_”Tua res agitur, paries cum proximus ardet. Jika dinding rumah tetangga terbakar, rumahmu juga ada dalam bahaya”_
Kata “tetangga” sudah amat dikenal bahkan dipergunakan secara aktif oleh masyarakat kita sejak zaman baheula. Bahkan oleh karena kata _tetangga_ sudah cukup lama masuk dalam vokabulari bahasa kita, maka kita mengenal ada “Rukun Tetangga” (RT) sebagai sebuah sistem pemerintahan yang paling bawah dalam masyarakat kita. Ketua RT, berperan penting, minimal dalam memberikan surat keterangan tentang identitas kita. Dalam pembuatan KTP, surat keterangan kematian, surat permohonan keringanan pajak, dan banyak jenis surat lainnya yang di keluarkan oleh RT, peranan RT sangatlah penting. Sesudah dokumen-dokumen itu diketahui oleh Rukun Warga(RW) kita baru bisa membawanya ke kelurahan untuk memperoleh surat pengantar yang kita perlukan.
Apa sebenarnya tetangga, _neighbour_ itu? Buku “Logat Kecil Bahasa Indonesia” yang disusun WJS Poerwadarminta, JB Wolters, Jakarta, 1951 menjelaskan kata tetangga dengan cukup pendek : “orang sebelah”, “orang setangga”. Dalam beberapa literatur kita temukan pengertian ‘tetangga’ yang tidak jauh berbeda yaitu ‘orang yang tinggal dekat dengan rumah kita yang selalu kita ajak untuk berinteraksi’. Dengan demikian menjadi amat jelas bahwa kata kunci dalam kata “tetangga” adalah orang yang tinggal dekat dengan kita. Terutama sekali dalam struktur masyarakat agraris, posisi tetangga cukup menentukan. Dalam pengalaman empirik, tetangga bisa menjadi tempat curhat, tetangga bisa memberi pertolongan apa saja ketika sebuah keluarga dalam kondisi emergency. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu, dan tetangga punya niat yang kurang baik, maka rumor dan gosip bisa juga lahir dari rahim tetangga.
Dalam sebuah masyarakat kota yang modern, posisi ‘tetangga’ tentu mengalami pergeseran. Hakikat _keguyuban_ tetangga seperti yang mengemuka dalam masyarakat agraris, tidak bisa sepenuhnya terwujud. Mindset yang individualistik dalam masyarakat modern, acap mengalahkan pola hidup komunal yang sudah menjadi darah daging di masyarakat agraris. Warga masyarakat yang menghuni apartemen, rusun, cluster, yang tinggal dalam gedung putih berpagar kawat berduri, tidak lagi mampu menampilkan hidup kebertetanggaan yang baik dan optimal.
Sejatinya pengembangan hidup bertetangga yang baik itu sejalan dengan pemikiran bahwa manusia adalah “makhluk sosial”. Manusia hidup dalam relasi, ia tidak bisa hidup sendiri, menyendiri. Ia bukan sosok yang bisa hidup _menunggal_, ia figur yang sejak awal diformat dan disain untuk hidup _menjamak_. Ia adalah ‘homo homini Socius’, manusia yang mrnjadi sahabat bagi sesamanya.
Ada banyak pengalaman praktis tatkala tetangga ternyata lebih dulu bisa menolong kita, ketimbang saudara kita. Pada saat kita sakit, asthma atau jantung tiba-tiba kumat dan memerlukan untuk cepat dibawa ke IGD RS, maka tetangga disebelah yang lebih dulu kita mintai pertolongan. Hal itu amat terasa jika saudara kita tinggal jauh dari rumah kita; apalagi jika memang kita memang tak punya saudara.
Dalam kondisi-kondisi itulah posisi dan peran tetangga menjadi amat penting. Hubungan baik yang saling menghormati antar tetangga harus dijaga dan dikembangkan. Silaturahim dengan tetangga tak boleh terhambat dan atau tereduksi hanya karena kita memiliki keberbedaan dengan tetangga : afiliasi politik, suku, etnik, strata sosial, agama, dan sebagainya. Justru keberbedaan itu dapat memperkaya kita untuk mengenal lebih jauh dan mendalam nilai-nilai yang dimiliki tetangga kita.
Sikap humble, baik hati, murah hati, apresiatif adalah hal-hal yang penting dikedepankan dalam kehidupan bertetangga. Perwujudan sikap itu membuat talisilaturahim makin kuat dan dalam jiwa seperti itu, diksi tetangga bisa berubah menjadi _saudara_, dalam arti saudara sekandung karena kedekatan yang benar-benar terwujud.
Baik hati, murah hati bisa muncul dengan beragam bentuk dalam interaksi antar manusia, sesuai dengan konteks dan kasus terjadi. Philip Sidney disebut sebagai “ksatria paling berjasa yang pernah hidup”. Pada tahun 1856 Philip terbaring dalam kondisi sekarat di medan perang Zuthpen. Seseorang memegangnya untuk memberi minum air tetapi bukan membasahi kerongkongannya yang kering, ia malah mengabaikan dirinya dan memberikan air itu kepada prajurit lain yang tidak dikenalnya yang tengah terbaring luka di dekatnya. Sidney berkata “Ia lebih membutuhkan air itu dibanding aku”.
Kebaikan hati memang tak pernah menghitung dan mengkalkulasi. Kebaikan hati menafikan mindset primordialistik. Kebaikan hati hanya melakukan kebaikan berdasarkan suara hati: apa yang amat dibutuhkan oleh orang terdekat dengan kita. Philip Sidney tahu persis apa yang diperlukan “tetangga”nya. Maka walaupun ia pribadi membutuhkan air itu, tetapi tetangganya lebih membutuhkan air itu.
Dan Philip Sidney dengan ikhlas memberikan air itu untuk orang disebelahnya, walaupun air itu untuk dia pada awalnya. Ia mengurbankan dirinya, ia lebih memprioritaskan tetangganya. Disinilah dimensi penting dari tindakan Philip Sidney.
Sangat menarik ungkapan pepatah yang dikutip di bagian awal tulisan ini yang menyatakan “jika dinding rumah tetangga terbakar, rumahmu juga ada dalam bahaya”. Kita jangan merasa aman dan berdiam diri saja tatkala ada bahaya yang mengancam di rumah tetangga kita, atau disekitar kita. Kita harus membantu tetangga kita agar api tidak makin besar dan wilayah kebakaran makin meluas. Kebaikan atau keburukan yang terjadi di tetangga sebelah dan atau di negara tetangga akan punya dampak bagi kita dan juga bagi negeri kita. Kita tak bisa apatis, berdiam diri, *cuek* terhadap apa yang terjadi di rumah tetangga kita. Kita memantau, kita ikut membantu sepanjang peristiwa itu bukan sebuah konflik internal. Kita hidup dalam relasi, kita harus menunjukkan sikap care, simpati dan empati terhadap orang disekitar kita, siapapun mereka.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*