PDT. WEINATA SAIRIN:*SUARAKAN SUARA-SUARA BERLIMPAH MAKNA*

0
946

 

“Vox et praetera nihil. (Hanya) suara saja, lain tidak”._

*Suara* bukan saja elemen penting dalam diri manusia, tetapi juga unsur yang amat fundamental dalam peradaban umat manusia. ‘Suara’ diperlukan oleh para penyanyi, para pengkotbah, para da’i, para chatib, para politisi; _suara_ dibutuhkan oleh setiap orang, siapapun dia dan dari latarbelakang apapun. Dalam perspektif yang tidak terlalu positif, _suara_ terkadang juga ‘direkayasa’, ‘dimanipulasi’ demi kepentingan politik tertentu. Demikian juga ‘suara’ terkadang dicatut untuk kepentingan tertentu; suara rakyat jelata, suara kaum marjinal, memang dalam pengalaman praktis, acapkali dicatut untuk mencapai tujuan tertentu.

Sejak kita masih amat kecil kita mulai diperkenalkan dengan ‘suara’; suara ayah, suara ibu, suara omah, opah dan suara saudara-saudara yang lain. ‘Suara’ ayah, ibu kemudian menjadi ciri dari identitas mereka sehingga sebagai bayi mungil kita mengenal : suara ayah, suara ibu. Jika ada suara lain menegur kita yang tidak kita kenal biasanya kita tidak merespons suara itu.

Dalam kehidupan praktis kata _suara_ memang memiliki cukup banyak arti dan makna. Hal itu cukup jelas jika kita membaca satu atau dua buah kalimat. “Suaranya cukup bagus dalam membawakan lagu-lagu Jim Reeves, sehingga ia acap dijuluki Jim Reeves Indonesia”. “Di daerah pemilihan (dapil)nya Kediri, ia memang amat dikenal sebagai pegiat sosial, ia mendulang _suara_ didapil itu dan kemudian mengantarnya menjadi anggota parlemen”. Kata _suara_ pada dua kalimat itu menampilkan makna yang sangat jelas perbedaannya.

Ada lebih dari lima arti kata _suara_ yang kita temukan dalam KBBI. Suara, bunyi yang keluar dari mulut manusia, bunyi yang keluar dari mulut binatang, pendapat, pernyataan, dukungan. Dalam bernyanyi kita mengeluarkan _suara_ dan suara itu mengacu pada notasi yang dibuat oleh seorang komposer. Dalam bernyanyi kita tidak hanya mengeluarkan suara yang sesuai dengan ‘tangga nada’ sehingga tidak melahirkan suara _fals_/sumbang tetapi juga kita harus memahami teknik beryanyi yang standar sehingga tidak menimbulkan “distorsi” jika kita ikut dalam sebuah Paduan Suara.

Diksi “suara” amat populer dalam Tahun Politik sekaŕang ini. Penetapan calon cawapres dan ketua tim sukses paslon, ikut meningkatkan target market yang dituju.: generasi milenial, kelompok yang masih “bimbang”atau ceruk lain yang belum tersentuh. Diksi ‘suara’ dalam konteks pilpres dan pileg adalah ‘suara dalam konotasi ‘dukungan’, bukan dalam arti suara merdu seorang Jim Reeves, Skeeter Davis atau Titik Puspa, atau siapapun juga seorang orator hebat. “Suara” dimiliki oleh rakyat, warga negara dari berbagai kategori usia. Mereka akan memberikan suaranya melalui kertas suara di sebuah TPS tertentu pada Hari H berdasarkan keyakinan dan sikap trust mereka pemilih terhadap program yang ditawarkan oleh para calon.

Jelas sekali bahwa para pemilih akan memberikan suaranya bukan pertama-tama karena ikatan primordial, apalagi
karena fulus, afiliasi politik, ‘serangan fajar’ atau apapun tetapi karena program yang riil, argumentatif yang ditawarkan para kontestan, yang muaranya adalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Kita bersyukur bahwa Tuhan menganugerahkan kita _suara_ dalam arti yang luas. Dengan suara dan pita suara yang baik kita dapat mengekspresikan kedirian kita dengan baik. Dengan suara kita bisa mengungkapkan pujian kepada Tuhan. Dengan suara, ibadah kita kepada Tuhan makin sempurna. Namun suara juga bisa digunakan untuk hal-hal negatif: menghardik orang lain, mengumpat, menghina dengan ungkapan kasar dan vulgar. Kata dan suara memang punya dualitas makna kita harus amat sadar tentang hal ini.

Pepatah pendek yang dikutip di bagian awal artikel ini menyatakan “hanya suara saja, lain tidak”. Anak-anak remaja bilang dengan “omdo”, omong doang, cuma bicara. Ada juga yang bilang “Nato” -no action, talk only. Kita harus bersuara, menyuarakan kebenaran tanpa takut. Jangan diam, diam bisa dianggap setuju. Menyuarakan kebenaran harus juga dengan cara sopan dan elegan tidak bertentangan dengan hukum dan kepatutan. Kita umat beragama sangat faham dan mahfum dengan hal-hal seperti itu. Ayo bertindak dan bersuara yang baik serta merdu. Ramaikan langit NKRI dengan suara-suara indah dan merdu, narasi-narasi penuh cinta kasih yang menakjubkan demi merajut masa depan penuh harapan.

Selamat Berjuang. God Bless.

*Weinata Sairin.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here