“Omnia humana brevia et caduca sunt. Semua yang manusiawi itu pendek dan akan lenyap musnah”.
Dalam konteks menghidupi sebuah peradaban yang sudah amat maju, acapkali kita tidak begitu sadar tentang kefanaan kita, kesementaraan kita. Kita abai, “ignore” bahwa kita umat manusia, siapapun kita, di jagat dunia wilayah manapun kita bermukim, kita pro atau kontra terhadap politiknya Trump, kita tetap berada pada kategori mahkluk fana, yang terikat dan tunduk pada dimensi “temporary time”. Kita umat manusia tetap saja dalam posisi tengah berjerih lelah di dunia fana, berjalan dari “civitas terenna”, kota dunia, dan menuju ke “civitas dei” (kota Allah)..
Bahwa sebagai manusia seseorang itu acap lupa bahwa ia termasuk dalam kategori makhluk fana, bisa oleh karena banyak hal. Bisa jadi karena seseorang itu mengidap sejenis “workaholik” amat gila kerja bahkan nyaris melupakan pendamping yang ada dirumah. Kerja dari matahari terbit hingga bulan muncul menerangi langit malam yang kelam. Kerja Kerja dan Kerja. Oleh karena workaholik itu, seseorang menjadi abai dan bahkan melupakan segalanya, dan melupakan kefanaannya. Bisa juga seseorang itu merasa amat pandai, clever, mampu mengatasi semuanya sehingga ia abai terhadap hari kematian, “ignore” bterhadap hakikatnya sebagai manusia fana.
Dari pengalaman praktis ternyata ada juga orang melupakan kefanaannya itu adalah karena ia dicekam roh “mumpungisme”. Ya mumpung ada kesempatan, mumpung ada penawaran, mumpung situasi memungkinkan, mumpung masih sedang menjabat, mumpung masih kuat, mumpung ini, mumpung itu maka seseorang melakukan segala sesuatu, dan melupakan kesementaraannya.
Seseorang baru sangat sadar dan bahkan agak kaget bahwa ia ternyata makhluk fana tatkala ia berhadapan dengan dengan jenazah di rumah duka, atau tatkala ada upacara pemakaman di Taman Pemakaman Umum (TPU). Ia terhenyak kadang juga menampilkan raut muka yang pucat, lalu mencoba dengan tergopoh-gopoh mendeteksi bagaimana posisi kesehatannya. Dan biasanya aktivitas dan kesadaran model seperti itu terjadi terus menerus dan berulang ulang, sampai suatu saat maut itu sendiri datang, tanpa mengetuk pintu, tanpa salam, merenggut hidupnya.
Hal yang selalu menjadi surprise bagi manusia adalah bahwa kedatangan sang maut itu yang selalu berada diluar prediksi manusia. Usia Harapan Hidup setiap orang disuatu negara kita tahu berbeda-beda dan amat tergantung pada soal derajat kesehatan, kesejhteraan, tingkat keamanan dan kenyamanan, pertumbuhan ekonomi suatu negara. Orang paling tua di Jepang diberitakan belum lama ini mencapai usia 125 tahun. Apakah seseorang benar-benar mengalami dan menikmati kehidupan dalam usia yang sudah demikian tua? Daud, dalam Kitab Mazmur di dalam Alkitab secara eksplisit berbicara tentang usia manusia tatkala ia menyatakan : “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan…”
Ungkapan Daud di zaman itu yang menyatakan bahwa umur manusia adalah 70 tahun dan ia kuat bisa mencapai 80 tahun, namun pada usia seperti itu maka ia akan bertemu dengan kesukaran dan penderitaan. Daud amat maju dalam konteks ini karena ia tidak hanya bicara tentang kefanaan makhluk manusia tetapi sudah bergerak pada kisaran usia manusia, pada angka 70-80.
Pernyataan Daud dalam Kitab Mazmur tentang kisaran usia manusia itu berada pada angka 70-80 cukup menarik, jika dibandingkan dengan usia manusia yang dicatat dalam Alkitab cukup tinggi, Metusalah 969 tahun, Nuh 950 tahun dan Adam 930 tahun.
Semua agama telah memberikan uraian yang jelas dan definitif bahwa manusia itu adalah makhluk yang fana, ia berada dalam waktu, ia tidak berada dalam kategori makhluk abadi yang tiada batas usia. Hanya sesudah ia melewati fase kematian, ia akan memasuki era baru, atmosfir baru, dunia baru, langit baru dan bumi baru dan disanalah ada *keabadian*. Ijazah, pangkat, jabatan, kedudukan, afiliasi politik, eselon, golongan, denominasi, dan sebagainya, dan sebagainya yang lahir dari kandungan peradaban manusia itu fana, temporer, yang semuanya akan *musnah*.
Cukup menarik bunyi pepatah yang dikutip diawal bagian ini “semua yang manusiawi itu pendek dan akan lenyap musnah”. Pepatah ini ingin mengingatkan kita bahwa masa waktu kita di dunia ini pendek dan akan berakhir. Kita harus mendayagunakan waktu yang Tuhan sediakan ini secara optimal untuk kita berkarya dengan baik; berkarya bagi umat, bangsa, negara dan kemanusiaan. Ajaran agama, local wisdom, tradisi budaya telah memberi dasar kuat bagi kita untuk mengukir karya terbaik. Pikiran, sikap dan tindakan negatif, yang mencederai nilai luhur agama dan mengoyak keadaban mesti kita tinggalkan. Moral, etik, spiritual yang terpuji mesti membarui kedirian kita sehingga kita layak disebut manusia ciptaan Allah ysng mulia, yang memiliki percik-percik ilahi dalam tubuh kita.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin.*