Hidup itu Rapuh

0
2202

Oleh: Pdt. Bong San Bun

 

Saya pernah berbangga di depan istri bahwa saya orang paling sehat di antara lima bersaudara.   Berat badan saya normal (cenderung kurus), tensi darah, hasil lab darah semacam kolesterol, trigliserida, SGPT, SGOT bla-bla-bla: normal.   Dua tahun lalu saya pernah medical check-up, semua sehat kecuali septum deviasi (tulang hidung bengkok) yang mengakibatkan mampet kalau udara dingin (setelah menjalani operasi Mei 2015, sudah tidak lagi mampet).

 

Sedangkan kakak-kakak saya ada yang kolesterol tinggi, tensi darah tinggi.   Saya menjaga pola hidup sehat.  Makan gorengan jarang.  Kerupuk aci adalah musuh.  Olah raga seminggu beberapa kali jalan pagi.  Makan nasi putih campur merah sejak beberapa tahun terakhir.  Makan sayur-buah sering.   Sampai anak saya sudah hapal dengan buah yang sering saya beli: pepaya!

 

Namun kebanggaan itu lenyap 4 November 2016, saat vonis MRI dijatuhkan.  Saat saya “naik banding” ke dokter THT, di-nasocopy, dibiopsi dan PET scan, keputusannya tidak berubah: KNF T4N2M0, artinya kanker nasofaring, T4: stadium 4, N2: menyebar ke kelenjar getah bening kiri dan kanan, M0:  tidak menyebar ke organ tubuh lain.  Saya mulai mengarungi perjalanan hidup yang berbeda dari yang biasa saya jalani.   Bolak-balik periksa darah, infus, kemo dan (nanti) radiasi.

 

Tidak ada sesuatu dalam hidup kita yang bisa dibanggakan.  Bahkan apa yang kita anggap baik, pasti, stabil dalam sekejab bisa berubah.   Hidup itu rapuh.   Pemazmur menuliskan, “Masa hidup kami tujuh puluh tahun dan jika kami kuat, delapan puluh tahun, dan kebanggaannya adalah kesukaran dan penderitaan; sebab berlalunya buru-buru, dan kami melayang lenyap.”.

 

Saya kutipkan versi yang lebih menolong kita memahaminya: “ Seventy years are given us! And some may even live to eighty. But even the best of these years are often empty and filled with pain; soon they disappear, and we are gone.”  (Living Bible).

 

Ini adalah ironi.  Orang yang merasa hidupnya sukses, berbangga diri ternyata juga menyimpan banyak kehampaan, kesakitan dan kesedihan.   Kita menilai si A atau si B “sukses”, ternyata masa paling puncak dalam hidup mereka tidak menjadi masa paling membahagiakan.   Dan masa puncak itu ternyata hanya sebentar.   Tiba-tiba bel kematian dibunyikan, dan kita lenyap.

 

Oleh sebab itu, selama masih hidup, hiduplah dengan sikap bijak. Gunakan setiap waktu (baca: kesempatan), potensi hidup, energi Anda untuk meraih hal yang mulia, “making the most of every opportunity, because the days are evil.”

 

Tuhan memberikan sejumlah tahun kehidupan bagi kita.  Jangan habiskan waktu itu untuk hal-hal biasa yang kita pikir bisa menyenangkan diri (ternyata malah bikin hidup susah).  ***

 

Pdt Bong San Bun (Pdt. di GII Hok Im Tong Bandung.)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here