Oleh: Pdt. Pinehas Djendjengi
Lukas 17:1-6
(1) Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya. (2) Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini. (3) Jagalah dirimu! Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. (4) Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.” (5) Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!” (6) Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”
Dalam ayat 3-4 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Jagalah dirimu!” Kata Yesus selanjutnya, “Jikalau saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia, dan jikalau ia menyesal, ampunilah dia. Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia.”
“Jagalah dirimu!” kata Yesus. Apakah maksud yang terkandung dari perkataan Yesus ini? Nasihat ini dapat berimplikasi ke banyak hal. Ya, karena dalam semua hal kita harus mampu menjaga diri. Tapi kali ini Yesus berbicara tentang satu satu hal. Ia menghendaki murid-murid-Nya melawan dengan sekuat tenaga kecenderungan yang ada dalam diri mereka (dan setiap orang!), yaitu sulit sekali mengampuni orang lain. Kecenderungan ini selalu membuat hati kita tertutup bagi orang lain, dan sulit membukanya. Maka itu Yesus berkata, “Jagalah dirimu!” Yesus tahu benar kecenderungan spontan ini. Jika kita sakit hati, harga diri kita dilukai, kepercayaan kita dikhianati, tak ada lagi ruang di hati kita bagi yang bersangkutan.
Yesus melihat bahwa kecenderungan itu adalah penghalang terbesar bagi pertumbuhan iman. Walau kita punya kepercayaan yang tinggi akan Tuhan, tapi jika kita memelihara rasa sakit hati terhadap sesama, sulit bagi kita untuk bertumbuh dalam iman. Yesus serius dengan hal ini. Itulah sebabnya dalam Mat. 5:23-24 Ia menasihatkan kita untuk membereskan dahulu hubungan dengan sesama, barulah kita dapat layak menjalin hubungan dengan-Nya!
Murid-murid menyadari bahwa hal ini sangat berat untuk dilakukan. Karena itu mereka mohon kepada Yesus, “Tambahkanlah iman kami!”. Mungkin kita bertanya, apakah hubungan iman dan kesediaan mengampuni? Jawabannya: mengampuni hanya mungkin terjadi atas dasar iman. Dengan iman kita disanggupkan melakukan apa yang sebenarnya kita tidak sanggup.
Kita dapat saja memaafkan kesalahan orang. Tetapi kita tetap memandangnya sebagai orang bersalah. Kesalahannya tetap mengikat dirinya. Dengan iman kita dapat mengampuninya, artinya kesalahan dan dosanya dihapuskan. Bukan dalam arti kita yang menghapuskan dosanya itu, melainkan oleh Tuhan. Pengampunan dosa hanya datang dari pihak Tuhan, tapi melalui iman kuasa pegampunan dialirkan kepada kita dan kepada orang lain. Kata Yesus, “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yohanes 20:23). Inilah keajaiban iman! Iman ini bekerja melalui doa yang tulus (baca: Yakobus 5:15).
Pertanyaan bagi kita sekarang: ketika kita disakiti, apakah isi doa kita? Minta agar Tuhan memampukan kita untuk membalasnya? Atau minta Tuhan memampukan kita untuk mengampuninya? Apakah kita seperti murid-murid yang berkata, “Tambahkanlah iman kami?”
Dengan mengampuni berarti kita percaya bahwa yang bersangkutan masih layak diberi kesempatan lagi. Kesempatan untuk berubah dan melakukan hal-hal terbaik dalam hidupnya. Paulus dapat bangkit dari dunianya yang gelap dan melakukan karya-karya imannya yang gemilang, setelah Tuhan menerima dan mengampuninya. Bayangkan, betapa gelapnya hidup ini jika tidak ada sikap saling mengampuni. Bukankah Tuhan telah menerima dan mengampuni kita ketika kita masih berdosa? “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Roma 5:8).