Seri Renungan Singkat Isu di Seputar Pilpres 2019
Oleh: Denny JA
Bolehkan media tidak memberitakan peristiwa besar seperti Reuni 212?
Datangnya era media sosial mengubah peradaban informasi. Kini setiap individu melalui akun pribadi dapat mencatat dan mempublikasi kesaksiannya. Tanpa editing pihak ketiga, ia segera berkuasa membuat rekaman opininya abadi di internet.
Di era ini kita tak lagi berteriak perlunya mencatat atau merekam sebuah peristiwa yang kita anggap penting. Era kebebasan di tangan kiri, dan handphone di tangan kanan, peristiwa biasa apalagi peristiwa besar akan dicatat dengan aneka ragamnya. Kebebasan dan keberagaman opini individu menjaminnya.
Di era ini kita tak lagi meributkan hak untuk tahu dan hak untuk mempublikasikan. Di era derasnya arus informasi, justru yang muncul adalah hal sebaliknya dan kontroversi baru: hak untuk tidak mempublikasikan.
Bolehkah media mainstream, apalagi media biasa, apalagi akun pribadi, tak mempublikasikan peristiwa besar seperti reuni 212 ?. Dengan tidak mempublikasi reuni 212, adakah kebebasan pers dilanggar?
Reuni 212 jelas peristiwa besar jika dilihat banyaknya massa yang berkumpul. Ia juga jelas peristiwa besar jika dilihat dari tertib dan disiplin massa itu.
Namun jelas pula Reuni 212 bukan peristiwa netral. Dua hal yang membuatnya tidak netral. Pertama, dalam musim kampanye capres, panitia hanya mengundang satu capres saja, dan mengumumkan tidak mengundang capres lainnya. Apalagi pembicara dan tokoh utamanya dalam reuni itu menyerukan massa untuk memilih capres tertentu.
Kedua, dalam peristiwa 212 yang pertama tahun 2016, diperkuat dengan reuni 212 tahun 2017, diperkuat lagi di tahun 2018 sebelum reuni, tokoh utamanya, Habieb Rizieq berulang ulang memperjuangkan NKRI Bersyariah.
Bagi sebagian, jelaslah NKRI Bersyariah adalah jenis lain dari NKRI yang selama ini menjadi konsesus nasional. Yang disepakati adalah NKRI saja, yang tanpa “label” syariah, karena sudah ada Pancasila, UUD 45 (yang diamandemen), dan Bhineka Tunggal Ika.
Untuk peristiwa besar yang netral saja, apalagi yang tidak tidak netral, prinsip kebebasan pers memberikan hak kepada media untuk meresponnya. Media boleh memberitakannya di headline, di halaman belakang atau bahkan sama sekali tak menyinggungnya.
-000-
Media massa itu bukan hanya “tukang catat” dan “tukang rekam” peristiwa. Media massa juga tumbuh dengan subyektivitas nilai para pendiri dan jurnalis utama. Tak terhindari, media besar, bahkan akun pribadi memiliki bias.
Riset soal media di Amerika Serikat yang dilakukan Rating Allside, 2017, misalnya, menggambarkan spektrum itu. Jika spektrum liberal hingga konservatif sebagai bias nilai media di AS, maka New York Times dan Washington Post ada di posisi liberal. Bahkan Huffington Post dan Mother Jones ada di ujung kiri liberal yang lebih ekstem.
BBC, USA Today, dan Wall Street Journal ada di centris (tengah). Dan di ujung kanan (konservatif) ada FOX News. Yang lebih kanan ekstrem lagi ada The Blaze dan Drudge Report.
Tentu saja kebijakan redaksi dalam merespon peristiwa apapun akan menyertakan bias dan subyektivitas “ideologi.” Itu hal yang biasa saja.
Hal yang lumrah pula jika banyak media besar di Indonesia memihak pada keberagaman dan Pancasila. Mereka tidak ingin misalnya paham NKRI Bersyariah tumbuh berkembang. Mereka mungkin juga tak nyaman memberitakan peristiwa yang mengkampanyekan capres Prabowo dalam pidato utama.
Media sepenuhnya dijamin konstitusi untuk bebas merespon, bahkan untuk tidak mempublikasikannya. Tak ada hukum nasional yang dilanggar. Tak ada prinsip Hak Asasi yang dikebiri karena media tak memberitakannya.
Ini hanyalah pola aksi dan reaksi biasa dalam politik demokrasi. Jika sebuah peristiwa sudah sarat nilai dan politis, ia segera pula mendapatkan respon yang sarat nilai dan politis juga. Ibarat kita ingin makan nangka, wajar saja dan jangan protes jika tangan terkena getahnya.
Dengan tidak memberitakan atau memberitakannya dengan porsi yang kecil saja, media menyatakan sikapnya, yang sarat nilai dan punya pesan politik.
Kitapun memahami, selama Reuni 212 oleh pemukanya diarahkan menuju NKRI Bersyariah, selama itu pula, mayoritas media besar, yang berkomitmen keras dengan Pancasila saja akan absen memberitakannya. Kita menyebutnya kebebasan pers.***
Desember 2018
Link: https://www.facebook.com/322283467867809/posts/1917858521643621/