Pdt. Weinata Sairin: Sesuatu yang Manis itu Terasa Benar-benar Manis, Jika Kita Pernah Alami Kepahitan

0
1042

 

 

“Dulcia non meruit, qui non gustavit amara. Yang tidak pernah mengecap kepahitan tidak akan dapat pula menikmati kemanisan”.

 

Ada banyak sekali pepatah yang dikenal oleh masyarakat kita yang isinya menekankan bahwa seseorang itu harus menempuh derita lebih dulu baru bisa mencapai kebahagiaan. Tidak ada orang yang tiba-tiba, “ujug-ujug” berada di puncak, dijenjang yang tinggi, tanpa ia lebih dulu merayap, berada pada jalan terjal, bahkan ia terhempas dan terkandas di jalan itu. Sejak lama sekali kita semua mengenal peribahasa dan atau ungkapan “Habis gelap terbitlah terang” atau “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”. Peribahasa seperti itu hampir selalu diulang-ulang oleh para bapak ibu guru diruang-ruang kelas tidak hanya sebagai bagian dari aktivitas pembelajaran, tetapi sekaligus juga sebagai model untuk menanamkan budi pekerti yang baik kepada peserta didik.

 

Sebuah kehidupan yang diwarnai derita dan sengsara mesti difahami secara positif dalam konteks penguatan dan pemantapan kepribadian seseorang. Realitas derita tak usah menghadirkan _complain_ dan atau sikap _skeptis_ kepada Kuasa Transenden. Kita harus meyakini bahwa sesudah gelap akan ada terang, kita harus bersakit-sakit dahulu baru bersenang-senang di masa-masa mendatang. Harus juga dicatat bahwa kehidupan dunia modern tidak serta merta menghadirkan kehidupan yang “bahagia” bagi masyarakat umum. Ada sebuah format kehidupan yang sama sekali lain dalam sebuah masyarakat modern yang tidak selalu senafas dengan nilai-nilai agama dan budaya kita. Tak heran ada ratapan, ada __lamentasi_ ada elegi terhadap realitas itu dari mereka yang memiliki daya sensitivitas tinggi terhadap konteks.

 

Penyair Jumari HS kelahiran Kudus tahun 1965 dalam puisi berjudul “Elegi Kota” mengungkapkan narasi-narasi yang cukup kritis menyikapi wajah kota ditengah dunia modern.

 

*Elegi Kota*

Di kota tanah telah jadi batu, dan/

Angin, air bahkan api/

kehilangan wajah/

Tegur sapa pun tak ada, lenyap/

Dalam riuh jumawa/

 

Begitulah kota/

Harga diri dijual begitu murahnya/

Uang lebih berharga dari kesucian tubuh/

Agama lebih mulia dari harta benda/

Tuhan senantiasa diluka/

 

Di kota tak ada siang/

Matahari tinggal terik, asap dan debu/

Kasih sayang berkunang-kunang, perih/

Burung-burung pun pergi

entah kemana/

 

Di kota tak ada malam/

Sunyi dipecah digoyang pinggul penyanyi/

Mimpi sesat jantung orang-orang lupa diri/

Di kota tak ada malam/Lampu-lampu menyilaukan/

 

Kudus, 18 September 2018

 

(Sumber :”Menembus Arus Menyelami Aceh Puisi-puisi perdamaian 9 Negara”, Maman S Mahayana dkl, Penerbit Lapena, Banda Aceh, 2017)

 

Penyair Jumari memotret dengan tingkat resolusi tinggi, obyek kota modern dengan berbagai perangkat yang menggelayutinya. ‘Kota’ dalam narasi Jumari tidak lagi menampilkan sebuah kota idaman, yang akrab, teduh, familiar seperti yang hadir di zaman baheula.

 

Kota modern tidak lagi mengenal _tanah_, paving block menimbuni permukaan sehingga wilayah resapan air tidak punya tempat. Realitas ini bisa menimbulkan bencana ekologis yang tidak sederhana. Soal moral di close up Jumari, harga diri dijual murah, tubuh suci diuangkan tanpa harga bahkan Tuhan selalu teluka. Kota tak lagi mengenal suara burung, kota tak mengenal malam. Kita bisa saja tidak setuju dengan hasil pemotretan Jumari tentang kota di era modern. Tetapi apa yang diratapi oleh Jumari telah kita hadapi sebagai fakta yang kasat mata di jantung kota, bahkan kita acap menikmatinya.

 

Ada yang pahit dan manis hadir menyinggahi kehidupan kita; ada lorong gelap pekat dan lorong-lorong bercahaya yang kita temui dalam menempuh perjalanan hidup; ada derai air mata yang membasahi episode kehidupan, ada simfoni dan kidung sukacita yang mengalun membuat kehidupan lebih semarak. Selalu ada dualitas, keduaan yang kita temui dalam kehidupan dan keduaan itu yang membuat kita kuat, mandiri dan _mature_ dalam menapaki kehidupan.

 

Pepatah yang dikutip dibagian awal ini menyatakan bahwa yang tak pernah mengecap kepahitan tak akan dapat menikmati kemanisan. Sesuatu yang “manis” itu kita anggap biasa saja, jika kita tidak pernah mengalami sesuatu yang “pahit”.

 

Agama-agama kita mengajarkan bahwa kita harus tekun dan tabah dalam menghadapi penderitaan karena pada saatnya dengan upaya kita dan rahmat Tuhan kita bisa keluar dari kesulitan dan penderitaan itu. Jangan takut menghadapi penderitaan, jika derita itu kita tahu karena dosa-dosa kita maka kita harus memohon ampun kepada Tuhan dan hidup saling mengampuni dengan sesama. Mari mengukir kehidupan ini dengan baik, sesuai dengan perintah agama dan perintah UU.

 

Mari menabur kebajikan di sepanjang perjalanan kehidupan, tanpa jemu dan lelah.

 

Selamat Berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here