“Nosse Deum, posse more. Mengenal Allah berarti mengenal kematian.”
Ada banyak jenis _ketakutan_ yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Ada yang takut tidak naik kelas, takut tidak lulus ujian, takut diputuskan pacar, takut di gugat cerai, takut korupsinya terbongkar, takut disertasinya plagiat diketahui rektor, dan tentu saja takut menghadapi kematian. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir daftar ketakutan itu terus bertambah. Takut kepada perampok, begal, pembobol bank, bom bunuh diri dan berbagai jenis ketakutan lainnya. Takut, kuatir, cemas, _anxyetas_ adalah kondisi-kondisi psikologis manusia modern yang berhadapan dengan dunia sekarang ini dengan berbagai dinamika yang hidup di dalamnya.
Manusia Indonesia dapat kita nyatakan dengan definitif bahwa ia adalah manusia religius, manusia yang mengenal agama-agama bahkan manusia yang _menghidupi_ agama-agama, bahkan manusia yang beragama.
Manusia Indonesia yang ber-Pancasila adalah sosok yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sosok yang menganut berbagai agama, sosok yang menganut Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundangan, memfasilitasi dan melayani Agama, dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Harus diakui bahwa oleh karena berbagai keterbatasan, hingga saat ini Pemerintah baru bisa memfasilitasi 6 (enam) agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Khonghucu.
Memang dari pengalmn empirik harus diakui bahwa pelayanan bagi 6 agama dan bagi Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa belum terwujud secara optimal oleh karena berbagai faktor. Sejauh informasi yang ada hingga kini penulisan kolom dalam KTP untuk Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maga Esa belum mengalami finalisasi sesudah MK memutuskannya 7 November 2017 yl.
Kedepan kita semua harus mendorong dan membantu Pemerintah agar pelayanan kepada Agama-agama dan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dapat terlaksana dengan lebih baik, adil dan profesional, diwujudkan sebagai pengejawantahan UU NRI 1945 sehingga jauh dari unsur politik dan lebih mengedepankan dimensi kenegarawanan.
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini sangat menarik bunyinya : “mengenal Allah berarti mengenal kematian”. Mengapa dalam pepatah ini Allah dihubungkan dengan kematian? Apakah berarti mereka yang tidak mengenal Allah, termasuk yang tidak percaya kepada Allah tidak mengenal kematian? Allah, Khalik semesta alam adalah Allah yang berkuasa atas kehidupan dan kematian. Allahlah yang menetapkan apakah seseorang itu (boleh) hidup atau mati. Tak ada kuasa lain yang bisa melakukan tindakan _menghidupkan_ dan _mematikan_ itu. Manusia akan berhadapan dengan Allah, menurut ajaran agama, tatkala manusia di cengkeram kuasa kematian. Itulah makna mengapa Allah dikait-hubungkan dengan kematian.
Itulah sebabnya manusia menakuti kematian; ia acap abai, _ignore_ terhadap kematian. Kematian ditakuti oleh karena seseorang akan menjawab semua pertanyaan Allah tentang dosa yang ia lakukan semasa hidupnya. Ia takut karena ia tak yakin dan tak jelas apa yang akan dibuat di alam kematian nanti ?
Ia takut karena ia tidak begitu memahami ajaran agama dengan baik, internalisasi ajaran agama tidak berlangsung dengan baik dan agama hanya menjadi status saja. Agama seharusnya menjadi nafas, roh, habitus dari kedirian seeorang. Agama mesti *menyatutubuh* dengan manusia beragama, nilai agama inheren dan intrinsik dengan tubuh manusia.
Dengan cara itu tak ada paradoks, inkonsistensi, ambivalensi antara ajaran agama yang ia anut dengan sikap dan perbuatan seseorang dalam hidupnya
John Macmaster seorang sejarahwan bercerita tentang presiden Abraham Lincoln. Pada saat presiden sedang adakan resepsi di Gedung Putih seorang lelaki tua mendatanginya dan berkata : “Tuan Lincoln aku berasal dari negara bagian New York tempat kita percaya bahwa Tuhan Maha Kuasa dan Abraham Lincoln akan menyelamatkan negeri ini”. “Sahabatku” kata Lincoln “kau setengah benar. Hanya Tuhan yang sanggup melakukannya”. Abraham faham benar bahwa penyelamatan negeri itu terjadi atas kuasa Tuhan sendiri. Tak ada “kerjasama” antara manusia dengan Tuhan. Abraham memiliki kadar spiritualitas tinggi. Nilai luhur agama terinternalisasi dengan baik.
Kita mengenal Allah dengan baik kita juga amat mengenal kematian. Kita sedang dalam proses menuju kematian itu. Kematiam adalah resiko dan tindaklanjut dari kehidupan. Mari menebar kebajikan, mewujudkan cinta kasih, menghormati kemajemukan, melawan radikalisme, intoleransi terorisme dan diskriminasi, lakukan amal baik bagi banyak orang.
Selamat berjuang. God bless
*Weinata Sairin*