Pdt. Weinata Sairin: “Fluctus in simpulo. Ombak di sendok kecil”.

0
1372

Ombak amat erat kaitannya dengan laut. Ombak dan laut banyak menjadi sumber inspirasi bagi para penyair, komposer, dan novelis. Deru ombak dan gemericik air laut menghadirkan pikiran-pikiran jernih dan puitis yang melahirkan puisi lagu, bahkan lukisan. Tatkala ombak itu menjadi besar bahkan kemudian menyatu dengan tsunami maka tentu saja hal amat membahayakan jiwa manusia. Ombak besar, tsunami tetap saja dapat melahirkan puisi yang merekam keganasan tsunami.

 

Ridwan Amran seorang penyair kelahiran Aceh dalam buku antologi puisi “Ziarah Ombak” (D. Kemalawati, Sulaiman Tripa, Ed. Penerbit Lapena, Banda Aceh, 2005) menulis puisi berjudul “Moment Tsunami” sebagai berikut : “murka laut membumi dengan deru / dunia terguncang di jantungnya / Tuhanpun bergumam di bibir mersik / mendambakan pertolonganNya / kedurhakaan mendadak luruh / mengapung diatas buih / dan nanah diatas luka / pedih dan renyai airmata / disuluh matahari / kemiskinan merenta dalam lapar / tertatih mohon belas kasihan / sandang pangan dan kematian / purnama merah darah / tenda-tenda merengkah cinta / menggelutih desa ke ujung jalan / Tuhan pun bertanya / Hai manusia siapakah kamu/”

 

Ridwan Amran melalui puisinya mencoba memotret peristiwa Tsunami Aceh 26 Desember 2004 yang menggemparkan dunia itu, dalam sebuah angel yang spesifik. Ia memaknai Tsunami itu sebagai wujud kemahakuasaan Tuhan dan menampilkan paradok yang antagonistik dengan manusia yang lemah, yang memohon pertolonganNya. Realitas manusia durhaka luruh menyatu dengan tsunami yang membuih mewarnai laut. Manusia tanpa daya tertatih-tatih menghadapi kuasa Sang Transenden manusia kehilangan identitasnya sebagai khalifah Allah, sebagai imago dei. Dan Tuhan pun dalam imajinasi Ridwan menampilkan pertanyaan retorik “hai manusia siapakah kamu”.

 

Tsunami yang memporakporandakan Aceh menghadirkan tangis, pilu, derita yang tak bisa diuraikan dengan berjuta kata. Mohd Harun Al Rasyid dosen Unsyiah Banda Aceh, penyair yang kehilangan istri dan kedua anaknya terkasih oleh gelombang ganas Tsunami, dengan amat religius menulis puisi berjudul “Aku Bertanya PadaMu”, yang sebagian dikutip : “O Tuhan Yang Maha Menjaga / Sebagai hamba aku sadar dalam iman / Aku adalah ciptaanMu / Sebagaimana anak-anak dan istriku / Yang telah Kau panggil / Bersama lebih dua ratus lima puluh ribu jiwa /

 

Dibawah singgasanaMu / Perkenan aku memohon / Berilah mereka payung cintaMu / Abadi dalam rahmat / Dan aku yang masih bernafas / Sadarkanlah / Sadarkanlah / Sadarkanlah / Agar selalu mampu merangkai rasa sedih / Menjadi untaian tasbih / Merangkai gelisah menjadi sajadah…”

 

Acapkali ombak, lautan dan samudera dijadikan metafora untuk memberi gambaran tentang kehidupan umat manusia. Seringkali dinyatakan bahwa ‘bahtera rumah tangga kita sedang mengarungi lautan dengan berbagai guncangan ombak didalamnya. ‘Guncangan ombak adalah metafora dari persoalan / pergumulan yang dihadapi oleh setiap keluarga.

 

Dalam kehidupan ini kita memang berhadapan dengan berbagai pergumulan hidup dengan berbagai bobot dan varian. Tak pernah ada kehidupan yang aman, tenang tanpa pergumulan didalamnya. Ada yang tak kuat dengan pergumulan itu lalu mengalami stres. Dalam beberapa kasus di masyarakat kita mendapat informasi ada mereka yang bunuh diri karena tak sanggup menghadapi pergumulan tersebut. Kasus terakhir misalnya ada dua orang adik-kakak di Bandung yang melompat dari apartemen dan mengakhiri hidupnya.

 

Sebagai umat beragama kita yakin bahwa dengan memohon doa kepada Tuhan kita akan dapat mengatasi setiap pergumulan yang kita hadapi. Pergumulan / persoalan hidup itu harus kita maknai sebagai bagian dari proses pembelajaran hidup kita yang akan menguatkan kita. Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan bahwa “ombak di sendok kecil”. Ombak itu tidak akan memberi pengaruh apa-apa bagi hidup kita. Kita belajar menghadapi ombak di sendok kecil itu agar jika terjadi ombak besar ditengah lautan luas kita siap menghadapinya! Jika kita ignore terhadap yang kecil maka kita tak mampu berhadapan dengan yang besar!

 

Selamat Berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here