PDT. WEINATA SAIRIN: KEBAJIKAN ITU SESUATU YANG ABADI

0
1013

 

 

Oleh: Weinata Sairin

_”Manet post funera virtus. Sesudah pemakamannya kebajikannya (masih) ada”_

Memakamkan jenazah, melakukan kremasi adalah sesuatu yang selalu menghadirkan sejumlah tanya dalam diri. Pertanyaan-pertanyaan itu hadir tidak dalam konteks seseorang itu “kurang beriman” atau seseorang itu kurang mendalami ajaran agama. Pertanyaan itu hadir, amat manusiawi, oleh karena ajaran agama tentang kematian dan tentang hidup sesudah kematian, tidak bisa ditangkap dengan sempurna oleh pemikiran manusia yang amat terbatas. Banyak buku yang ditulis tentang hal itu dari perspektif masing-masing agama, buku yang tipis atau tebal lengkap dengan referensi ayat-ayat Kitab Suci. Tetapi di tempat-tempat pemakaman, ada banyak dari kita yang tetap merasa belum tahu banyak tentang kematian.

Menarik sekali membaca puisi seorang penyair Indonesia terkenal Kuntowijoyo berjudul “Mengubur Jenazah”

*Mengubur Jenazah*

Di makam
Ruh tidak bersatu dengan bumi
Mereka kembali ke Kekosongan
Sedang bunga Kemboja
Mengabarkan hari sudah sore
Selalu sudah sore
Pada pengunjungnya

Yang berdiri terpaku
Melipat jari-jari
Entah bagaimana,
seolah Memegang erat
Sesuatu yang takboleh lepas
Sekalipun diberitakan
Di bawah tidak ada nestapa

Adakah duka juga dikuburkan
Atau kembali jadi merpati
Sesudah kau sembahyangkan?

(Sumber : Kuntowijoyo, Isyarat, Sajak-sajak (1974), Pustaka Jaya, Jakarta, 2000)

Dengan narasi puitis Kuntowijoyo mencoba memotret realitas yang terjadi di pemakaman. Ada ungkapan dogmatis yang sudah menjadi ‘teologi standar’ dari agama-agama: ” Ruh tidak bersatu dengan bumi. Mereka kembali ke Kekosongan..” Tidak terlalu jelas apa yang dimaksud penyair dengan Kekosongan dengan huruf K besar. Mungkinkah itu kuasa transendental yang tidak menjadi ranah manusia fana?

Kuntowijoyo juga dengan cerdas memotret mereka yang hadir di pemakaman : mereka yang berdiri terpaku menyaksikan jenazah yang memasuki liang lahat. Penyair seolah merasakan keraguan mereka walau “dibawah tidak ada nestapa”.

Kematian adalah sebuah kepastian, tak ada negosiasi tentang hal ini. Pelaksanaan kepastian itu, eksekusinya berada pada Pemilik Kehidupan. Hidup ini kata seorang penulis adalah “menunda kematian”. Sebab itu hidup yang kita hidupi ini mesti dijalani dengan efektif dan efisien. Hidup mesti diisi dengan perbuatan bermakna yang sesuai dengan ajaran agama; yang tidak bertentangan dengan hukum.

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “sesudah pemakamannya kebajikan itu tetap ada”. Perbuatan baik, kebajikan, amal saleh, sikap filantrofis tidak akan pernah mati, tidak akan pernah terkubur. Mengasihi orang membantu orang lain, tanpa memandang Sara adalah perbuatan terpuji dan kebajikan yang mesti kita lakukan di sepanjang kehidupan. Mari kita jadikan itu agenda kehidupan kita.

Selamat berjuang. God bless.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here