Pdt. Weinata Sairin: “Vox audita perit, littera scripta manet. Suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal”.

0
3107

Sesuatu yang Tertulis itu Punya Makna Abadi

 

 

Senantiasa terlahir sebuah perbedaan, jarak atau gap antara “suara” dengan “kalimat yang tertulis”. Pada “suara’ kita bisa terbantu untuk membaca apa yang sebenarnya terjadi pada kedalaman nurani seseorang. Istilah atau pilihan kata yang dilakukan, intonasi, kadar emosi yang mengiringi suara itu akan mencerminkan peta yang sedang terjadi. Tetapi suara itu akan terus hilang ditelan waktu, digerus zaman, tanpa kita dibantu oleh kecanggihan teknologi.

 

Berbeda kasusnya pada sebuah ‘kalimat yang tertulis’. Sesuatu yang tertulis bisa bertahan lebih lama, ketimbang “suara”. Artinya andaikan misalnya pada kalimat yang tertulis itu ada kata atau istilah yang bernuansa kebencian, penghakiman, kata yang vulgar tak elegan maka kesemuanya itu akan tetap sebagai dokumen tertulis yang masih bisa dibaca lima bahkan lebih duapuluh tahun kemudian, kecuali dimusnahkan. Dan realitas itu tidak menguntungkan bagi citra sang penulis dokumen itu dimasa-masa mendatang.

 

Baik *suara* maupun *kalimat tertulis* memiliki nilai yang positif dan negatif, kedua aspek itu mesti dikelola dengan hati-hati dan dengan sebaik-bainya demi kemaslahatan umat atau pribadi. “Suara” yang dikumandangkan melalui pidato, ceramah, kampanye, pengarahan, pidato saat aksi massa, ungkapan-ungkapan di ruang publik bahkan dalam ruang-ruang kehidupan yang besar ini tidak bersifat mendiskreditkan pihak lain, mencela, menghina pribadi/lembaga/organisasi, tidak menghina agama-agama dan atau aliran keagamaan yang ada.

 

Suara-suara, kata-kata yang dikumandangkan memenuhi udara NKRI yang majemuk adalah suara-suara penuh harmoni, ramah, sopan santun tercermin, suara indah dan merdu yang mengapresiasi kemajemukan agama-agama, suara- suara dengan nada dasar : toleransi.

 

Hadir dan bergaul dengan kawan-kawan lintas agama sejak masa kecil adalah masa yang indah. Ayah ibu saat itu mengajarkan bagaimana hidup bertoleransi dengan kawan-kawan berbeda agama. Terkadang kawan-kawan sebaya disaat kecil mengajak ke _langgar_ memperingati hari raya Maulid Nabi Muhammad SAW, menikmati makan bersama. Pengalaman masa kecil amat membekas yang kemudian makin matang dan dimantapkan dalam tugas pelayanan hingga masa kini.

 

Pelajaran agama Islam yang diterima sejak SR sampai dengan SMA amat membantu memberikan pemahaman elementer terhadap agama Islam. Sikap inklusif, pemahaman dasar tentang agama-agama, pengembangan etik hidup bersama, ramah tamah dan sopan santun adalah unsur-unsur penting dalam mengembangkan kehidupan beragama yang kondusif.

 

Dizaman baheula sikap sopan santun atau mewujudkan tata krama itu tidak saja diajarkan oleh orang tua tetapi juga oleh para guru di sekolah. Sopan santun amat penting dalam membangun relasi antar sesama dalam sebuah masyarakat yang majemuk. Dalam bentuk yang lebih luas, advanched, dan established hal-hal tentang sopan santun itu di ajarkan oleh lembaga-lembaga yang bergerak dibidang pengembangan kepribadian misalnya John Robert Power atau Yayasan Duta Bangsa.

 

Sopan santun, tata krama memerlukan penataan dan pemilihan kata tanpa orang lain mesti tersinggung. Inilah cerita dari khazanah internasional. Jendral Evan F Carlson seorang komandan marinir, selalu merokok dimanapun dan kapanpun ia berada pada saat ia menginginkanya. Suatu saat ia berkunjjung ke Boston. Di kantor editor _The Chrisristian Science Minitor_. Sang Jenderal mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya sambil bertanya : “Apakah ada yang keberatan jika aku merokok di sini?”. “Silakan saja” jawab sang editor; “Meskipun belum pernah terjadi seorangpun yang pernah melakukannya.” Carlson memasukkan kembali sebungkus rokok itu kedalam sakunya.

 

Sebuah penolakan yang amat halus melalui permainan kata yang interesan. Aspek sopan santun dan tata krama bersahabat tercermim dengan baik pada kisah itu, yang bisa menjadi inspirasi bagi kekinian kita.

 

Sebagai umat beragama kita bersyukur bahwa kitab suci agama kita tersedia dalam bentuk tertulis dan kita bisa membacanya dengan bebas. Tradisi menulis kemudian berlanjut dalam kehidupan kita. Kita harus memelihara tradisi menulis ini dalam kehidupan kita dan mewariskannya kepada anak cucu kita. Semua tulisan kita, dalam berbagai disiplin ilmu apapun, hendaknya dicek dengan cermat kontennya, bahasanya agar tidak menimbulkan tafsir negatif bagi fihak lain, yang berujung pada kegaduhan.

 

Informasi dalam bentuk verbal dan atau bentuk tertulis wajib kita cek dengan baik isinya, bahasanya sehingga tidak menimbulkan persepsi negatif banyak orang.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan menyadarkan kita pentingnya mengemas dengan cekatan kata-kata yang kita ucapkan atau kita tulis jangan sampai mencederai pribadi dan atau kebersamaan kita.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here