Oleh: Johan Sopaheluwakan, S.Pd
Lukas 15:25-32
25 Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian.
26 Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu.
27 Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat.
28 Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia.
29 Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku.
30 Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia.
31 Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.
32 Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”
Renungan :
Kita sering mempermasalahkan dalam bacaan firman Tuhan Lukas 15 : 25 – 32. Yang manakah anak yang bersalah? Si Sulung atau si Bungsu? Mungkin secara duniawi sering kita memperdebatkan atau mendiskusikannya dan vonis jatuh pada si Bungsu karena kelakuannya yang tidak sesuai dengan harapan siapapun orang tua di dunia.
Tetapi siapa sangka? Kali ini justru kita melihat keberadaan atau posisi si Sulung yang justru begitu menyimpan kebencian karena iri hati kepada si Bungsu. Dan pembahasan kali ini berfokus kepada si Sulung.
Apa yang terjadi pada si Sulung? Ketika si sulung tiba di rumah ia tidak langsung masuk ke dalam rumah bahkan pada ayat 28 ditegaskan “……ia tidak mau masuk.” Ia tidak mau mendekati ayah atau melihat adiknya yang sudah lama tidak bersama mereka di rumah. Kehilangan adiknya ia anggap biasa-biasa saja dan sepatutnya tidak perlu dipertanyakan lagi bahkan dianggap sudah mati berarti sudah tidak lagi “rival” tidak ada lagi yang merepotkan keluarga. Tidak ada kesedihan dalam dirinya ketika adiknya sudah tidak bersama-sama dengan dia lagi. Lebih parah lagi ia marah akan kenyataan kepulangan adiknya.
Pandangannya yang ia lontarkan kepada bapanya, kesetiaannya kepada orangtuanya ia nyatakan sebagai sikap yang baik dan benar. Rasa kepedulian dan empati akan menghargai orang lain sudah tidak ada lagi dalam nuraninya. Yang ia tahu hanya melayani dan bekerja terhadap orangtuanya. Tidak ada sikap lagi empati pada adiknya yang terhilang. Yang penting dirinya sendiri telah melaksanakan tugas dan tanggung jawab yang baik.
Ketika adiknya tidak melakukan yang benar dalam hidupnya dan merepotkan serta menyusahkan orangtua itu merupakan urusannya sendiri. Bahkan menurut si sulung lebih baik dibuang saja dan tidak perlu ada dalam keluarga. Ternyata demikian pandangan si sulung berbeda dengan pandangan bapanya. Yang begitu sedih ketika ada anaknya yang tidak ada lagi di rumah “terhilang” di kehidupan dunia luar sana.
Hati seorang Bapa adalah hati yang begitu peduli, ikut merasakan kesedihan dan kesusahan. Bahkan Bapa mau bermitra kepada siapapun anak-anaknya di dunia ini bahkan memberikan tanggung jawab itu agar turut juga bukan saja menyambut tetapi ia mengharapkan kita agar memiliki upaya dalam pelayanan penjangkauan bagi anak-anak yang terhilang dari kasih Bapa kembali ke pangkuanNYA.
Dalam situasi dan konteks suasana menjelang Pemilu Legislatif dan Presiden 17 April 2019 ini merupakan moment bagi kita untuk berkarya dalam masyarakat, bangsa dan Negara. Kita diperhadapkan untuk turut juga memiliki hati Bapa. Terlebih lagi dalam konstelasi politik usai Pemilu aka nada ada banyak pergumulan, permasalahan yang akan terjadi di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masa-masa kini kita tengah melakukan Musrenbang. Kata musrenbang merupakan singkatan dari Musyawaran Perencanaan Pembangunan. Kata musyawarah berasal dari Bahasa Arab yang menggambarkan bagaimana warga saling berdiskusi memecahkan masalah konflik dan juga problem di masyarakat.
Di sinilah peran kita selaku si sulung agar si bungsu dapat kembali ke pangkuan Bapa. Kita senantiasa harus dapat memiliki peran. Kita senantiasa doakan agar si sulung-sulung yang merupakan anak-anak Tuhan adalah si sulung yang telah lahir baru justru melihat perannya bukan semata memperhatikan memperjuangkan bagi kepentingan diri sendiri tetapi justru menerapkan kasih Bapa. Ketika memperjuangkan agar si bungsu kembali ke rumah Bapa itu berarti sudah melaksanakan kasih Bapa yang horizontal ketika melakukan itu sudah menyenangkan hati Bapa di Sorga otomatis sudah melakukan kasih yang horizontal. Dan di sana ada jaminan sorga ketika kita memperjuangkan keselamatan bagi orang-orang yang tertindas, terbuang, orang asing, orang di penjara, yatim/piatu, jadan/duda, para disabilitas, orang-orang yang merasa diri mereka orang kecil dan terbuang dalam kehidupan karena ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan pelitik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan ideologi.
Kiranya kita senantiasa menjadi si sulung yang berubah menyadari kekeliruan dna bersukacita ketika si bungsu yang merupakan gambaran masyarakat yang marginal yang terbuang kembali kepada Bapa. Kirnanya kita semua dapat masuk dalam pesta bersama dengan Bapak di Sorga dalam KemulianNYA dan memerintah bersamaNYA. Amin!
( Johan Sopaheluwakan, S.Pd. )
PELAYANAN LITERASI INDONESIA
(Indonesian Literacy Ministry)