Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Mazmur 34:1-9
(1) Dari Daud, pada waktu ia pura-pura tidak waras pikirannya di depan Abimelekh, sehingga ia diusir, lalu pergi. (2) Aku hendak memuji TUHAN pada segala waktu; puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku. (3) Karena TUHAN jiwaku bermegah; biarlah orang-orang yang rendah hati mendengarnya dan bersukacita. (4) Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya! (5) Aku telah mencari TUHAN, lalu Ia menjawab aku, dan melepaskan aku dari segala kegentaranku. (6) Tujukanlah pandanganmu kepada-Nya, maka mukamu akan berseri-seri, dan tidak akan malu tersipu-sipu. (7) Orang yang tertindas ini berseru, dan TUHAN mendengar; Ia menyelamatkan dia dari segala kesesakannya. (8) Malaikat TUHAN berkemah di sekeliling orang-orang yang takut akan Dia, lalu meluputkan mereka. (9) Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!
Pada suatu acara pesta seorang mahasiswi pulang kampung. Dia mengajak pacarnya ikut serta untuk diperkenalkan kepada keluarga, terutama kepada ibunya. Ibunya selama ini selalu memberi nasihat, kalau mencari pasangan carilah pasangan yang ideal. Ketika pesta berjalan, si mahasiswi mendekati ibunya. “Ma, pria tampan berkumis tipis yang duduk di sudut itu adalah pacar saya.” “Nak, mama kira dia bukan tipe menantu ideal,” jawab ibunya. “Ma. Dia sangat baik hati, jujur, sangat sopan dan polos. Kenapa ibu bilang dia bukan tipe menantu ideal?” “Nak, kamu benar. Dia memang sangat polos bahkan terlalu polos sampai-sampai celanannya pun sangat polos, lihat tu saku celananya tipis sekali. Dia kurang ideal, nak.”
Coba lihat pembelaan dan pujian yang diberikan si mahasisiwi. Itu keluar dari mulutnya karena ia mencintai pacarnya. Keluar dari hatinya yang tulus, hati yang penuh cinta.
Daud memuji Tuhan. Itu karena cintanya kepada Tuhan. Tanpa cinta kepada Tuhan mustahil dia berkata, “Aku hendak memuji Tuhan pada segala waktu. Dan, mustahil dia mengakui dengan gembira perbuatan-perbuatan Tuhan yang datang dalam hidupnya. Tanpa cinta akan Tuhan, besar kemungkinan Daud, juga kita, mudah saja menyepelekan perbuatan-perbuatan Tuhan. Tetapi karena cinta, Daud mampu mengungkapkan pujiannya. Darimana kita tahu bahwa Daud mencintai Tuhan? Dalam Mzm. 26:8, Daud berkata: “Tuhan aku cinta pada rumah kediaman-Mu…” Cinta rumah kediaman Tuhan berarti juga mencintai yang mendiaminya. Kecintaan Daud semakin tegas dinyatakan dalam Mzm. 27:8, “Hatiku mengikuti firman-Mu…” Cinta, kesetiaaan dan pujian berjalan bersama. Suatu kesetiaan tanpa cinta, mudah berubah menjadi perlawanan dan pujian akan terasa hambar.
Pujian yang keluar dari cinta dan kesetiaan kepada Tuhan tak mengenal batas waktu. Kapan pun dia siap memuji Tuhan, karena dia tahu Tuhan tidak pernah berhenti menolongnya. Seperti kata Daud, “Puji-pujian kepada-Nya tetap di dalam mulutku.” Dengan kata lain, mulut Daud dipenuhi puji-pujian. Seorang bapak datang kepada pendeta mengeluhkan nasibnya yang malang. Ia hanya menceritakan kesedihan dan kemalangannya. Kadang-kadang ia protes kepada Tuhan, “Tuhan kog tidak peduli kepada saya.” Setelah beberapa saat pendeta lalu bertanya, “Apa tidak satu pun yang baik yang pernah Tuhan lakukan dalam hidupmu?” Bapak itu diam dan akhirnya berkata, “ada.” “Belajarlah mencintai Tuhan dengan mengingat kebaikan-kebaikan-Nya. Akuilah perbuatan-perbuatan baik-Nya sehingga hidup tak dirasakan sebagai kemalangan belaka,” kata pendeta.
Kepada setiap orang tua, tanamkanlah sikap ini kepada anak anda sejak sekarang ini. Sebelum memberikan mainan, tunjukkanlah lebih dahulu cara hidup bersyukur kepada mereka. Jangan sampai nanti dia berujar kepada boneka kesayangannya: “Hai bonekaku, kamu baik deh. Mudah-mudahan papa-mamaku baik seperti kamu.” Gawat, kalua demikian anak berujar kepada bonekanya. Harusnya dia berujar, “Bonekaku sayang, kamu harus baik seperti mama-papa ya.”
Selain tanpa batas, memuji Tuhan juga bersifat mempersatukan: “…marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya!” (ay.4b). Dalam memuji Tuhan, kita meninggikan Dia melampaui segalanya. Melampaui batas suku, bahasa, kelompok dan gereja. Setiap jemaat dari gereja manapun, bahkan manusia dari agama apa pun jika ditanya siapa yang mereka puji dalam ibadahnya? Pasti mereka menjawab: Tuhan. Hanya Tuhan. Kalau begitu kita ini seharusnya satu adanya. Tetapi mengapa kita saling membedakan dan beselisih satu sama lain? Oleh karena itu dalam memuji Tuhan kita harus mampu menciptakan rasa persaudaraan. Kita hidup dengan bermacam-macam orang karena latarbelakangnya, tetapi semuanya bersatu karena Tuhan. Jangan terpecah dan saling berselisih. Memuji Tuhan menciptakan suasana Indah suasana kesatuan.
Kalau memuji Tuhan itu indah, maka satu hal harus dikatakan di sini, yaitu melayani itu indah! Keindahan melayani adalah anugerah tak ternilai dalam hidup ini. Karena itu, janganlah ‘alergi’ atau terlalu cepat menolak pelayanan, apalagi terlibat di dalamnya. Nikmatilah keindahan pelayanan itu. Dulu, pada tahun 70-an saya mendapat hadian buah apel yang baru pertama kali saya lihat, dari keluarga yang baru pulang dari liburan di Surabaya. Merasa senang bercampur bingung, saya menyimpannya. Melihat gelagat saya seperti itu, keluarga itu tertawa. “Bukan untuk disimpan, tapi untuk dimakan,” katanya. Ketika saya menikmatinya, wuah, enak tenan.
Saya sering melihat banyak orang menerima jabatan atau tugas pelayanan, tapi tidak benar-benar melakukannya. Saran saya, lakukanlah dengan sepenuh hati. Makan pada waktunya nanti kita akan berujar, wuah, enak tenan melayani itu. Benar-benar enak, karena kita melakukannya sebagai wujud cinta akan Tuhan. Kita ingin memujinya melalui kata dan perbuatan kita yang mau melayani.