_”Felix quem faciunt ailena pericula cautum. Berbahagialah mereka yang dapat menjadi hati-hati karena cobaan (yang diterima oleh); orang lain.”_
Salah satu keistimewaan dan keunggulan manusia terletak pada antusiasmenya untuk belajar, untuk menambah ilmu pengetahuan. Belajar, menambah ilmu tidak harus mendapatkan ijazah, sertifikat atau semacam surat tanda tamat belajar. Pada masa kita kanak-kanak, ayah dan ibu selalu mengingatkan kita untuk rajin belajar, tidak bolos sekolah, dan juga meneladani kawan-kawan dan saudara yang baik sikap dan perbuatannya.
Masih ingat lagu ciptaan Ibu Sud yang pada waktu kita SR/SD selalu dinyanyikan, lagu berjudul “Pergi Belajar”.
“Oh ibu dan ayah selamat pagi.
Ku pergi belajar
Sampai kan nanti
Selamat belajar
‘nak penuh semangat
Rajinlah selalu
Tentu kau dapat
Hormati gurumu sayangi teman
Itulah tandanya
kau murid budiman”.
Walau liryknya agak spesifik jika kita baca lagi secara saksama di zaman sekarang, namun demikian pesan dan “setting” dari lagu karya Ibu Sud ini cukup jelas. Lagu ini berkisah tentang seorang anak yang pamit pada ayah dan ibunya di suatu pagi untuk pergi ke sekolah. Lalu kedua orang tua berpesan agar sang anak memiliki semangat belajar, rajin dan sebagai murid budiman agar menghormati guru dan menyayangi teman. Lagu anak-anak ciptaan Ibu Sud memang selalu kaya dengan pesan moral yang amat bermakna bagi pembentukan karakter sang anak.
Di zaman 60 tahun-an yang lalu semangat belajar anak-anak memang banyak dipacu oleh lagu, oleh orang tua, oleh komunitas keagamaan. Belum ada program wajib belajar di zaman itu, bimbel-bimbel tidak seramai sekarang, masuk sekolah juga tidak sulit dan serumit sekarang.
Dari pengalaman kita menjalani kehidupan, kita memahami bahwa proses pembelajaran itu terjadi hampir setiap saat, lewat berbagai medium : buku, internet, bahkan dari share pengalaman banyak orang.
Apalagi di era digital sekarang ini setiap detik kita mengalami proses pembelajaran lewat gadget kita. Kita di edukasi tentang berita hoax, tentang ujaran kebencian, tentang pembohongan publik, tentang pemutarbalikan kebenaran, tentang penistaan dan penodaan agama, tentang diskriminasi golongan yang acap dicap “minoritas”, tentang penyegelan rumah ibadah, tentang sebuah wilayah yang tak boleh berdiri rumah ibadah ; tentang rampok dan begal; ya edukasi tentang hidup beragama yang benar dan hidup membangsa yang sepatutnya.
Kita belajar dari alam, dari pergeseran lempeng-lempeng di dalam perut bumi, dari tsunami, dari tanah yang bergerak. Kita diingatkan oleh pepatah Minang yang acap dengan lantang disuarakan oleh Prof Anfasa Moeloek dari ruang-ruang sidang BSNP di Cipete Jakarta Selatan *alam takambang jadi guru*. Alam yang telah diiptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan “baik adanya” dan sempurna menjadi _guru_ bagi kita agar hidup kita makin bermakna dan berkualitas.
Pepatah yang dikutip di awal bagian ini mengingatkan agar kita bisa belajar dari berbagai peristiwa yang dialami orang lain. Berbagai peristiwa yang dialami oleh orang lain, peristiwa suka atau duka, bisa menjadi bahan _pembelajaran_ yang bagus bagi setiap orng. Jangan kita menghakimi orang lain dengan masalah yang mendera seseorang, jauhi pola fikir seperti itu; dan hal itu bukan ranah kita. Kita bisa datang menyampaikan empati kepada orang yang menghadapi masalah, memberikan kata-kata penguatan dari perspektif agama atau psikologi, berdoa sesuai dengan ketentuan agama. Dengan menimba pengalaman dari problema orang lain, kita akan mengalami proses pembelajaran yang amat bermakna, yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan kita.
Mari kita terus belajar untuk beragama dengan lebih baik; mengartikulasikan nilai agama dalam kehidupan praktis; belajar menjadi warga negara yang taat hukum; belajar menjadi negarawan; belajar melayani rakyat jelata. Belajar itu sejak lahir hingga ke liang lahat. Belajar. Belajar. Belajar.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*