Pdt. Weinata Sairin: “Tetapi kita yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbaju zirahkan iman, dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan”. (1 Tesalonika 5 : 8)

0
2384

 

 

Kekristenan tidak lahir dan hadir dalam sebuah dunia yang kosong dan steril, dunia yang putih bersih, dunia yang tanpa apa-apa. Kekristenan lahir dalam sebuah dunia yang sudah _menjadi_ yang nyaris established dan mapan di zamannya. Kekristenan datang berhadapan dengan struktur budaya, politik, agama yang sedang tumbuh dengan pengaruh kuat didalamnya. Itulah sebabnya kekristenan yang datang dengan konsep (teologi) baru, budaya dan paradigma baru di berbagai bidang, ditentang, dihujat, dilawan bahkan yang mencapai titik kulminasi dengan mengadili Yesus secara tidak adil dan menghabisi nyawaNya secara tragis di kayu salib di bukit Kalvari.

 

Kekristenan tidak pernah berakhir dengan kematian Yesus. Darah Yesus dan darah para martir telah membangkitkan kekristenan dengan kekuatan dan energi baru, melahirkan Gereja-gereja yang memenuhi seluruh muka bumi. Kekuatan kekristenan yang berlandaskan Injil, _euanggelion_, yang adalah Kabar Kesukaan dan _dunamos Allah_ tak bisa lagi dibendung oleh kuasa manapun yang ada di dalam dunia.

 

Gereja-gereja membentuk lembaga-lembaga pekabaran Injil dan dengan _semangat misioner_ yang amat tinggi para misionaris/Pekabar Injil menyiarkan Kabar Kesukaan itu keseluruh dunia. Injil tidak lagi merupakan sebuah “produk lokal” dan “produk domestik”, Injil telah merambah ke lingkup global dan dikenal secara mondial.

 

Hal yang amat esensial yang acap diingatkan dalam surat-surat Perjanjian Baru adalah bahwa kekristenan itu minimal harus mengedepankan 2 hal signifikan yaitu bahwa ia adalah Jemaat Misioner, Jemaat yang dinamik dan bergerak menyongsong Maranatha bukan Jemaat apatis, membisu dan loyo berhadapan dengan tantangan zamannya; dan bahwa kita adalah komunitas kristiani yang bekerja dalam terang, atau “orang-orang siang” yang tidak berkolaborasi dengan ‘kuasa kegelapan’.

 

Pemahaman tentang Jemaat yang misioner atau kekristenan yang misioner menjadi amat penting di kekinian sejarah agar Gereja dan kekristenan tidak berhenti sebagai kekuatan yang mapan, jumud dan terpenjara pada roh-roh dunia tetapi sebuah kekristenan yang berbasis Kabar Kesukaan  tetap menjadi kekristenan yang energik, yang bersaksi, yang memberi pengharapan masa depan bagi peradaban manusia. Pada tahun 1970an Pdt DR Maitimoe melakukan program pembinaan tentang bagaimana membangun jemaat misioner dalam konteks Indonesia yang majemuk. Kata *misioner* itu sendiri yang dalam konteks Gereja-gereja di Indonesia memberikan daya dorong kuat untuk mewartakan berita Injil ditengah medan yang amat sulit.

 

Surat Paulus kepada Jemaat Tesalonika sebagaimana dikutip diatas memberi lesson learn cerdas dan menyadarkan bahwa kita adalah “orang-orang siang” – bukan “orang-orang malam yang bersekutu dengan kuasa gelap” dengan baju zirah/baju tembaga yaitu iman dan kasih, disertai dengan ketopong/helm pelindung kepala yaitu pengharapan keselamatan. Metafora baju zirah dan ketopong sengaja digunakan Paulus untuk menegaskan bahwa *iman, kasih dan keselamatan* sudah menjadi bagian (built in) dari kedirian kita. Dengan baju zirah dan ketopong itu kita terbebas dari kontaminasi roh-roh dunia sebab itu kita akan mampu mewujudnyatakan *kekristenan yang misioner* dikekinian sejarah.

 

Selamat Merayakan Hari  Minggu. God Bless.

 

OLeh: Pdt. Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here