Pdt. Weinata Sairin: “Populus vult decipi, ergo decipiatur. Masyarakat mau ditipu maka merekapun tertipu.”

0
1231

Kata “tipu” sudah kita kenal lama dalam khazanah bahasa Indonesia. Dari kata ‘tipu’ lahir kata kerja ‘menipu’ dan orang yang melakukan perbuatan menipu disebut *Penipu*. Dalam buku Logat Ketjil Bahasa Indonesia yang disusun oleh WJS Poerwadarminta, Penerbit JB Wolters -Groningen-Djakarta,1951 kata ‘tipu’ diberi arti ‘kecoh’; menipu adalah ‘mengakali’, ‘memperdayakan’, ‘mengecoh’.

Dari pengalaman praktis, kita bertemu dengan banyak kategori atau ‘kelas’penipu. Ada kategori kecil, sedang atau besar. Di zaman modern sekarang ini penipuan sering terjadi, lewat sms, email. Kita sering menerima pesan sms yang isinya bahwa kita memperoleh keberuntungan karena kita menjadi pemenang undian berhadiah yang diselenggarakan oleh sebuah perusahaan telepon seluler. Ternyata sesudah kita respons message itu kita diminta ini dan itu yang ujungnya kita diminta mentransfer sejumlah uang untuk keperluan administrasi.

Modus penipuan dengan menggunakan undian berhadiah cukup banyak dan juga diminati oleh banyak orang. Orang yang “easy going” berfikir mudah-mudahan ditengah kondisi ekonomi yang sulit ia bisa memenangkan undian berhadiah.

Penipuan sehubungan dengan tenaga kerja baik yang akan dikirim ke LN maupun yang bekerja di dalam negeri cukup banyak terjadi. Kasus itu biasanya terjadi pada orang-orang di daerah yang dijanjikan akan bekerja di sebuah kantor pemerintah di pusat asalkan bersedia menyetor uang sekian juta. Sesudah uang disetor dan ditunggu hingga beberapa bulan tak ada perkmbangan apa-apa baru tersingkap bahwa hal itu adalah penipuan. Biasanya dilakukan proses hukum, mereka yang terlibat dalam gerombolan penipu kabur dan sulit ditelusuri jejaknya.

Bila kasusnya berkaitan dengan TKI yang akan dikirim ke LN dana yang terhimpun cukup besar. Cerita dari mulut ke mulut tentang sukses yang dicapai mereka yang bekerja di LN telah menjadi magnet tersendiri bagi banyak orang setengah baya untuk mengikuti program tersebut walau harus mengeluarkan uang yang banyak.

Penipuan dengan banyak modus yang melibatkan banyak orang, terjadi dibanyak bidang kehidupan, dan berulang-ulang terjadi. Orang acapkali cepat melupakan kasus-kasus penipuan di masa lalu yang berujung pidana bagi para pelaku yang terbukti kuat melakukan kesalahan.

Realitas itu menunjukkan betapa rapuhnya nilai-nilai spiritualitas yang ada pada diri seseorang baik itu sang pelaku, yaitu penipu itu sendiri maupun masyarakat. Penipu tidak memiliki hati nurani, mereka membungkam spirit keagamaan yang ada dalam dirinya, tidak pernah berfikir bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan agama.

Kasus penipuan tidak hanya terjadi pada dan menimpa orang per orang atau lembaga sekuler, tetapi juga lembaga keagamaan. Sebuah organisasi keagamaan pernah menaruh uangnya pada “lembaga keuangan” dengan iming-iming bunga per bulan yang besar, berada diatas bank konvensional. Investasi dana dengan mudah dilakukan karena organisasi itu memiliki dana fresh yang besar sebagai hasil optimalisasi pengembangan aset yang dimiliki lembaga. Hanya sekitar 5 bulan bunga besar dari investasi itu dapat diterima dengan lancar, selebihnya tidak ada lagi yang bisa diterima. Kemudian seperti sudah bisa diduga lembaga keuangan abal-abal itu bangkrut.

Cerita seorang teman tentang kasus sebuah organisasi keagamaan yang tersandung dana milyaran di lembaga keuangan abal-abal itu adalah sebuah kasus penipuan yang amat tragis karena terjadi pada organisasi keagamaan yang seharusnya _prudent_ dalam hal keuangan. Jika organisasi “sakral-transendental” tegiur dengan bisnis tipu-tipu seperti itu apa lagi figur mang Engkun dan mas Erot yang impiannya tentang kemakmuran memang sangat kuat sebab itu selalu well come terhadap undian berhadiah tanpa cek dan richek apakah itu jenis penipuan genre baru atau apa?

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini mengingatkan kita bahwa “masyarakat mau ditipu maka merekapun tertipu”. Masyarakat perlu mendapat edukasi dan pembinaan spiritualitas dari komunitas pendidikan dan komunitas keagamaan agar masyarakat tidak mau ditipu dan tidak mau menipu. Roh dan nafsu tipu-tipu selalu mengintai dan membayangi kedirian manusia. Ayat-ayat Kitab Suci dari agama-agama harus terus dilantunkan untuk mengusir roh dan nafsu tipu-tipu itu.

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here