Komisioner Komnas Perempuan Kyai Imam Nakha’i Menegaskan LGBT dalam Islam Tidak Dosa
Jakarta, Suarakristen.com
Komisioner Komnas Perempuan Imam Nakha’i menegaskan bahwa LGBTIQ bagian dari takdir Tuhan dan ayat-ayat Tuhan agar manusia bisa lebih dekat kepada Maha Pencipta. Karena itu, Nakha’i meminta agar orang-orang tidak melakukan stereotip dan mencaci maki komunitas rentan ini.
Dosen Ma’had Aly Situbondo, Jawa Timur, ini memaparkan bahwa dalam Alquran dan hadis-hadis terdapat penjelasan tentang ragam ekspresi gender dalam Islam, sehingga siapapun tidak berhak melabeli LGBTIQ sebagai dosa.
Kitab-kitab klasik, menurutnya, mengenal istilah mutarojilat (perempuan yang ekspresinya seperti laki-laki) dan mutakhonisat (laki-laki yang berekspresi perempuan). Keduanya harus dihormati.
“Apabila kedua ekspresi gender itu bersifat dari “sononya”, terberikan sejak awal (sejak lahir), tidak ada dosa. Yang ekspresi gendernya dibuat-buat, berpura-pura, dengan tujuan negatif, itu dosa,” tegas sosok yang kerap disapa sebagai Kyai Nakha’i dalam webinar Meneroka Agama yang Tidak Homofobia yang digelar lewat Zoom oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) pada Rabu (24/6).
Karena itu, transgender yang aktif di Persatuan Waria Kota Surabaya (Perwakos) Sofa Lajhuba menaruh harapan kepada para kyai, pendeta dan tokoh agama lainnya agar memberikan penerimaan dan dukungan kepada komunitas LGBTIQ agar dapat menjalankan ibadah di rumah-rumah ibadah dengan nyaman. Untuk itu Sofa pun mendorong rekan-rekannya lebih taat menjalankan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing dengan menggunakan pakaian ibadah senyamannya, tetapi sopan dan menjaga kepatutan.
Sofa bersama transgender lainnya di Surabaya mengembangkan majelis taklim Al-Ikhlas dan rajin mengajak kawan-kawanny beribadah umroh dan haji ke Makkah.
“Jangan takut, jangan patah semangat. Mari kita terus berjuang!” ajak transgender yang sudah menunaikan ibadah haji dan sehari-harinya menjadi PNS di Bangkalan, Madura, kepada sesama komunitas LGBTIQ dalam webinar yang juga ditayangkan langsung dalam Youtube, yang anehnya secara sepihak dihentikan oleh Youtube pada menit 48:19.
Dengan tantangan LGBTIQ yang tidak mudah dalam menjalani kehidupan, termasuk untuk menjalankan keyakinan agamannya, pendeta Gereja Kristen Indonesia (GKI) Stephen Suleeman menyatakan bahwa LGBTIQ adalah bagian dari warga yang paling mengalami perlakuan tidak adil. Bagi Stephen Suleeman, mereka adalah kelompok-kelompok yang paling membutuhkan cinta kasih dari gereja dan agama-agama lainnya, bukan malah disingkirkan.
“Dari para mahasiswa atau jemaat yang LGBT, saya tahu bahwa bukan pilihan menjadi LGBT. Mereka tidak memilih disingkirkan keluarga dan masyarakat,” tutur pendeta yang semasa aktif sebagai pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta kerap mengirim para mahasiswa calon pendeta selama 2 bulan ke komunitas-komunitas LGBTIQ untuk mengembangkan pemahaman yang ramah dan terbuka dan sebaliknya dari komunitas LGBTIQ merasa diterima dan nyaman untuk coming out.
Sementara Saras Dewi, pengajar filsafat di Universitas Indonesia, berbagi tantangan agama Hindu, termasuk di Bali, dalam menerima LGBTIQ. Meskipun tahun 2018, lanjut Saras, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menerbitkan fatwa yang diskriminatif terhadap LGBTIQ, tetapi tradisi dan manuskrip-manuskrip Hindu sangat menghargai ekspresi gender dan seksual yang beragam.
“Teks-teks dalam agama Hindu beberapa mengatakan bahwa relasi homoseksual adalah bagian dari keberagaman orientasi seks manusia, sebagian ada yang menentang,” kata Saras Dewi yang mengajak para peserta webinar baik yang mengikuti dari Zoom maupun kanal Youtube Kabar Sejuk agar dalam melihat tubuh manusia dengan keberagaman ekspresinya dipahami dengan empati, sebab setiap tubuh ingin dicintai, mencitai dan mendambakan kebebasan.
Bahkan penggambaran-penggambaran Ardhanarishvara yang menyatukan antara Siwa yang mewakili aspek maskulin dan Parwati sisi feminin menjadi bentuk kesempurnaan wujud Tuhan. Perempuan yang akrab disapa Yayas ini kemudian menyuguhkan cara penulis Kama Sutra, Vatsayana, menggambarkan ‘persetubuhan yang lain’.
“Vatsayana di Kama Sutra mencatat kehidupan keluarga yang bukan heteroseksual dan menceritakan keberadaan rumah tangga yang homoseksual,” papar Saras yang sekali lagi mencoba menekankan bahwa tradisi homoseksual dan ekspresi gender yang beragam menjadi hal yang biasa dalam Hindu, kemudian berubah hukum pidananya ketika India dijajah Inggris.
Beruntungnya, sambung Saras, pada 2018 Mahkamah Agung India membatalkan warisan kolonial dan mencabut hubungan seksual LGBT sebagai perbuatan pidana.
Yuni Pulungan, Staf Program SEJUK: 0822 7648 0187