“Quid vesper ferat,incertum est. Apa yang akan terjadi nanti malam belumlah pasti”.
Pagi, siang, senja, malam, dini hari dan semua rangkaian waktu yang ada dalam vokabulari kita, selalu menyimpan rahasia, sekaligus mengandung harapan. Seseorang yang sedang menderita sakit, misalnya, dan masih terus diobservasi tim dokter untuk menetapkan diagnosis yang tepat akan selalu menanti rangkaian waktu itu dengan berdebar-debar untuk mendengar pernyataan definitif tentang “status” penyakit yang ia derita.
Seseorang yang sedang dilanda asmara, sedang dililit cinta, yang sedang kasmaran, acap menunggu rangkaian waktu itu penuh “tension”; apakah yang akan terjadi di dalam rangkaian waktu itu; cinta yang makin kuat atau cinta yang makin melemah. Seseorang yang suaminya menjadi seorang pelaut, yang 3-4 bulan sekali baru bisa pulang kerumah: setiap saat berjuang menaklukkan ombak besar di samudera lepas; selalu melihat dan menjalani rangkaian waktu dalam perasaan tegang dan harap.
Kita manusia fana hidup dalam ruang dan waktu; kita manusia mulia ciptaan Allah menghidupi hari-hari dengan karya dan karsa, mengukir dan menorehnya dalam kanvas waktu, memberi makna dalam kehidupan. Kita semua tidak punya banyak kesempatan; hari-hari yang tersedia ada pada kisaran 70-80 tahun sebab itu kita harus secara optimal mengelola dan memanfaatkan waktu. Waktu berlari cepat bahkan lebih cepat dari kata-kata yang meluncur dari mulut kita. Waktu menggerogoti usia bahkan juga nilai-nilai spiritual yang ada dalam kedirian kita, demikian kata para tokoh.
Para pelukis, novelis, komposer, penyair terkadang menjadikan “malam” sebagai rangkaian waktu yang mewarnai karya mereka. Bagi para seniman, malam di kampung, malam di kota metropolis atau malam dipinggir kali sentiong yang menyengat memiliki makna tersendiri. Iwan Sawwitsi Nikitin penyair Rusia (1824-1861) dalam puisinya berjudul *”Semalam disuatu kampung”* mengungkap narasi yang cukup menarik.
“Hawa kesak, asap rabuk penggergajian/
Kotoran meliput segala/
Kaki dan bangku kotor: sarang lawa-lawa /
Penghias dinding/
Berpara asap setiap sudut gubuk/
Roti dan air, apak/
Tukang tenun batuk-batuk, kanak-kanak bertangisan/
Larat dan sengsara semata/
Kerja seumur hidup: apa dapat dihabiskan/
Lalu kekuburan si miskin/
Ach sia-sia menuntut ajaran ini : Yakinlah jiwaku beranilah!”
(“Puisi Dunia” Jilid 1 oleh M Taslim Ali, Dinas Penerbitan Balai Pustaka, Djakarta, 1961)
Ada secercah kemiskinan dengan udara bau apak yang menyesakkan dada, yang coba dipotret sang penyair di zamannya. Malam yang hadir, tak kuasa mengubah dan memutus rantai kemiskinan yang membelenggu rakyat jelata. Malam yang baru dengan harapan baru akan selalu dinanti oleh orang kampung bahkan orang yang hidup dimanapun.
Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan “apa yang akan terjadi nanti malam belumlah pasti”. Dalam dunia digital yang membuat segala sesuatu menjadi super cepat, perkembangan dan perubahan itu sering terjadi dan terkadang diluar perhitungan, diluar agenda. Dalam dunia politik hal itu amat jelas dan amat terasa. Perubahan bisa terjadi bahkan dalam hitungan detik; apa yang sudah diputuskan siang ini bisa saja pada malam hari berubah karena ada analisis dan prediksi baru. Jadi malam hari tidak bisa lagi difahami sebagai puncak dan atau kulminasi dari semua tindakan pagi dan siang hari.
Sebagai umat beragama maka seluruh rangkaian waktu kita imani berada dalam penguasaan dan kontrol Tuhan Yang Maha Esa. Itulah sebabnya kita harus terus berdoa sesuai dengan ajaran agama kita masing-masing agar malam hari membawa sukacita dan perubahan yang positif bagi kita pribadi dan komunitas.
Para pemimpin kita di berbagai level, di berbagai bidang kita harapkan agar keputusan-keputusan positif yang telah ditetapkan pada pagi dan siang hari *jangan di ubah* pada malam hari menjadi lebih buruk, yang hanya mengakomodasi kepentingan kelompok. Malam hari haruslah berkembang pemikiran positif yang bisa berguna dalam merawat dan memperkuat NKRI yang majemuk.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*