PDT. WEINATA SAIRIN: *MENANTI HADIRNYA HARI-HARI DENGAN ANUGERAH PENUH ARTI”*

0
995

_”Venit post multos una serena dies. Sesudah  berhari-hari akhirnya datang juga hari yang cerah”._

Hidup manusia adalah hidup yang melewati hari-hari, bahkan terkadang hidup yang tergantung dan atau dipengaruhi hari-hari. Setiap saat kita selalu mengupdate keadaan : hari apa yang sekarang? Ibu-ibu di kampung acap mencatat dengan teliti hari-hari yang didalamnya ia ikut mengambil bagian : hari Senin arisan PKK, Selasa arisan RT, hari Rabu pertemuan rutin Ibu-ibu DKM “Al Barkah” dan sebagainya, dan sebagainya. Diksi _hari_ acap menunjuk pada makna ‘nasib’ atau ‘masa depan’ seseorang. “Saya akan diwawancara hari Rabu sesudah itu baru akan dipanggil oleh bagian HRD kantor itu” kata seorang kawan.  “Saya ketahuan memakai uang petty cash kantor selama 3  bulan, hari Jumat ini saya akan dipanggil bos” kata kawan yang lain. Biarlah hari ini ada kesusahannya sendiri, hari esok kita harap ada sesuatu yang baik, kata sebuah pepatah. Hari ini, hari esok, hari yang lalu, hampir selalu memiliki makna teologis bagi kita umat beragama. Allah, Sang Pencipta manusia membentuk kedirian kita dari hari kehari, tidak _ujug-ujug_ bulanan. Dalam konunitas Kristen amat populer rumusan Doa Bapa Kami, yaitu “doa standar” yang diajarkan Yesus yang antara lain berbunyi: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya…”

Dengan demikian kata “hari”, “hari ini” memiliki makna amat dalam bagi kehidupan manusia. Manusia harus _melewati_ hari-hari itu dalam hidupnya; ia juga memohon makanan/rezeki kepada Tuhan setiap hari, dan tidak _dirapel_ setiap bulan. Kata “hari ini”, “sekarang dan disini” punya makna fundamental tatkala seseorang bertobat dan akan memulai cara hidup yang baru yang lebih bertanggungjawab.

“Hari”, “Hari ini”, “Hari esok” acapkali memberikan perspektif baru dalam sebuah episode seseorang. Para kuli harian selalu menghitung hari-hari yang mereka lalui dan seberapa banyak nilai rupiah yang bisa mereka bawa pulang untuk menghidupi keluarga mereka.

Mereka yang berada dibalik jeruji besi dan benar-benar secara seutuhnya merasakan kehidupan asli disebuah penjara (maksudnya bukan ruangan penjara ber AC dengan fasilitas wah); setiap saat “menghitung hari” kapan mereka bisa bisa bebas dari lapas yang menjemukan itu.

Para kuli harian, pekerja kasar, kuli bangunan, pegawai kontrak, termasuk juga para seniman memahami “hari ini” dalam beragam persektif yang saling memperkaya.

Mari simak dan nikmati sepenggal puisi dari penyair muda Joko Pinurbo dalam puisi berjudul “Baju Baru”.

“Hari ini bapak gajian

Gaji bapak naik sedikit

harga-harga naik banyak

Bapak belikan aku baju, hadiah naik kelas.

Bajuku bagus, bagus bajuku

Bergambar presiden naik becak

Tukang becaknya mirip Bapa

Presidennya tertawa…….”

Joko sang penyair mensyukuri hari ini karena bapak gajian hari ini; bahkan hari ini gaji bapak naik sedikit. Hari ini selalu membawa sukacita dan pengharapan bagi setiap orang dalam konteksnya masing-masing.

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “sesudah berhari-hari akhirnya datang hari yang cerah”. Dalam hidup ini kita selalu akan. menghadapi hari-hari indah sesudah melewati lorong-lorong gelap. Dibutuhkan ketekunan, optimisme, mental petarung, konsistensi agar kita mampu melewati lorong gelap yang menakutkan itu dan tiba diruang-ruang baru yang prospektif dan memberikan visi masa depan.

Kita sebagai bangsa kini tengah menghidupi udara pengap dilorong gelap. Gempa, tsunami dan tanah bergerak yang melanda Poso, Donggala, mendukakan seluruh warga bangsa tanpa kecuali. Duka yang menganga pedih perih; air mata dan derita tidak pernah mengenal agama atau afiliasi politik. Kita mesti menunduk haru bagi anak-anak kecil yang kehilangan ibu terkasih yang tak mampu lagi melihat masa depan dengan lebih baik; bagi ayah yang kehilngan anak dan istrinya; bagi banyak orang yang kehilangan orang-orang yang mereka kasihi tertimbun direruntuhan hotel Roa Roa dan begitu banyak orang yang meninggal tersapu tsunami tanpa sempat mengucap salam.

Sebagai bangsa yang beragama mari kita menyatukata dan menyatutindak membantu saudara-saudara kita yang tengah didera derita; jangan mekakukan pembohongan publik yang vulgar dan penuh aib ditengah penderitaan warga bangsa; jangan mempertontonkan sikap _barbar_ dan  _archais_ ditengah duka dan airmata warga bangsa. Dalam kapasitas orang beragama mari kita datang dan merintih di depan Dia Sang Pencipta : Tuhan, ampuni dosa-dosa kami agar kami mampu meneruskan ziarah ini.

Selamat Berjuang. God Bless!

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here