Suara Cerdas Bernas
Di zaman orba dulu, kita diramaikan dengan kata-kata yang populer yaitu “hari-hari omong kosong” yang kemudian melahirkan akronim baru “harmoko”. Istilah itu lahir sebagai ungkapan sikap protes masyarakat terhadap seseorang yang setiap hari berbicara, berpidato, menyampaikan gagasan dalam berbagai bentuk, diberbagai tempat, tapi isinya klise atau mengulang-ulang isu lama, basi dan membosankan. Sang tokoh memang bukan orator, yang suaranya menggelegar dan meyakinkan publik. Namun tatkala ia tampil di ruang publik dan diliput media masa setiap hari, dengan konten yang selalu diulang, dari situlah akronim harmoko bermula.
Ada peribahasa dalam bahasa Indonesia yang amat populer dikalangan masyarakat luas yang berbunyi “Tong kosong nyaring bunyinya”. Peribahasa itu ingin menjelaskan tentang orang yang mahir dalam pidato, memberi motivasi kepada banyak orang dan orang semua terpukau dengan realitas itu. Namun kemudian dalam praktek semua yang ia katakan itu hanya “omong besar” karena orang itu tak bisa apa-apa. Seseorang pandai berorasi, dengan bahasa yang muluk dan bombastis, lebay, tetapi dalam kenyataan orang itu tidak mampu melakukan apa-apa. Realitas seperti itu yang diungkapkan dalam peribahasa “tong kosong nyaring bunyinya”.
Baik “hari-hari omong kosong,” maupun “tong kosong nyaring bunyinya” adalah dua untaian rumusan yang berbicara tentang _kemandulan_ kata, ketidakbernasan kata. Kata-kata yang kosong, yang nir-makna, yang tak punya makna dan dampak, yang bagaikan sampah dalam dunia digital. Kata yang sekadar untaian huruf, mungkin bisa membentuk kalimat, yang berhenti pada _tekstual_, tetapi yang tak bisa membuah dalam karya. Kata ‘harmoko’ dan ‘ tong kosong nyaring bunyinya” memiliki kesetaraan makna!
Dalam dunia yang modern “suara yang kosong” masih banyak kita temui dalam kenyataan praktis. ‘Suara kosong’ adalah ibarat suara yang keras terdengar di tengah hutan, ditengah padang pasir, atau di manapun, di negara antah berantah tapi suara itu tidak punya makna apapun. Suara itu berlalu begitu saja, tidak melahirkan tindakan apapun. Tidak ada dampak apapun, tak ada akibat apapun juga.
Suara kosong terjadi apabila seorang dengan amat piawai membujuk ratusan atau bahkan ribuan orang untuk memilih dirinya menjadi pemimpin dengan menjanjikan berbagai “angin surga” namun kemudian sesudah orang itu terpilih menjadi pemimpin ia tidak melakukan program yang dijanjikan itu, ia hanya mengumbar syahwat kekuasaannya sambil memperkaya diri dengan cara melawan hukum.
Suara kosong adalah janji-janji tanpa bukti, suara kosong adalah php yang dalam konteks dan kasus tertentu menyengsarakan rakyat terutama sekali rakyat miskin dan bodoh yang terbuai serta terbius oleh para penjual mimpi yang telah menjadikan rakyat sebagai tumbal bagi obsesi politiknya.
Dalam sebuah Indonesia yang masyarakatnya adalah para penganut agama yang beriman teguh, suara-suara yang diungkapkan ke ruang-ruang kehidupan bukanlah suara-suara kosong, suara-suara nir-makna. Bukan juga suara-suara penuh nista dan kebencian terhadap *sara* suara-suara bombas dan sinis terhadap ideologi negara, suara-suara bertendens diskriminatif, suara-suara mencerca dan menguliti siapa saja yang dianggap berbeda, suara-suara permusuhan penuh dendam kesumat terhadap sejarah kelam masa lalu.
Suara-suara yang mestinya kita suarakan dalam sebuah NKRI yang maju, modern, berkeadaban adalah sebuah koor besar yang melantunkan puji syukur kepada Tuhan atas karya agungNya mencipta Indonesia, suara-suara penuh talisilaturahim dan persaudaraan, suara-suara yang menggugah semangat kebersamaan dan memantapkan wawasan kebangsaan, suara-suara dengan kata-kata cerdas bernas untuk membangun rumah besar Indonesia demi masa depan dunia yang penuh harmoni.
Mari Saudaraku terkasih kita bicara dengan suara yang cerdas dan bernas, suara yang indah, cantik dan elegan. Kita garami, terangi, nafasi dan warnai negeri tercinta Indonesia dengan suara-suara penuh makna, yang memberi pengharapan dan perspektif kehidupan.
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin.