“Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan menyanyikan puji-pujian kepada Allah dan orang-orang hukuman lain mendengarkan mereka. Akan tetapi terjadilah gempa bumi yang hebat, sehingga sendi-sendi penjara itu goyah; dan seketika itu juga terbukalah semua pintu dan terlepaslah belenggu mereka semua” (KPR 16 : 25, 26)
Perkenalan kekristenan dengan umat manusia dari beragam latar belakang tidak selalu berlangsung dengan lancar. Sebagai “agama baru” kekristenan bukan saja dilihat sebagai kompetitor, tetapi juga ajaran, dogma, teologinya dipertanyakan banyak orang dengan sikap skeptis yang amat tinggi, serta sikap mencibir. Kita bersyukur bahwa Kitab Kisah Para Rasul sebagai salah satu kitab dalam Alkitab memberikan gambaran yang nyaris lengkap tentang pertumbuhan kekristenan bahkan dengan pergumulannya dalam berhadapan dengan dunia, dunia yang menolak kekristenan.
Ada banyak aspek yang bisa dicatat dalam hubungan dengan perjumpaan kekristenan dengan dunia, sebagaimana yang direkam kitab Kisah Para Rasul. Dalam KPR Pasal 4 : 1-22 diungkapkan bagaimana reaksi sebagian orang terhadap pemberitaan kabar kesukaan yang dilakukan dengan berani oleh Petrus dan Yohanes. Imam-imam Bait Allah, Kepala Pengawal dan orang Saduki marah kepada kedua orang itu karena tema kotbah mereka “dalam Yesus ada kebangkitan dari antara orang mati”. Mereka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Namun umat yang percaya akibat kotbah mereka juga bertambah menjadi 5.000 orang laki-laki. Kedua orang itu dihadapkan pada persidangan dan diajukan pertanyaan interogatif : dengan kuasa mana atau dalam nama siapa mereka lakukan kegiatan itu? Mereka tidak gentar mereka makin termotivasi untuk memberitakan tentang Kristus.
Hal yang amat menarik yang ditunjukkan oleh Petrus dan Yohanes adalah imannya yang teguh kepada Allah. Ia dkk ketika dilarang keras untuk memberitakan kabar kesukaan malahan dengan tegas menyatakan “kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia” (KPR 5 : 29). Mereka tidak ingin pemberitaan kabar kesukaan yang berdimensi sakral-vertikal dilarang dan dihentikan oleh power politik (dan agama) yang dimiliki segelintir orang di zaman itu, tanpa alasan rasional.
Injil Kristus yang membebaskan dan memyelamatkan itu tidak saja ditentang oleh kaum agama dizaman itu, tokoh politik, tetapi juga mereka yang bergerak dibidang ekonomi. Demetrius tukang perak yang membuat kuil kuilan dewi Artemis dengan penghasilan besar juga menolak Injil karena jika manusia percaya kepada berita Injil maka Dewi Artemis tak punya arti lagi dan produk kuil perak dari Demetrius akan mengalami kebangkrutan. (lihat KPR 19 : 21-40).
Kekristenan yang berbasis Injil tak pernah bisa tunduk oleh kuasa apapun. Para pekabar Injil bisa saja dipenjara karena ia memberitakan Injil, tetapi Firman Allah tidak pernah bisa dipenjara. Firman Allah akan terus menjadi kuasa dinamik ditengah sejarah umat manusia, untuk membawa manusia menuju ke keselamatan sejati.
Perjumpaan Injil dengan umat manusia memang menimbulkan resistensi dari kelompok agama, penguasa, mereka yang bergerak di bidang ekonomi. Namun ada banyak kelompok orang yang bertobat dan percaya kepada Injil.
Bagian Alkitab yang dikutip dibagian awal menyajikan narasi yang mengingatkan kita semua bahwa doa dan pujian kepada Allah memiliki power yang kuat dalam kehidupan orang percaya. Pengalaman Paulus membuktikan hal itu, doa dan puji-pujian didengar Allah sehingga ia bertindak dan membebaskan Paulus dari kondisinya yang terbelenggu.
Kita hidup sekarang ini -tanpa sadar- berada dalam penjara. Penjara sara, penjara denominasi, penjara afiliasi politik dan penjara-penjara lainnya. Apapun yang terjadi Firman Allah tak boleh dipenjara, Firman Allah harus kita hidupkan menjadi kekuatan dinamik yang menuntun arah perjalanan kita menuju masa depan. Kuasa Doa dan Puji-pujian akan terus memperkuat entitas kekristenan kita ditengah realitas dunia.
Selamat Merayakan Hari Minggu. God bless.
Weinata Sairin