_”All things are fall of signs and it is a wise person who can learn about one thing from another._ (Plotinus)
Orang tua kita di zaman baheula acap bertanya kepada kita dengan menggunakan istilah “firasat”. “Tadi sesudah mengikuti ujian bagaimana perasaan, ada _firasat_ apa?”. “Apakah kira-kira akan lulus ujian, atau tidak?”. Atau kepada seseorang yang mengalami kecelakaan motor yang kemudian mesti membawanya kerumah sakit karena ada tulang yang patah, teman orang itu bertanya “Apakah ada firasat tertentu yang dirasa sebelum terjadi kecelakaan itu?”Agak jarang diksi firasat digunakan oleh ‘orang muda’ bukan hanya per istilah, kata itu jarang muncul dalam percapakan di lingkup masyarakat modern tetapi juga dari segi isi/makna kata ‘ firasat’ agak bernuansa ‘hal-hal gaib’ yang tidak lagi menjadi bagian dari mindset orang modern.
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘firasat’? Menurut buku “Logat Ketjil Bahasa Indonesia” susunan WJS Poewadarminta, diterbitkan oleh Penerbit JB Wolters-Groningen, Djakarta, 1951, kata ‘firasah'(t) (pirasah, perasah) berarti “1. (tanda-tanda pada) muka; 2. perasaan yang terasa sebelum sesuatu peristiwa terjadi; misalnya mendapat firasat bahwa rumahnya akan dibakar orang”.
Para orang tua kita di zaman dahulu, zaman agraris memang memiliki semacam “sense of firasat” yang amat tajam. Cara berfikir zaman itu yang (maaf!) bernuansa “alam gaib” acap sukar dimengerti logikanya oleh generasi muda saat itu utamanya yang sudah menempuh pendidikan dan banyak memamah buku-buku yang kontennya berbasis ilmu pengetahuan, yang menafikan pikiran-pikiran “bernuansa alam gaib”. Misalnya di zaman itu, tahun 60-an berkata “jangan bikin acara penting pada hari Selasa, nanti akan banyak _salahnya_.” Atau “anak gadis jangan duduk di depan pintu nanti jauh jodohnya”. Mungkin saja larangan itu terjadi berdasarkan kasus tertentu, yang kemudian dalam frame firasat dijadikan semacam kaidah yang tidak formal di zaman itu. Ungkapan dan tafsir tentang”hari Selasa” atau “gadis jangan duduk didepan pintu” tentu saja sulit diterima oleh generasi muda di zaman itu dan dalam batas-batas tertentu bisa menimbulkan friksi juga di internal keluarga. Apalagi di era digital sekarang, semua hari dianggap baik, jika ada kesempatan, fasilitas dan dana yang tersedia, semuanya bisa dilakukan, apalagi jika secara rasional hal itu tidak ada masalah. Dalam hal pernikahan di zaman ini tidak lagi berbasis “firasat” seperti “gadis jangan duduk di depan pintu” atau apapun. Sekarang yang penting adalah soal “pintu hati” dan atau “pintu-pintu” yang lain sehingga orang lebih mudah melakukan pernikahan. Konon kini ada biro jodoh by on line, ada juga yang berjodoh lewat “nembak di medsos” dan media lain yang tersedia.
Agaknya firasat dalam konteks kasus-kasus yang diungkapkan diatas terjadi karena ajaran agama, nilai agama belum sepenuhnya menguasai kehidupan umat manusia. Atau dalam kasus-kasus tertentu ada ajaran agama yang masih bercampur dengan apa yang disebut ‘tahayul’. Dalam konteks ini, kawan-kawan dari Muhammadiyah amat faham tentang realitas ketercampuran agama dengan unsur-unsur tahayul. Muhammadiyah didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta 18 November 1912 untuk memurnikan kembali ajaran Islam yang di zaman itu menurut kajian Kyai Ahmad Dahlan digerogoti oleh bid’ah dan khurafat. Bid’ah adalah pekerjaan atau perkataan yang diadakan sesudah masa Rasulallah SAW tetapi pekerjaan atau perkataan itu tidak pernah dilaksanakan oleh para sahabat dan tidak ada dasarnya dalam Al-Quran maupun Hadits. Khurafat adalah tahayul , hal-hal yang tidak masuk akal atau perkara perkara yang sulit untuk dipercaya kebenarannya, yang saling bertentangan satu sama lain dan tidak terdapat dalam ajaran Islam misalnya : upacara menanam kepala kerbau, sedekah dilaut, dan lain-lain.
(Weinata Sairin, M.Th, “Gerakan Pembaruan Muhammadiyah”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995)
Di zaman modern seperti sekarang ini, apalagi pada generasi milenial pemikiran-pemikiran berbasis firasat, atau tahayul, klenik dan sejenisnya tidak lagi mengemuka, tidak lagi mendapat ruang. Tapi adanya tafsir terhadap sesuatu peristiwa yang terjadi sewaktu-waktu masih kita dengar, dan publik membahasakannya dengan “tanda-tanda”, hampir senada dengan nama rubrik yang diasuh oleh Dick Hartoko disebuah majalah budaya di Yogya pada masa lalu.
Adalah Yesus Kristus di dalam Alkitab yang mengeritik banyak orang di zaman itu yang kurang cerdas dalam menilai zaman (Injil Lukas 12:54-59). Orang abai saja terhadap tanda-tanda alam yang terjadi, mereka tumpul daya sensitivitasnya terhadap kondisi alam yang berubah. Mereka terpenjara pada soal dan kepentingan internal mereka. Padahal amat penting melihat tanda-tanda itu sebagai “early warning system”.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menegaskan bahwa pada segala sesuatu yang terjadi ada tanda-tandanya dan orang bijaksana yang mampu memahaminya. Dalam kehidupan ini kita sering melihat atau bahkan mengalami berbagai peristiwa. Dan didalam peristiwa itu bisa saja terkandung tanda-tanda yang menunjuk kepada sesuatu yang lebih besar. Misalnya kepala pusing, bisa saja itu merupakan tanda bahwa ada hal yang tidak beres dalam tubuh kita : ada soal kolesterol, hipertensi; jadi kepala pusing itu tidak akan bisa diselesaikan dengan hanya meminum obat-obat analgetik saja. Dalam kehidupan yang lebih luas misalnya ada bencana alam, tsunami, tanah bergerak, erupsi. Kita sudah seharusnya bertanya kepada diri kita masing-masing “mengapa terjadi bencana alam seperti itu.” Apakah ada yang salah dengan diri kita, dengan bangsa kita? Ada pesawat yang mengalami kecelakaan, apa artinya bagi kita? BNPB, BMKG, KNKT bisa saja memberikan analisis ilmiah terhadap berbagai kejadian itu. Tetapi dari persektif teologis kita sebagai umat beragama apa makna itu semua bagi kita?
Kita harus memohon kepada Tuhan agar kita memiliki hikmat, *hokmah*, memiliki sikap _wise_ agar kita mampu melihat “tanda-tanda zaman” itu dan menghubungkannya dengan “kualitas moral” kita sebagai umat yang berTuhan. Makin penuh sesaknya LAPAS, makin maraknya OTT, makin ramainya kriminalitas, makin beraibnya diri kita, makin kuatnya primordialitas kita, makin lemahnya persatuan bangsa kita, makin menurunnya ikatan talisilaturahim kita, apakah itu memiliki keterkaitan dengan berbagai bencana yang mendera kita dalam bebrapa waktu terakhir ini ? Mari kita berefleksi secara pribadi secara tenang dan sungguh-sungguh.
Selamat Berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*