Oleh Weinata Sairin
_”Facta non verba. Karya nyata bukan (hanya) kata-kata (belaka)”_
Diksi “bukti” adalah sebuah diksi yang amat populer dalam kehidupan masyarakat kita dan telah menjadi bagian dari vokabulari publik. “Bukti” digunakan dalam konteks ilmiah, dunia hukum, relasi muda-mudi yang tengah diamuk kasmaran, dimabuk cinta. “Jika kakanda benar-benar cinta padaku buktikan! Belahlah dadamu itu!” demikian penggalan dialog cinta seorang muda dalam sebuah buku “roman picisan”di zaman baheula. Di zaman modern urusan belah membelah dada dalam dunia cinta tak ada lagi. Mungkin di kedokteran forensik masih ada kisah belah membelah itu. Orang-orang muda modern memiliki cara pembuktian cinta dengan lebih “maju”. Bisa saja “alat bukti cinta” mereka itu sekarang ini diwujudkan dalam bentuk mobil, apartemen, bilyet deposito, dan sebagainya.
Di zaman baheula para penemu di berbagai bidang keilmuan harus mampu membuktikan secara ilmiah dan argumentatif hasil penemuannya kepada publik dan atau lembaga yang menangani hasil-hasil pengkajian ilmiah. Sesudah dilakukan pembuktian bisa saja hasil penelitian itu kemudian dipatenkan untuk selanjutnya digunakan oleh masyarakat.
Di bidang hukum kata “bukti” menjadi sesuatu yang amat penting. Laporan masyarakat ke penegak hukum dan atau delik aduan akan bisa ditindakkanjuti sesuai dengan prosedur standar jika ada “alat bukti”yang cukup dan kuat. Jika tidak ada alat bukti maka laporan yang dikirimkan itu tidak bisa ditindaklanjuti. Realitas itu yang membuat banyak laporan itu “menguap” dan tidak bisa di tindaklanjuti.
Kata “bukti” banyak juga kita temui dalam konteks ekonomi. Masyarakat yang biasanya tergiur dengan barang-barang yang harganya murah dan diobral secara besar-besaran; atau masyarakat yang biasanya begitu mudah untuk ikut serta berinvestasi dalam kegiatan lembaga keuangan non pemerintah, acapkali harus meminta bukti lebih dulu tentang kualitas barang atau aspek legalitas lembaga keuangan karena biasanya tidak berada dalam kondisi yang baik.
Dalam konteks pileg dan atau pilkada, pilpres, kata “bukti” juga sangat kuat pengaitannya. Pileg, pilkada, pilpres sebagaimana biasanya mengenal masa-masa kampanye yang dipenuhi pidato tentang visi, misi, program masa depan serta janji-janji untuk diwujudkan jika sang calon terpilih. Rakyat, konstituen selalu mengingatkan agar para kontestan memberikan bukti nyata, bukan janji-janji yang manis. Pengingatan itu menjadi sesuatu yang wajar dan standar karena rakyatlah yang memang menjadi “obyek yang dijual” pada saat pesta demokrasi diberbagai level terjadi.
Sejatinya kata “bukti” secara umum sangat populer dan bisa dikenakan pada hampir semua aspek kehidupan kita. Contoh misalnya (maaf jika dirasa terlalu ekstrim) dalam konteks kehidupan beragama bisa kita berefleksi : apakah kita semua yang hafal detil semua hukum agama bisa membuktikan bahwa kita melaksanakan semua perintah agama itu dengan konsisten?
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “Karya nyata bukan hanya kata-kata belaka”. Ya kita semua, siapapun kita memerlukan karya nyata. Bukan kata-kata yang berbunga-bunga. Rakyat memerlukan Fakta, Karya nyata bukan kata-kata. Rakyat memerlukan bukti bukan janji.
Dalam bahasa yang lebih variatif bisa dirumuskan “yang dipimpin itu memerlukan bukti bukan janji; perlu fakta bukan kata.” Umat perlu bukti dari pemimpin/gembala, bukan janji dan kata. Karyawan perlu fakta dari sang direktur bukan janji dan program.
Siapapun kita baik pemimpin maupun bukan pemimpin harus menunjukkan fakta, kerja, bukti bukan janji gombal dan fiksi. Oleh karena itu kita tidak usah mengobral janji tetapi tunjukkan bukti, empati, solidaritas, berikan apa yang bisa kita berikan bagi sesama. Siapa yang suka memberi dan menolong sesama, ia akan diberi dan ditolong oleh orang lain, bahkan dikasihi dan diberkati oleh Tuhan.
Selamat berjuang. God bless.