“Sonare inani voce. Bicara dengan suara kosong”.
Salah satu ciri yang menjadi identitas manusia dan membedakan seorang manusia dengan makhluk lainnya adalah bahwa manusia itu makhluk yang berbicara, makhluk yang berkata-kata. Apakah orang itu berpendidikan dan berjabatan tinggi, apakah ia adalah orang yang memahami etika, apakah ia adalah seorang politisi akan bisa dengan lebih mudah di deteksi melalui kata-kata yang ia ucapkan. Untaian kalimat, narasi yang diucapkan, logika yang dikembangkan dan premis yang ia gunakan tatkala seseorang mengupas sebuah isu, akan dengan mudah menebak dan menyatakan kesiapaan seseorang.
Dalam pengalaman empirik kita banyak berjumpa dengan orang-orang yang bukan saja mahir berbicara, tetapi sekaligus juga seorang orator yang dengan semangat berapi-api memberi motivasi kepada warga masyarakat agar mereka mengukir karya terbaik dalam rentang sejarah yang tengah mereka jalani.
Namun harus digarisbawahi bahwa pidato-pidato yang berapi-api, yang menggelegar tanpa disertai dengan program yang nyata yang bisa memberikan kesejahteraan bagi rakyat jelata, bagi kaum miskin, akan tidak memiliki makna apa-apa. Para pemimpin tidak hanya pandai bicara, pandai berpantun, pandai bermulut manis apalagi disaat kampanye, mereka harus segera mewujudkan program. Marshal Litautey sedang mengunjungi sebuah hutan yang sudah habis dilalap api. “Kita harus menanam lagi pohon cedar”. “Kau tidak bersungguh-sungguh
kan ? Butuh waktu dua ratus tahun untuk menanamnya hingga tumbuh menjadi besar!” “Dua ratus tahun? Dalam hal ini kita tak boleh kehilangan waktu semenitpun, temanku. Kau harus segera menanamnya!”.
Sosok manusia adalah sebuah sosok yang dinamik dan kreatif, visioner, cepat merespons perubahan, _a dreamer_, di benaknya ada contingency plan, ada plan A dn plan B, yang tidak kehabisan akal untuk menghadapi setiap tantangan dan perubahan; dan bukan hanya sekadar bicara, bicara omong kosong, bicara *asbun*.
Dalam sebuah dunia yang makin modern, tatkala orang makin menghargai kebenaran, nilai-nilai yang logis mendapat ruang, maka sebuah kata, word yang bernas, cerdas, legitim diapresiasi dengan amat tinggi sekali. Kata-kata hujatan, ujaran kebencian, informasi hoax yang diproduk untuk kepentingan politik, sarat sara, dan berlumur fulus dianggap melawan keadaban publik, mencemarkan dan menodai ajaran agama, sebab itu makin ditinggalkan orang.
Sebagai umat yang menganut agama dan berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, _kata_ memiliki makna teologis. Kata memiliki makna hukum. Kata itu bisa sangat bermakna ganda : bisa membangun namun bisa juga menghancurkan. Manusia religius dan berkeadaban menggunakan kata untuk membangun, membangun persaudaraan sejati, membangun masyarakat, bangsa dan negara, membangun peradaban bangsa.
Dalam vokabulari agama-agama, terutama Kristen dan Islam, diksi *Kata*, logos, dan *Baca*, bacalah, iqra menjadi amat penting dan fundamental dalam mendeliveri nilai-nilai luhur agama kepada umat manusia yang tengah bergulat dengan kehidupan di ruang-ruang sejarah. Dalam konteks itulah mengapa agama-agama memberi tempat yang amat khusus terhadap : *kata* dan *bacalah* dan mengartikulasikannya dalam program konkret bagi umat manusia.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini “bicara dengan suara kosong” memberi warning dan remind kepada kita agar jika kita bicara, kita *tidak bicara dengan suara kosong*. Bicara (omong) kosong dan tindakan kosong sangat kontra produktif dalam srbuah dunia digital yang dinamik dan berubah cepat. Generasi milenial mesti diberi teladan oleh kita dengan hal-hal yang baik, produktif dan bermakna. Kata-kata dengan suara yang bernas, berisi, cerdas dan mencerahkan tidak hanya diungkapkan dalam rumah-rumah ibadah pada akivitas religius, tetapi juga mesti menjangkau seluruh tempat dan lorong kehidupan. Di kantor-kantor pemerintah dan swasta, di parlemen, di lembaga pendidikan, di pasar, di angkot atau bus way, di grab atau ojek, di kantor bumn, di dunia perbankan ya disemua sektor dan ruang-ruang kehidupan, tanpa kecuali. Hari-hari omong kosong telah lama kita kuburkan, hari -hari kita kini adalah kerja, kerja dan kerja demi kemaslahatan semua orang.
Kita bekerja sesuai dengan SOP, bekerja sesuai dengan _tusi_ dan atau _tupoksi_, sesuai dengan _jobdesc_ dan _tata kelola_. Bekerja seperti ini dilakukan sebagai wujud pengabdian, ikhlas, jujur dan transpran, terukur dan profesional dan pasti tidak akan berujung pada OTT .
Kita bekerja dengan _iman_ artinya spirit dan nilai luhur agama menjadi referensi utama. Dengan dikuasai oleh roh agama, maka dalam kita bekerja libido korupsi itu kehilangan powernya. Mari kita bicara dan bekerja dengan lebih sungguh, mengartikulasikan nilai-nilai yang positif dalam ruang-ruang kerja kita dimanapun. Bicara kosong dan hari-hari omong kosong bukanlah habitus kita umat beragama. Mari terus berkarya dikekinian sejarah, sambil menebar cinta kasih, kebajikan, dan memperkuat talisilaturahim antar warga bangsa.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*