan mereka secara internal di militer, dan sedapat mungkin mencegah kekuatan militer yang berusaha untuk menghalang-halangi pembangunan.
Perlu dibedakan logic pemerintahan politik sipil dan militer. Nature politik adalah konflik.
Pemerintahan sipil akan menyikapi konflik secara berbeda dengan militer.
Dalam demokrasi, politik sipil mampu mentransformasi relasi teman/musuh (friend/enemy) menjadi kawan/lawan (relasi adversarial). Sedangkan dalam logic militer, relasi teman/musuh pasti berujung pada penghilangan musuh.
Mengapa? Karena nature militer yang memang anti musuh dan sedapat mungkin musuh dihilangkan agar tidak menjadi ancaman terus menerus. Tentu saja, dalam hal demokrasi.
Tradisi politik sipil sudah dicontohkan Sukarno, sebagai the best model. Tradisi politik militer sudah dicontohkan oleh Suharto dengan akibatnya yang kita sudah terima di masa lalu, dan masih menjadi momok untuk hari ini.
Tentu saja, dalam demokrasi, kita tidak boleh mengijinkan militer masuk kedalam politik praktis sipil.
Biarkan mereka di tempatnya.
Kita harus jujur bahwa para mafia politik dan kapitalis hitam yang banyak menggerogoti negara ini didukung juga oleh orang militer baik aktif maupun purnawirawan.
Itu yang seringkali menyulitkan pemimpin sipil.
Blok militer biasanya lebih kuat karena struktur formasi militer yang membentuk mereka.
Maka, untuk itu kita butuh dan sangat penting membangun blok politik sipil yang dikepalai para intelektual kelas high, cerdas dan siap mengendalikan negara termasuk militer.
Blok politik ini yang kiranya diharapkan untuk menjadi katalisator, motor perubahan.
Ini sangat mungkin karena kelas menengah kita yang makin besar.
Blok Politik ini harus dibentuk untuk menjadi penentu arah kehidupan politik Indonesia selanjutnya.
Dan sedapat mungkin, jangan sampai hal ini jatuh ke tangan militer.
Kediri 15 Juli 2018