PDT. WEINATA SAIRIN: *ORANG PENTING MENOLAK KEPENTINGAN YANG TAK PENTING*

0
955

_”Hotis aut amicus non est in aeternum; commoda sua sunt in aeternum. Lawan atau kawan itu tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan”_

Kata “kepentingan” yang dibentuk dari kata “penting” sudah cukup lama dikenal oleh masyarakat kita. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu dan pada level tertentu kata “kepentingan” menjadi semacam benda dan atau bahkan penguasa. Kalimat berikut bisa sedikit memberi penjelasan. “Pemerintah amat _berkepentingan_ untuk membebaskan lahan ini agar pembangunan jalan bebas hambatan, bisa terwujud secepatnya”. Di zaman lampau kata “kepentingan” dan atau “berkepentingan” ini menjadi sejenis alat politik untuk menekan rakyat jelata. Dengan tekanan seperti itu, di zaman baheula, biasanya harga lahan dibayar dengan harga murah, tanpa mempedulikan lagi kalkulasi berdasarkan NJOP dan rakyat pada akhirnya tetap menjadi sosok dan komunitas yang menderita.

Di zaman ini kata “kepentingan” tetap digunakan dan cukup populer dalam perbincangan masyarakat kita. Di kantor-kantor, pada ruangan yang menyimpan dokumen atau barang yang dianggap amat penting dan berharga biasanya pada pintu ruangan ditempel tulisan yang cukup mencolok : “Yang Tidak berkepentingan Dilarang Masuk”. Dengan adanya tulisan larangan seperti itu, dan ada seorang penjaga yang ditempatkan di depan ruangan, maka ruangan itu cukup sepi dan jarang di kunjungi oleh para karyawan di kantor itu.

Dalam konteks kalimat tertentu memang kata “kepentngan” pada akhirnya berkonotasi negatif. Tatkala kata itu digunakan oleh pemerintah, misalnya dalam hal pembebasan lahan, penggusuran dan bentuk-bentuk lainnya, maka kata “kepentingan” itu lebih dilihat dari sisi pemerintah yang sedang berkuasa, dan kurang memahami dampak yang timbul yang biasanya merugikan rakyat jelata. Realitas itu banyak terjadi di zaman Orde Baru.

Pepatah yang dikutip dibagian awal ini menegaskan bahwa kawan atau lawan itu tidak ada yang abadi, yang abadi hanyalah _kepentingan_. Pepatah atau pemeo seperti itu secara berulang selalu kita dengar, terutama sekali dalam dunia politik. Pemeo itu bahkan acap digunakan sebagai pembenaran, _justifikasi_ terhadap adanya realitas bahwa kedua kekuatan politik yang selama ini berseberangan kemudian berkolaborasi hanya untuk mencapai tujuan tertentu, yang memiliki kesamaan.

Banyak sekali kasus seperti itu terjadi dalam ranah politik. Di tingkat pusat misalnya bisa terjadi sebuah parpol tidak sepakat dengan parpol lain baik tentang orang/calon maupun isu, dengan berbagai alasan, dan biasanya yang diangkat adalah alasan agama, mungkin agar dianggap lebih “heroik”; namun pada tingkat wilayah kedua parpol yang dipusat berseberangan itu malah bisa bersatu mengusung seorang calon tanpa mempersoalkan latarbelakang sang calon. Pada titik ini menjadi amat gamblang bahwa faktor _kepentingan_ Itu berada diatas segalanya. Kompetensi, rekam jejak, agama, suku dan lain sebagainya diabaikan saja demi *kepentingan* dari parpol-parpol itu. Kepentingan apa? Tentu banyak : mulai dari kursi, jabatan, proyek, ya power dalam arti riil dan konseptual.

Kita sebagai manusia memang dan tentu punya kepentingan, kepentingan ini dan itu. Dan itu biasa dan standar saja. Seorang peserta pelatihan dengan sistem pembelajaran yang amat ketat pada suatu saat beberapa kali mesti ke luar ruangan. Pada waktu ia ke luar ketiga kali, instruktur yang memimpin pelatihan disitu mencegat dia di pintu keluar. “Anda sudah tiga kali keluar, bagaimana anda bisa memahami dengan baik pelajaran yang diberikan?” kata instruktur kepada peserta itu. “Saya ada kepentingan pak!” “Kepentingan apa?” tanya instruktur. “Saya semalam diberi Laxadin oleh dokter, jadi sekarang terus-terusan BAB!”

Kita semua yang tidak hidup dalam dunia politik memiliki pemahaman yang standar, bahkan mungkin konservatif tentang makna kata _kepentingan_. Kepentingan, ya kepentingan, titik. Kawan, lawan-jika ada- ya tetap kawan dan lawan. Kita berusaha terus menambah kawan dan menghilangkan atau memperkecil lawan. Kita terus berikhtiar agar lawan  berubah menjadi kawan melalui berbagai dialog, penjelasan dan saling memaafkan. Dalam pikiran kita orang-orang diluar dunia politik, tidaklah bisa berubah secara otomatis dari “lawan” menjadi “kawan” hanya karena kita memiliki _kepentingan_ yang sama. Bisa terjadi kita memilih mundur dari keinginan/kepentingan itu jika “lawan” kita punya kepentingan yang sama dengan kita.

Pepatah itu menyadarkan kita bahwa ada sektor-sektor kehidupan kita ini yang melihat “kepentingan” itu adalah segala-galanya; “kepentingan” menjadi ukuran, menjadi tolok-ukur. Realitas itu ada, hidup dan berkembang dalam dunia politik. Orang yang berpindah-pindah parpol dalam arti tertentu bisa juga dilihat dalam frame dan angel itu ; ia pindah ke parpol baru yang dulu “dilawannya” hanya karena ia memiliki kepentingan yang tidak ia dapatkan di parpol yang ia tinggalkan. Problem etik yang dihadapi adalah bagaimana sikap yang berpindah-pindah itu, sikap yang bisa dikatakan inkonsisten, sikap “mencla-mencle”, politik “bajing loncat” dan sebaainya. Sejauh yang disebut “kepentingan” itu adalah berkaitan dengan ideologi, visi parpol, kepentingan umat, kepentingan rakyat di Dapil, maka perpindahan itu adalah sebuah karya kreatif-inovatif yang berbasis kepentingan komunitas dan bukan interese pribadi. Perpindahan dalam konteks itu perlu diapresiasi!

Sebagai umat bergama kita tentu hidup berdasarkan ajaran agama yang kita anut; sebagai warga negara yang baik kita juga hidup dengan taat hukum. Keberagamaan kita dan keindonesiaan kita menyaturaga dalam kedirian kita sehingga tatkala kita menjalankan ajaran agama kita tetap mrnjadi seorang Indonesia yang otentik, dan ketika melaksanakan upacara bendera/upacara kenegaraan kita tetap tidak kehilangan identitas keagamaan kita. Keindonesiaan dan keberagamaan kita selama ini menghidupi sebuah integralitas yang solid-kukuh, dan tidak pernah berada pada posisi yang paradoks-kontradiktif.

Mari kita melihat “kepentingan” itu secara proporsional; jangan dijadikan alasan justifikasi, jangan mengorbankan yang sakral demi perwujudan kepentingan yang sekuler.; jangan menjadikannya sebagai “berhala baru” dan manusia tunduk tanpa kritis.

Selamat Berjuang. God bless.

*Weinata Sairin*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here