“Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus Tuhan kita..”(1 Tesalonika 5:9)
Bahwa Yesus Kristus itu adalah Juruselamat dan bukan “Guru Selamat” sudah kita dengar sejak kita kecil pada saat kita di Sekolah Minggu. Guru Sekolah Minggu di tahun 60-an ya kita fahami benar kondisinya. Belum banyak buku-buku pegangan, atau alat peraga yang bisa menolong murid untuk lebih mengerti. Belum tersedia power point atau sejenis alat komunikasi yang bisa membantu murid Sekolah Minggu mendapatkan penjelasan yang lebih detil tentang isi Alkitab. Para Guru hanya dibekali Alkitab dan buku tafsiran atau artikel penjelasan yang disusun oleh pendeta atau Majelis Jemaat.
Dengan kreativitas yang tinggi dan penuh dedikasi para guru Sekolah Minggu telah memberi pelayanan secara optimal sehingga anak-anak Sekolah Minggu memperoleh penjelasan yang memadai dalam hal kekristenan.
Pada saat itu guru-guru Sekolah Minggu misalnya menjelaskan dengan amat rinci tentang panggilan kepada Yesus itu Juru Selamat dan bukan *Guru Selamat*. Menurut para guru, kata ‘juru’ mengandung pengertian seorang yang ahli dan profesional di bidangnya dan bertanggungjawab dalam menjalankan tugasnya itu. Seorang “juru”adalah seorang yang ‘mengajarkan’, ‘melaksanakan’ dan juga seorang yang ‘ahli dan bertanggubgjawab di bidangnya”. Hal itu jelas pada kata ‘juru tulis’, ‘juru mudi’, ‘juru kamera’. Pada kata ‘guru’ terungkap pemahaman sebagai seorang yang “menyampaikan/mentransfer ilmu pengetahuan kepada murid-muridnya”. Seorang guru adalah seorang yang berfokus pada aspek pengajaran.
Penjelasan bapak dan ibu guru Sekolah Minggu di zaman baheula pada saat kita kecil amat membantu.sehigga kita mendapat pemahaman yang amat jelas seputar perbedaan aspek ‘kejuruan’ dan ‘keguruan’. Pada zaman IT sekarang ini tentu saja anak-anak kita di Sekolah Minggu mendapatkan penjelasan yang lebih sempurna, holistik dan elaboratif sehingga lebih menolong mereka memahami pesan-pesan Alkitab.
Umat Kristen yang hidup di abad-abad pertama banyak sekali mengalami penderitaan karena kekristenan mereka. Derita mereka dizaman itu bukan hanya hujatan, ujaran kebencian atau menolak inti kepercayaan Kristen dengan menyatakan isi Alkitab bohong, fiksi, penuh khayal, tetapi juga langsung berkaitan dengan fisik mereka. Mereka dibakar, dijebloskan ke dalam penjara, dijadikan umpan binatang buas, dibunuh dengan cara-cara yang keji dan biadab. Mereka menganggap bahwa dengan cara seperti itu kekristenan akan mati dan ditinggalkan banyak orang. Namun ternyata kekristenan makin merambah keberbagai negeri; semboyan yang muncul pada zaman itu yaitu “darah para martir menjadi benih Gereja” benar-benar mewujudnyata.
Dalam perikop yang oleh LAI diberi judul “Berjaga-jaga” ( 1 Tes. 5 :1-11)Rasul Paulus memberi penegasan tentang *hari Tuhan* yang memang sangat dirindukan oleh umat Kristen di abad pertama. Ada begitu banyak pesan yang dikedepankan Paulus bagi umat dalam menyongsong Hari Tuhan, hari kedatangan Yesus yang kedua kali. Oleh karena hari itu tidak diketahui dengan pasti kapan terjadinya, maka Paulus meminta agar umat _berjaga-jaga dan sadar_ ( 1 Tes.5:6).
Oleh karena pada zaman itu juga muncul beragam pandangan seputar Hari Tuhan, seolah hari itu diwarnai oleh penghukuman terhadap umat, maka ia memberi penguatan bagi umat dengan menyatakan bahwa “Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus…”.
Sebagai pemimpin umat, Paulus memberi penguatan iman berdasarkan pemikiran teologis yang menjadi khazanah kekristenan, agar umat tidak pesimis dan terbelenggu pada pemikiran yang sia-sia. Istilah “murka” dan “keselamatan oleh Yesus Kristus”, dua kata yang paradoks dan kontradiktif secara sengaja diekspose oleh Paulus bukan sekadar pemuas batin bagi umat yang tengah didera derita, tetapi sebagai pengulangan, *repetitio* terhadap apa.yang pernah Yesus ucapkan (vide : Yoh 3 : 16-18)
Ungkapan Paulus yang dikutip di bagian awal tulisan ini masih tetap penting, relevan, dan aktual bagi Gereja yang hidup di era milenial. Di era ini Gereja tetap mengalami penderitaan : pemasungan kebebasan beragama, kesulitan mendapat izin pembangunan gedung gereja, penodaan agama lewat buku, ceramah, medsos, pernyataan bahwa Alkitab itu telah dipalsukan, dan *fiksi*, gerakan ofensif penyiaran agama di “kantung-kantung Kristen”. Menghadapi realitas ini Gereja dan kekristenan harus solid, tidak _ignore_, tidak berlindung dibalik eufemisme dan perdebatan linguistik yang mubazir, harus memperkuat warga Gereja dan bukan membingungkannya. Kita harus sadar dan berjaga-jaga, setia kepada Yesus Kristus. Kita tetap mendoakan dan mengasihi mereka yang membenci kita seperti yang Yesus ajarkan kepada kita.
Selamat Merayakan Hari Minggu. God Bless.
*Weinata Sairin*.