Pdt. Weinata Sairin: Memilih dengan Minus Malum

0
1938

 

 

“Minima de malis. (Pilihlah) yang paling sedikit kejelekannya”.

 

Dalam kehidupan kita sehari-hari bahkan sejak masa kanak-kanak, kita sudah amat akrab dengan kata *pilih*. Dirumah misalnya ibu kita pada zaman baheula selalu agak heboh jika harus memilih lagi beras yang “murni” oleh karena dalam timbunan beras di karung itu ternyata masih banyak “gabah” nya. Terkadang banyak sekali aktivitas “memilih” yang mesti dilakukan di dapur. Misalnya : memilih cabai merah diantara tumpukan cabai rawit; memilih bawang yang segar diantara bawang yang hampir membusuk; memilih beras biasa yang terkadang tercampur atau dicampur dengan beras ketan. Percampuran itu bisa mengakibatkan beras ketan tidak “pulen” sebagaimana biasanya, jika nanti beras itu ditanak.

 

Hampir seluruh episode kehidupan kita sebagai manusia dipenuhi dan diwarnai oleh aktivitas pilih-memilih. Dan aktivitas itu terjadi dirumah, di tengah masyarakat, di kantor, di pasar, di toko, di mall, di ruang-ruang/tempat upacara yang diatur secara protokoler secara eselon dan atau kepangkatan. Bahkan dizaman “now” untuk menghadapi kematian pun orang bisa memilih : ingin dikremasi atau tidak, dimakamkan di TPU atau di tempat pemakaman elit. Namun urusan kematian ini berkaitan erat dengan kepenganutan agama; pilihan-pilihan yang disebutkan diatas itu bisa saja tidak terjadi di sesuatu agama.

 

Di sekolah, para peserta didik diberikan beberapa pilihan judul ketika ada pelajaran Mengarang. Atau pada saat Ulangan, ada jawaban soal yang menggunakan cara memilih. Misalnya dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, peserta didik harus memilih satu jawaban yang tepat dari 3 jawaban yang disediakan di kertas Ulangan. Waktu menginjak usia remaja maka kita juga melakukan aktivitas memilih : memilih buku/novel yang kita suka, memilih teman untuk curhat, memilih pacar, memilih sekolah, memilih jurusan di perguruan tinggi, memilih judul skripsi, memilih pekerjaan, ya memilih ini dan itu hingga kita tiba di penghujung usia.

 

Hanya dalam konteks peristiwa “kematian” dan juga “agama” pada hakikatnya kita tidak bisa memilih. Walaupun dalam kasus-kasus yang amat khusus, misalnya pernikahan, ada kalanya orang masih bisa melakukan pilihan, tetap atau berubah.

 

Kematian adalah sesuatu yang definitif, walaupun D-Daynya tetap rahasia, rahasia Sang Pemilik Kehidupan. Kematian, tetap menjadi ranah Tuhan Yang Maha Esa. Manusia dengan kecanggihan berfikir, melalui teknologi kedokteran yang makin maju, berupaya menghadang, ‘membujuk’ dan atau ‘bernegosiasi’ agar Sang Maut bisa dipending dan atau diembargo kedatangannya. Agama-agama tidak sepenuhnya setuju terhadap euthanasia sehingga mereka lebih ‘tega’ membiarkan seorang pasien dalam kondisi koma berkepanjangan dengan seluruh topangan peralatan canggih teknologi kedokteran di tubuh pasien, ketimbang memberlakukan tindakan medik yang mengakhiri kehidupan.

 

Semua yang namanya ‘memilih’ itu bukanlah hal yang mudah dan sederhana. Aktivitas itu memerlukan pengenalan terhadap obyek yang dipilih, pendalaman, pembandingan, kajian, sikap kritis. Hal yang normal dan standar dalam memilih adalah bahwa aktivitas itu merupakan keputusan pribadi dan bukan karena ikut-ikutan, apalagi karena uang atau intimidasi. Aktivitas pemilihan yang paling sulit adalah tatkala kita memilih pasangan hidup, pendamping setia dalam mengarungi samudera kehidupan. Kesulitan dalam memilih itu bukan pertama-tama karena calonnya banyak; yang calonnya tunggal juga tetap saja mengalami kesulitan. Sulitnya adalah, bahwa pemilihan itu definitf, berlaku seumur hidup (sampai kematian memisahkan), dan tak ada “repetitio” . Namun karena pemilihan pasangan hidup itu lebih pada aktivitas privat, jauh dari nuansa “politik” maka tingkat kehebohannya dan keramaian “perang hoax” berada pada posisi *zero* di banding dengan  realitas yang terjadi dalam dunia politik.

 

Pepatah yang dikutip diatas pasti tidak dalam konteks pemilihan pasangan hidup. Untuk pemilihan para calon pimpinan yang non-pasangan hidup akan lebih cocok dan relevan. Kita biasanya selalu terobsesi dengan sesuatu yang perfect, sempurna. Itu juga kita harapkan dengan kualitas para pemimpin kita, namun fakta dan realitas memperlihatkan sesuatu yang sama sekali lain; malahan ada calon yang terkena OTT KPK. Para pemimpin yang sudah lama dan mapan juga banyak yang harus masuk penjara karena kerakusan dan ketamakan mereka. Realitas ini merupakan kenyataan yang amat menyedihkan terutama karena konon 99,9 %.bangsa kita adalah bangsa beragama.

 

Dalam kasus ini agama-agama tidak hanya dinista dan dinodai, sebagaimana yang dinyatakan dalam PNPS No 1 Tahun 1965, tetapi agama-agama telah dikuliti, dihabisi sehabis-habisnya, agama-agama dibunuh, dicabut rohnya, agama-agama tiada tersisa kecuali nama, istilah dan jargon. Ya karena para penjahat, teroris, pembunuh, koruptor itu telah membuang agama dari nurani mereka. Semua yang akan kita pilih bukanlah makhluk sempurna, mereka memiliki kekurangan dan keterbatasan. Kita memilih yang paling sedikit kejelekannya. “Minus malum” kata para Romo. Memilih dalam konteks “minus malum” masih lebih bermartabat dari pada *tidak menggunakan hak pilih*

 

Selamat berjuang. God bless.

 

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here