Pdt. Weinata Sairin: “Fraus fraude compensatur: Penipuan (biasanya juga akan) dibalas dengan penipuan”.

0
1140

 

 

Tindakan penipuan agaknya sudah cukup lama menjadi bagian dari kehidupan umat manusia. Ragam dan bentuknya amat banyak. Lebih dari enam puluh tahun yang lalu ada seseorang yang bercerita tanpa wajah bersalah sedikitpun bahwa ia telah melakukan penipuan tentang umur. Ia ingin masuk ke sebuah lembaga tetapi usia yang dipersyaratkan lembaga itu cukup tinggi. Usia seseorang yang saat itu bercerita masih kurang setahun lagi. Maka iapun melakukan berbagai upaya, yang berujung pada pengubahan tahun kelahiran sehingga akhirnya ia diterima di lembaga tersebut. Ada juga kasus lain yang berhubungan dengan penipuan umur. Seseorang merasa nyaman bekerja di sebuah kantor. Pendapatan yang ia terima cukup besar karena bukan hanya dari gaji bulanan tetapi ada ‘proyek’lain yang dalam penguasaannya yang menghasilkan uang. Lagipula bekerja di kantor itu tidak terlalu melelahkan. Berdasarkan hal itu ia ingin lebih lama bekerja di kantor itu, tanpa terkena usia pensiun. Maka ia pun berupaya untuk “memudakan usia” dua tahun agar masa pensiunnya bisa lebih lama dimasuki. Perbedaan usia dua tahun masih tidak terlalu kentara, dan usia dua tahun dianggap cukup untuk mengumpulkan ‘dana tambahan’. Maka jadilah orang itu mengalami pelambatan masa pensiun. Bentuk penipuan seperti ini dengan mengurangi atau menambah umur agaknya banyak terjadi dalam kehidupan kita. Apapun bentuknya, besar atau kecil bobotnya, penipuan tetap adalah penipuan, dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah sebuah perbuatan tercela.

 

Kata “bohong” dan “tipu” memiliki perbedaan yang amat tipis. Walau kata “bohong” telah menjadi makin populer sesudah ada istilah “pembohongan publik”, namun kata “tipu”, “menipu” lebih kuat dampak negatifnya. Menipu adalah menyatakan sesuatu yang tidak benar dalam rangka memperoleh keuntungan pribadi. Istilah “penipuan” lebih berkonotasi hukum sebab itu istilah tersebut banyak dimuat dalam ketentuan perundangan, khususnya yang berkaitan dengan aspek pidana.

 

Dari berbagai pengalaman ternyata kata “penipuan” lebih banyak digunakan dalam konteks tindakan negatif yang terstruktur dan mapan. Misalnya ada sebuah kelompok yang menggarap bidang keuangan. Kelompok ini mempromosikan kepada masyarakat luas bahwa kepada mereka yang menyimpan uang pada kelompok itu, akan menerima bunga yang prosentasenya lima kali lebih besar dari bank-bank konvensional. Dalam praktek, masyarakat yang telah menyetor sejumlah uang hanya 3 kali menerima bunga dengan lancar, selebihnya mereka tidak lagi menerima bunga bahkan kemudian ternyata kantor kelompok itu ditutup oleh pihak keamanan.

 

Kasus-kasus seperti ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat kita sejak dunia kita belum mengenal teknologi informasi, sejak hidup kita belum memasuki era digital. Perusahaan-perusahaan bodong, nir izin, yang bergerak di bidang finansial, properti, perkebunan, dan sebagainya acapkali para pengelolanya menjadi buronan polisi atau menjadi terpidana karena mereka melakukan tindak penipuan.

 

Kasus penipuan berkembang makin canggih seiring dengan perkembangan zaman, dan kemajuan pola-pola kriminalistik. Kita prihatin menghadapi realisme ini apalagi dengan menyadari bahwa bangsa kita adalah bangsa yang menganut agama, bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

 

Cukup menarik peringatan yang diberikan melalui pepatah kita, penipuan biasanya juga akan dibalas dengan penipuan. Sebagai umat beragama kita harus melawan tindakan penipuan itu, walaupun bukan soal mudah. Penipuan telah merasuki hampir semua bidang kehidupan kita, antara lain bidang ekonomi, keuangan, politik, pendidikan. Penipuan bertentangan dengan ajaran agama, bertentangan dengan kaidah-kaidah apapun, tindakan penipuan mereduksi hakikat kemanusiaan kita sebagai makhluk Allah yang mulia diantara makhluk lainnya. Mari memerangi penipuan dan hasrat menipu.

 

Selamat Berjuang. God Bless.

 

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here