_”Melius sincere legitimeque vivere purgamentis delectis quam luxuriois corruptionibus. Lebih baik hidup jujur dan legal dari mengais sampah dari pada hidup dari kemewahan yang korup”_
Istilah, terminologi yang amat populer di lingkup kehidupan kita di negeri ini dalam beberapa dasa warsa terakhir ini adalah istilah _korupsi_. Dimana orang bercerita tentang adanya korupsi; korupsi bahkan terjadi diberbagai lembaga, organisasi, kementerian, dilakukan oleh para petinggi, politisi, tokoh terkenal, terjadi diseluruh wilayah di negeri ini.
Tentu banyak sekali alasan yang dikemukakan mengapa orang itu korupsi. Dulu muncul alasan klise yang menyatakan bahwa gaji yang diterima terlalu kecil, tanpa korupsi maka tak mngkinlah dapur berasap. Alasan seperti itu kini sudah kuno dan amat tidak relevan karena kenyataannya sekarang ini mereka yang korupsi itu adalah orang-orang yang sudah kaya, yang nemiliki aset dimana-mana. Mereka korupsi bukan utuk makan, untuk membuat dapur berasap tetapi untuk memperkaya diri, untuk memuaskan nafsu bermewah-mewah.
Ada juga alasan yang menyatakan bahwa sistemnya lemah sehingga orang-orang yang jujurpun yang hidup dalam sistem (yang lemah) itu lama kelamaan akan tergoda dan tergiur juga untuk berkorupsi. Ada juga orang yan berkata bahwa maraknya korupsi itu memang sudah diramalkan atau dinubuatkan oleh Lord Acton (1832-1902). Adagium Lord Acton yang sangat terkenal berbunyi : “power tends to corrupt , absolute power, corrupt absolutely”.
Para koruptor yang sedang berkuasa seakan ingn membuktikan bahwa apa yang Lord Acton ucapkan itu benar dan bukan sesuatu yang fiktif dan teoritis. Lord Acton yang nama lengkapnya adalah John Emerich Edward Dalberg Acton seolah memberikan semacam “landasan hukum” bagi mereka yang tanpa lelah dan tanpa rasa malu terus-terusan berkorupsi.
Sebagai umat beragama kita telah kehilangan rasa malu, rasa bersalah atau rasa berdosa tatkala korupsi telah menjadi wabah yang berjangkit ke seluruh negeri. Agama dan ajaran agama telah kehilngan energi kritisnya ketika ayat-ayat kitab suci tak mampu mengendurkan libido berkorupsi. Malah para koruptor makin brutal dan barbar ketika mereka mengkorupsi dana untuk korban bencana alam, ketika mereka tanpa malu-malu mengkorupsi dana untuk mencetak kitab suci, ketika para oknum ASN tanpa merasa rikuh mengkorupsi program-program di bidang keagamaan. Sumpah jabatan yang diucapkan dengan lantang didampingi para pejabat agama yang memegang kitab suci agama pada saat upacara pelantikan jabatan, benar-benar kehilngan arti, kecuali sebagai bagian suatu upacara yang seremonial.
Korupsi sebenarnya telah mencoreng wajah keindonesiaan kita sebagai bangsa yang beragama. Korupsi telah menggurita dan meliliti tubuh bangsa ini sehingga tak mampu bergerak. Pak TB Silalahi dalam sebuah seminar di Jakarta tahun 2005 menyatakan bahwa korupsi tidak hanya terpusat dan terjadi ditingkat pusat tetapi juga telah merambah ke daerah seiring dengan gerak otonomi daerah. Bahkan pada waktu menjabat Menpan, Pak TB menyatakan bahwa “korupsi hanya bisa dihapus disorga” (Republika 9 Juli 1997). Pernyataan itu mencerminkan bahwa memberantas korupsi memang sulit. Lembaga-lembaga keagamaan juga sudah sejak lama ikut dalam upaya melawan korupsi. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia(PGI) dalam Sidang Lengkap di Jakarta 3-14 Mei 1964 misalnya telah menyerukan agar “umat Kristen Indonesia memelihara cara hidup yang sederhana; agar pemerintah bersama seluruh masyarakat mempergiat perlawanan terhadap korupsi…”
Perjuangan yang dilakukan lembaga-lembaga keagamaan tetap berlangsung hingga kini dengan melakukan kerjasama dengan KPK. Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengingatkan kita untuk hidup jujur ketimbang bermewah-mewah dari hasil korupsi. Peringatan ini amat penting bagi kita agar kita terhindar dari jerat korupsi dan tetap setia sebagai anak saleh yang taat pada agama dan hukum.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*