_”Supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan”_ (Galatian 5 :1)
“Ya Allah, ya Tuhan kami/
Dihari kemerdekaan negeri kami/
Kami memohon kepadaMu ya Allah/
Ilhamilah kami untuk menyadari dan mensyukuri/
Dengan benar rahmat agung anugrahMu/
Nikmat kemerdekaan kami
Berilah kepada kami dan pemimpin-pemimpin kami/
Kecerdasan memahami arti kemerdekaan yang benar/
Berpuluh tahun kami dijajah oleh kebodohan kami/
Berpuluh tahun kami dijajah oleh bangsa asing/
dan bangsa sendiri
Dan kini setelah merasa merdeka kami mulai dijajah/
oleh nafsu dan kedengkian kami sendiri/
Ya Allah, ya Tuhan kami/
Jajahlah kami, jajahlah kami olehMu sendiri/
Merdekakanlah kami/
Jangan biarkan selainMu, termasuk diri-diri kami/
Ikut menjajah kami.
( “Doa Kemerdekaan” oleh A. Mustofa Bisri)
Kemerdekaan, kebebasan, kondisi tidak terbelenggu dan tidak terpenjara, semua orang merindukannya. Itulah sebabnya kemerdekaan diperjuangkan bahkan hingga titik darah penghabisan. Peringatan Hut kemerdekaan juga selalu disambut rakyat dengan sukacita. Ada bendera merah putih berkibar disepanjang jalan. Ada lomba baca puisi; panjat pinang, ada remisi, ada upacara bendera. Namun setiap kali kita memperingati hut kemerdekaan selalu saja seberkas tanya mengendap dalam nurani : apakah kita sudah benar-benar merdeka? Atau kita baru “seolah-olah merdeka”?
Penyair Mustofa Bisri dalam puisi berjudul “Doa Kemerdekaan” yang sebagian dikutip dibagian awal tulisan ini mengakui bahwa kemerdekaan belum sepenuhnya dinikmati oleh seluruh warga bangsa. Manusia dijajah oleh nafsunya sendiri. Itulah sebabnya dalam puisinya itu ia mohon kepada Tuhan agar manusia tidak dijajah oleh nafsunya sendiri. Ia mohon agar Tuhan sendiri yang menjajah diri manusia, bukan manusia atau kuasa lain.
Manusia, makhluk fana ciptaan Allah termulia itu, pada hakikatnya adalah manusia yang terbelenggu oleh kuasa dosa. Manusia terpenjara oleh kuasa dosa, manusia tak mampu dari dirinya sendiri membebaskan diri dari kuasa dosa. Maka Yesus datang membebaskan manusia dari belenggu dosa. Kristus telah memerdekakan kita! kata Paulus dalam Galatia 5:1, bahkan “sungguh-sungguh merdeka”. Bukan kemerdekaan semu, kemerdekaan artificial, bukan pseudo-kemerdekaan, tetapi kemerdekaan sejati, kemerdekaan yang sesungguhnya.
Paulus menegaskan hal kemerdekaan yang telah diwujudkan Kristus itu untuk menyadarkan warga jemaat di Galatia agar mereka tidak lagi hidup dijajah oleh syariat Taurat dengan sistem hukum yang njlimet dan _complicated_ dan seolah dengan hidup bersyariat model begitu mereka akan selamat dan masuk surga.
Sikap itu yang membuat Paulus berang dan menyebut mereka orang Galatia yang bodoh (3:1). Mereka sudah menjadi pengikut Kristus tapi mereka masih mempertahankan syariat Taurat. Sikap ambivalen dan inkonsisten ini yang dikritik tajam oleh Paulus. Paulus ingatkan mereka agar jangan lagi dikenai kuk perhambaan dengan menjalankan syariat Taurat. Dualisme kehidupan warga Galatia ini sangat kontra produktif bagi pemantapan iman umat, dan mencederai pengurbanan Yesus Kristus di kayu salib demi pembebasan dosa umat manusia.
Sebagai bangsa kita sudah mengalami pemerdekaan secara politik, per 17 Agustus 1945 walaupun dampak kemerdekaan itu belum dirasakan sepenuhnya oleh seluruh wsrga bangsa. Kebebasan beragama, pemajuan HAM, isu Sara, sikap diskriminasi, adalah agenda yang belum sepenuhnya dikelola dengan baik dalam sebuah NKRI yang majemuk.
Kemerdekaan dari perspektif teologis kita telah menikmatinya dengan baik. Kita telah ditebus Yesus Kristus dari hidup yang berlumur dosa, dan mewujudkan hidup secara baru dalam anugerah keselamatan abadi. Kita harus mampu mewujudkan hidup merdeka, hidup tanpa dikuasai dosa, hidup yang mengabdi sepenuhnya kepada Allah, hidup yang setia kepada FirmanNya. Dan bukan hidup inkonsisten dan ambivalen, hidup yang berpura-pura dekat kepada Allah.
Selamat merayakan hari Minggu. God bless.
*Weinata Sairin*