7 Langkah Indonesia Hadapi Ancaman Krisis dan Depresi Besar Ekonomi Dunia
(The Great Depression)
Oleh:
Yonge Sihombing, SE., MBA
Dra. Murniati Tobing, M.Si
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Sumatera Utara)
A. Ancaman Krisis dan Depresi Besar Ekonomi Dunia (The Great Depression)
Kondisi perekonomian dunia dan Indonesia sedang diperhadapkan dengan sebuah ancaman krisis ekonomi dan depresi ekonomi besar (the great depression) akibat wabah pandemi Covid 19. Depresi Besar atau zaman malaise adalah sebuah peristiwa menurunnya tingkat ekonomi—secara dramatis—di seluruh dunia yang mulai terjadi pada tahun 1929. Ancaman krisis dan depresi besar ekonomi dunia disampaikan oleh berbagai lembaga internasional yang telah memiliki reputasi besar di bidang ekonomi.
Pertama, pernyataan dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). OECD adalah Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi, merupakan sebuah organisasi internasional dengan tiga puluh negara, termasuk Indonesia, yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas. OECD memprediksi ekonomi global akan berkontraksi setidaknya 6% pada tahun ini akibat penutupan ekonomi guna menekan angka wabah Covid-19. OECD juga memperingatkan bahwa pemulihan ekonomi global akan “melambat dan tidak pasti”.
Selain itu, dengan adanya ancaman penularan Covid-19 gelombang kedua (second wave) pada tahun ini, output (keluaran) ekonomi dunia bahkan diprediksi menyusut hingga 7,6% pada tahun 2020. Output ekonomi biasanya didefinisikan sebagai jumlah barang atau jasa yang diproduksi dalam periode waktu tertentu oleh masyarakat, perusahaan, atau pemerintah, baik untuk dikonsumsi langsung atau diolah kembali untuk produksi lebih lanjut.
Dengan adanya kekhawatiran penyusutan output tersebut, ini akan diikuti dengan pertumbuhan PDB global pada 2021 antara 2,8% dan 5,2%. Menurut OECD, pertumbuhan PDB global bisa mencapai 5,2% pada 2021 jika hanya ada gelombang pertama Covid-19. Namun jika ada gelombang kedua, maka PDB pada tahun depan hanya akan naik 2,8%. “Pada akhir 2021, hilangnya pendapatan melebihi dari resesi sebelumnya selama 100 tahun terakhir, di luar masa (terjadinya) perang, dengan konsekuensi yang mengerikan dan cukup lama (berdampak) bagi masyarakat, perusahaan, dan pemerintah,” kata OECD dalam laporan terbaru berjudul “World Economy on a Tightrope”, 10 Juni lalu, dikutip dari Reuters, dan dilansir oleh CNBC Indonesia.
“Tingkat utang swasta juga sangat tinggi di beberapa negara dan ada risiko adanya kegagalan bisnis dan kebangkrutan yang besar,” tulis lembaga yang berpusat di Paris, Prancis ini. Dalam laporan pada Maret sebelumnya, saat wabah masih melanda China dan belum tersebar secara global, OECD memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global sebanyak setengah poin persentase menjadi 2,4%, terburuk sejak krisis keuangan 2008. Selama tidak ada vaksin Covid-19 atau pengobatan terhadap virus corona, OECD menilai para pembuat kebijakan di negara-negara terdampak Covid-19 akan terus berjalan di atas risiko yang tinggi, OECD mengistilahkan berjalan di atas ‘tali’. Lembaga yang beranggotakan sekitar 36 negara ini menilai bahwa sejumlah negara memang berupaya memerangi pandemi dengan mencegah penularan, menguji orang terhadap virus, dan melacak serta mengisolasi mereka yang terinfeksi.
“Tetapi sektor-sektor yang dipengaruhi oleh penutupan perbatasan (lockdown) dan sektor yang berkaitan dengan layanan pribadi seperti pariwisata, perjalanan, hiburan, restoran, dan akomodasi tidak akan berlanjut [tumbuh] seperti sebelumnya,” papar laporan tersebut. Namun laporan OECD memperingatkan kembali, bahwa jika langkah-langkah itu tak mampu mencegah penularan gelombang kedua, maka pemerintah perlu menyesuaikan strateginya pada masa transisi, dan membuka peluang melakukan dukungan restrukturisasi bagi perusahaan-perusahaan terdampak secara cepat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini masih dibayangi ketidakpastian. Asian Development Bank (ADB) pun memproyeksikan ekonomi Indonesia tahun ini hanya bertumbuh 1 persen. Proyeksi itu mempertimbangkan kondisi kawasan Asia yang nyaris tidak mengalami pertumbuhan di tahun ini.
Kedua, Pernyataan dari IMF (International Monetery Fund). IMF atau Dana Moneter Internasional adalah organisasi internasional beranggotakan 189 negara, termasuk Indonesia yang bertujuan mempererat kerja sama moneter global, memperkuat kestabilan keuangan, mendorong perdagangan internasional, memperluas lapangan pekerjaan sekaligus pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, dan mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia. IMF mengatakan, kerusakan ekonomi global dari resesi akan lebih buruk daripada tekanan-tekanan ekonomi sejak masa Depresi Besar tahun 1930-an. Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva menyampaikan paparannya mengenai Tinjauan Ekonomi Dunia sebelum pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss, Senin (20/1/2020) waktu setempat.
IMF mencatat bahwa pandemi ini menekan kuat rumah tangga berpendapatan rendah. Kondisi itu dinilai membahayakan kemajuan signifikan yang dibuat dalam mengurangi kemiskinan ekstrem di dunia sejak 1990. Dalam beberapa tahun terakhir, proporsi populasi dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem (berpendapatan rata-rata kurang dari 1,90 dollar AS per hari) telah turun di bawah 10 persen dari level jumlah yang mencapai lebih dari 35 persen pada 1990. Namun, IMF mengatakan, krisis Covid-19 mengancam untuk membalikkan semua kemajuan yang telah diraih.
Gita Gopinath, penasihat ekonomi IMF mengatakan “sangat mungkin bahwa tahun ini ekonomi global akan mengalami resesi terburuk sejak Depresi Besar, melampaui yang terlihat selama krisis keuangan global satu dekade lalu. Great Lockdown, demikian orang menyebutnya, diproyeksikan akan menyusutkan pertumbuhan global secara dramatis,” ujar Gopinath. ”Ini adalah resesi terburuk sejak Depresi Besar,” kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, dalam jumpa pers di Washington. ”Tidak ada negara yang terhindarkan.”
Diperkirakan bahwa lebih dari 90 persen ekonomi negara maju dan negara berkembang akan mengalami penurunan pertumbuhan pendapatan per kapita pada tahun ini. Kejadian ini dimulai dengan kejatuhan pasar saham di Amerika Serikat pada 24 Oktober 1929. Selama empat hari berikutnya, harga saham anjlok sebesar 22 persen.
Depresi Besar memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia. Pada puncaknya di tahun 1933, angka pengangguran di Amerika Serikat meningkat dari 3 persen menjadi 25 persen. Mereka yang masih memiliki pekerjaan pun terpaksa dipotong gajinya.
Laporan IMF yang baru saja dirilis ini menyatakan bahwa performa ekonomi di 19 negara anggota zona euro diperkirakan ambruk sebesar 7,5 persen pada tahun 2020. Inggris, yang baru saja meninggalkan Uni Eropa pada Januari, diperkirakan akan mengalami kontraksi ekonomi sebesar 6,5 persen. IMF menyimpulkan bahwa kawasan Eropa secara keseluruhan kemungkinan besar akan melihat kinerja terburuk di dunia.
Namun, di tengah kabar mendung ini, laporan IMF masih mengirimkan sinyal optimisme dan mengatakan bahwa jika COVID-19 bisa terkendali pada paruh kedua tahun ini dan ekonomi di seluruh dunia dapat mulai beroperasi lagi, diperkirakan akan ada rebound sebesar 5,8 persen pada tahun 2021. Namun pesan itu datang dengan peringatan bahwa adanya kesulitan dalam membuat perkiraan yang akurat di tengah situasi yang berubah dengan cepat.
“Ada Ketidakpastian ekstrem seputar perkiraan pertumbuhan global. Dampak ekonomi tergantung pada faktor-faktor yang berinteraksi dengan cara-cara yang sulit diprediksi, termasuk jalur pandemi, intensitas dan kemanjuran upaya penahanan, tingkat gangguan pasokan, dampak pengetatan yang dramatis dalam kondisi pasar keuangan global, pergeseran pola pengeluaran, perubahan perilaku (seperti orang menghindari mal dan transportasi umum), efek kepercayaan, dan harga komoditas yang fluktuatif,” tulis IMF dalam laporannya.
Lembaga itu juga menuliskan bahwa keadaan ekonomi yang lebih buruk juga mungkin akan terjadi bila langkah-langkah untuk menahan laju pandemi, seperti karantina dan penguncian berlangsung lebih lama, atau jika negara-negara berkembang sangat terpuruk akibat wabah ini. Sebelum merilis Outlook Ekonomi Dunia, IMF berjanji untuk segera memberikan keringanan utang kepada 25 negara anggota yang lebih miskin di bawah program Cain Containment and Relief Trust, CCRT. Kristalina Georgieva dari IMF mencatat bahwa CCRT memiliki dana sekitar 500 juta dolar AS dan menambahkan bahwa gelombang pertama hibah telah disetujui untuk membantu negara-negara yang terkena virus corona guna menutupi kewajiban pembayaran hutang mereka selama enam bulan awal. “Program ini memberikan hibah kepada anggota termiskin dan paling rentan dan akan membantu mereka menyalurkan lebih banyak sumber daya keuangan mereka yang terbatas ke arah upaya darurat medis dan upaya pertolongan lainnya,” kata direktur pelaksana.
Keempat, Pernyataan dari Bank Dunia. Bank Dunia (World Bank/WB) memprediksi pertumbuhan ekonomi global -5,2% selama tahun 2020. Hal ini dikarenakan dampak dari pandemi virus Corona alias COVID-19 yang menyebar secara masif. Bank Dunia menilai penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut akan menjadi resesi yang paling dalam sejak perang dunia kedua. Bahkan resesi akibat COVID-19 merupakan pertama sejak 1870 yang dipicu oleh pandemi. “Resesi COVID-19 cenderung menjadi yang terdalam di negara maju sejak perang dunia kedua dan kontraksi output pertama di negara berkembang dalam enam dekade terakhir,” kata Direktur Prospek Grup Bank Dunia, Ayhan Kose yang dikutip, Selasa (9/6/2020). Aktivitas ekonomi di negara-negara maju diperkirakan menyusut 7% selama 2020 lantaran permintaan dan penawaran, perdagangan, dan keuangan sangat terganggu. Misalnya ekonomi Amerika Serikat (AS) akan berkontraksi 6,1% di tahun ini. Sementara kawasan Eropa diperkirakan menyusut 9,1%, sedangkan negara maju lainnya seperti Jepang diperkirakan menyusut 6,1%.
Sementara pasar dan ekonomi negara berkembang (EMDE’s) diperkirakan berkontraksi 2,5% di tahun 2020. Ini merupakan kontraksi pertama sejak 60 tahun dan terjadi penurunan pendapatan per kapita sekitar 3,6%, sehingga berpotensi meningkatkan angka kemiskinan. “Ini adalah pandangan yang sangat mendalam, dengan krisis yang cenderung meninggalkan bekas luka dalam jangka panjang, dan menimbulkan tantangan global yang besar,” ujarnya Wakil Presiden Grup Bank Dunia untuk Pertumbuhan, Keuangan, dan Lembaga yang Berkeadilan, Ceyla Pazarbasioglu.
‘’Namun, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,3 persen pada 2021 karena bertambahnya belanja tidak wajib rumah tangga, membaiknya iklim investasi, dan mulai pulihnya perekonomian dunia,’’ ujar Direktur ADB untuk Indonesia Winfried Wicklein. Dia melanjutkan, pandemic Covid-19 telah menimbulkan tekanan ekonomi yang signifikan di dunia, termasuk Indonesia. Pukulan terberat ada pada lapangan kerja dan konsumsi rumah tangga, terutama bagi kelompok masyarakat paling rentan. ‘’Meskipun ada pelonggaran PSBB pada awal Juni akan membantu kegiatan perekonomian berjalan kembali, tapi masih banyak terdapat ketidakpastian,’’ imbuh Ekonom ADB untuk Indonesia Emma Allen.
Dalam laporan terbarunya, ADB juga meramal pertumbuhan kawasan Asia dan Pasifik mencapai 0,1 persen di tahun ini. Angka itu menurun dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni 2,2 persen yang dirilis April lalu. Ramalan itu tercatat sebagai proyeksi pertumbuhan terendah bagi kawasan Asia dan Pasifik sejak tahun 2961 silam. Negara Asia Tenggara juga disebut akan lebih terpukul daripada Indonesia. Di antaranya Filipina yang diproyeksi tumbuh -3,8 persen dan Thailand yang terkontraksi hingga -6,5 persen.
Kelima, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan persoalan yang saat ini dialami seluruh negara, termasuk Indonesia, bukan hanya krisis kesehatan melainkan juga krisis ekonomi. Bahkan, 1,5 bulan yang lalu Jokowi sempat mendapatkan kabar yang sudah pasti tidak mengenakkan bagi setiap pimpinan negara dari Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva. “1,5 bulan lalu saya telpon kepada Managing Director IMF, Ibu Kristalina dan dia mengatakan bahwa betul-betul dunia, global berada pada posisi krisis ekonomi yang tidak mudah, yang lebih berat dari great depression 1930,” katanya saat memimpin rapat terbatas dengan topik penanganan Covid-19 tingkat provinsi Jawa Timur di Gedung Negara Grahadi Surabaya, Kamis (25/6/2020).
Jokowi mengaku telah mendapatkan informasi bahwa krisis ekonomi global benar-benar nyata, dan dirasakan oleh semua negara. Kepala negara lantas mengutip laporan terbaru IMF yang bertajuk ‘A Crisis Like No Other, An Uncertain Recovery’. “Amerika akan pertumbuhan ekonominya akan -8%, Jepang akan -5,8%, Inggris -10,2%, Perancis -12,5%, Italia -12,8%, Spanyol -12,8%, Jerman -7,5%,” ujar Jokowi. Kondisi ini, menurut dia Jokowi, akan mengganggu aktivitas ekonomi. Maka dari itu, Jokowi mengingatkan bahwa seluruh pihak harus sadar bahwa masalah yang saat ini dihadapi Indonesia tidak mudah. “Jangan sampai ada masyarakat memiliki sebuah perasaan yang masih normal-normal saja,” katanya.
B. 7 Langkah Indonesia Menghadapi Ancaman Krisis dan Depresi Besar Ekonomi Dunia (The Great Depression)
Terkait dengan adanya ancaman kiris dan depresi besar ekonomi dunia sebagaimana disampaikan oleh lembaga-lembaga internasional, maka Indonesia harus melakukan langkah-langkah untuk menghadapi ancaman krisis dan depresi ekonomi yang telah ‘membayang-bayangi’ dunia dan Indonesia saat ini dan ke depan. Berikut ini langkah-langkah untuk menghadapi ancaman kiris dan depresi besar ekonomi dunia, yang perlu dilakukan oleh Indonesia, khususnya pemerintah Indonesia.
Langkah Pertama: Sense of Crisis (peduli krisis). Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatian pemahaman terhadap adanya ancaman krisis dan depresi besar ekonomi dunia, termasuk Indonesia. Pemahaman terhadap dampak jika terjadi krisis dan depresi besar ekonomi. Setelah adanya pemahaman, maka perlu kepedulian terhadap ancaman kiris dan depresi besar ekonomi dunia. Seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah (government), akademisi (academy), dunia usaha (business), masyarakat (society), (GABS), termasuk politisi (positron) harus memiliki pemahaman dan kepedulian yang sama terhadap gejala krisis ekonomi dan depresi besar ekonomi yang sedang ‘membayangi’ dunia saat ini, termasuk Indonesia. Pemahaman ini sangat penting, sehingga bisa melahirkan kepedulian bersama. Tanpa pemahaman yang sama, akan sulit menemukan kepedulian bersama. Rasa kepedulian terhada krisis menjadi sangat penting dan urgent untuk dimiliki oleh seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara.
Bahkan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet pada tanggal 18 Juni 2020 di Istana Negara, mengatakan bagwa suasana dalam 3 bulan ke belakang ini dan ke depan ini, mestinya yang ada adalah suasana krisis. Ini pertanda bahwa rasa kepedulian terhadap krisis belum tampak. Mestinya ada Ada sense of crisis yang sama. “Kita juga, mestinya semuanya yang hadir di sini, sebagai pimpinan, sebagai penanggungjawab, kita yang ada di sini bertanggungjawab kepada 267 juta penduduk Indonesia”, kata Jokowi. Lebih lanjut Jokowi mengatakan hati hati OECD tarakhir, sehari dua hari yang lalu, menyampaikan bahwa growth, pertumbuhan ekonomi, terkontraksi 6%, bisa sampai ke 7,6 persen. Bank Dunia memyampaikan bisa minus 5 persen. “Perasaan (sense of crisis) yang sama ini harus sama, kita harus mengerti ini, jangan biasa-biasa saja, jangan linier, jangan menganggap ini normal”, kata Jokowi.
Langkah Kedua: Kompak menghadapi ancaman krisis dan depresi besar ekonomi dunia. Seluruh komponen bangsa dan negara harus kompak dalam menghadapi gejala krisis dan depresi besar ekonomi yang sedang membayangi dunia dan Indonesia saat ini. Kekompakan bersama dalam menghadapi ancaman krisis dan depresi ekonomi dunia dan Indonesia akan lahir setelah adanya pemahaman dan kepedulian bersama terhadap gejala krisis dan depresi besar ekonomi dunia. Secara khusus kepada kementerian dan lembaga harus kompak dalam menghadapi ancaman krisis dan depresi besar ekonomi dunia. “Kita harus sama perasaannya, kalau ada satu aja berbeda, berbahaya”, kata Jokowi. Lebih lanjut Jokowi mengatakan tindakan-tindakan kita, keputusan-keputusan kita, dan kebijakan-kebijakan kita, suasana harus suasana krisis. Artinya bahwa Presiden Jokowi mengajak seluruh jajaran pemerintahan, masyarakat, bangsa dan negara untuk selalu kompak dalam menghadapi ancaman krisis dan depresi besar ekonomi dunia.
Langkah Ketiga: Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional (PPEN). Pemulihan ekonomi nasional harus segera terwujud, agar kegiatan ekonomi bisa terus berjalan, dan tidak berhenti. Stimulus pemulihan ekonomi harus segera direalisasikan. Stimulus pemulihan ekonomi yang telah diterbitkan oleh pemerintah agar segera direalisasikan. Berikut stimulus ekonomi yang telah diluncurkan oleh pemerintah, baik stimulus fiskal maupun non fiskal. Jokowi mengatakan segera stimulus ekonomi masuk ke usaha kecil, usaha mikro, usaha menengah, dan usaha besar, Mereka menunggu semuanya, jangan biarkan dulu mereka mati, baru kita bantu, gak ada artinya, berbahaya sekali kalau kita seperti gak ada apa apa, berbahaya sekali. Perbankan, Manufaktur, industri, terutama yang padat karya, beri prioritas kepada mereka supaya gak ada PHK. Jangan sudah PHK gede gedean, duit serupiah pun belum masuk ke stimulus ekonomi kita, hanya gara gara urusan peraturan, ini ekstra ordinery, saya harus ngomong apa adanya, gak ada progres.
Langkah Keempat: Percepatan Penggunaan Anggaran Kementerian dan Lembaga. Anggaran kementerian dan lembaga harus segera digunakan, sehingga peredaran uang bertambah, yang pada gilirannya akan menambah konsumsi bagi masyarakat. Presiden Jokowi memperingatkan, belanja-belanja di kementerian. “Saya melihat laporan masih biasa biasa saja, segera keluarkan belanja itu secepat-cepatnya, karena uang beredar akan semakin banyak, konsumsi masyarakat akan naik. Jadi belanja-belanja kementerian, tolong dipercepat. Sekali lagi, jangan menganggap ini biasa-biasa, percepat, kalau ada hambatan, keluarkan peraturannya”, kata Jokowi. Bidang kesehatan dianggarkan 75 triliun, baru keluar 1,3 persen. Segera itu dikeluarkan, dengan penggunaan-penggunaan yang tepat sasaran, seperti halnya Pembayaran tunjangan untuk dokter, dokter spesialis, untuk tenaga medis, segera keluarkan.
Langkah Kelima: Hilangkan seluruh hambatan. Pemerintah perlu segera menghilangkan seluruh hambatan untuk pemulihan ekonomi, mulai dari hambatan peraturan dan kelembagaan. “Kalau perlu kebijakan perpu, kebijakan perpu saya keluarkan”, kata Jokowi. Lebih lanjut Jokowi mengatakan kalau perlu perpres, perpres saya keluarkan. Kalau saudara-saudara menteri punya peraturan menteri, keluarkan peraturannya.
Langkah Keenam: Gunakan seluruh potensi. Indonesia harus segera menggunakan potensi ekonomi, mulai dari potensi sektor pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kehutanan, pertambangan, pariwisata, dan potensi sektor lainnya. Seluruh potensi harus kita maanfaatkan secara optimal, untuk memacu pemulihan ekonomi dan mengatasi ancaman kiris dan depresi besar ekonomi dunia. Kita tidak boleh masuk dalam jurang krisis dan depresi ekonomi. Kita sudah pernah mengalami betapa sakitnya kita ketika krisis ekonomi tahun 1998. Jadi cukuplah pengalaman pahit, kita alami pada tahun 1998, jangan terulang lagi.
Langkah Ketujuh: Pacu Pertumbuhan Ekonomi. Terakhir adalah memacu pertumbuhan ekonomi, mulai dari pertumbuhan konsumsi masyarakat, pertumbuhan investasi, pertumbuhan pendapatan dan belanja pemerintah, dan pertumbuhan ekspor-impor. Seluruh usaha dan sektor ekonomi harus dipacu untuk segera tumbuh dan berkembang. Tentunya dengan menjaga stabilitas inflasi, suku bunga, kurs mata uang, dan harga minyak dunia.
Demikian tulisan ini ditulis, semoga dapat memberikan manfaat untuk masyarakat, bangsa, dan negara, terutama sebagai masukan kepada para pengambil kebijakan.
Medan, 30 Juni 2020
Hormat Kami,
Penulis
Yonge Sihombing, SE., MSi
Dra. Murniati Tobing, M.Si