“Ea fama vagatur. Desas desus menyebar.”
Desas-desus pada saat-saat tertentu seakan melimpah ruah dalam ruang-ruang kehidupan umat manusia. Desas-desus bisa tumbuh kembang di pasar tradisional, di tempat test atau ujian, di tempat pemilihan pimpinan, di kantor, di ruang publik, dan di berbagai tempat lainnya. Ada saja orang yang percaya kepada desas-desus, dan ada orang yang gemar untuk membuat dan atau menyebarkan desas-desus. Di zaman baheula desas-desus, sas-sus itu di sebar luaskan dari mulut kemulut, di zaman digital sekarang dilakukan lebih rapi, canggih dan profesional melalui medsos.
Materi dan konten desas-desus itu amat beragam, mulai dari soal perempuan hingga soal politik. Materi yang paling sensitif dan bisa amat garing jika “digoreng” misalnya soal perempuan. Bapak X di isukan sedang dalam proses kawin siri, oleh karena dari istri pertamanya ia tidak memperoleh anak. Suatu saat sas-sus itu di dengar juga oleh istri pertamanya yang kemudian menimbulkan percekcokan yang kontinyu dan lama hingga akhirnya suami-istri itu bercerai. Kemudian ternyata sas-sus kawin siri itu tidak benar dan tidak terbukti dalam kenyataan oleh karena Bapak X itu amat sibuk dengan pekerjaannya sehingga ia acapkali terlambat pulang. Sas-sus itu dibuat dan disebar oleh teman sekantor yang iri hati dengan sukses yang dicapai Bapak X di kantornya itu.
Di ruang-ruang ujian sekolah pernah terjadi sas-sus yang menyatakan bahwa si Anu bisa cepat selesai mengerjakan soal dan keluar dari ruangan karena ia telah mendapat kunci jawaban. Kunci jawaban itu ia beli dari oknum seminggu sebelum ujian sehingga ia santai-santai saja dalam menghadapi saat-saat ujian. Sas-sus itu sampai ketelinga kepala sekolah ; si Anu dipanggil menghadap Kasek dan ditanya secara interogatif tentang sas-sus pembelian kunci jawaban itu. Si Anu menolak tuduhan ia membeli kunci jawaban; ia menyatakan bahwa ia segera selesai menjawab soal-soal ujian karena semua soal yang diujikan tidak jauh berbeda dari bahan-bahan yang pernah ia peroleh di sekolah. Sas-sus itu berkembang karena ada kawan si Anu yang tidak dibantu oleh si Anu pada saat ia bersama melaksanakan ujian. Kawannya itu neminta kunci jawaban dan si Anu menolaknya karena memang kunci seperti itu tidak ia miliki.
Dalam dunia politik (praktis) sas-sus tentu makin ramai dan punya dampak yang cukup besar baik bagi pribadi seseorang maupun bagi organisasi. Sas-sus ramai di seputar perrgantian jabatan kepemimpinan, nomor urut dalam penetapan seseorang anggota parpol di dapil tertentu, pergantian antar waktu (PAW), calon parpol untuk memasuki birokrat kepemerintahan, dan sebagainya, dan sebagainya. Kadangkala sas-sus itu dikembangkan untuk mentes orang per orang dan atau untuk mengetahui reaksi “pasar” atas sesuatu isu.
Sas-sus, isu, rumor atau apapun namanya bisa terjadi pada organisasi apapun, pada pribadi siapapun, tak pandang Sara, hanya bobotnya yang bisa berbeda satu sama lain. Dalam organisasi keagamaan misalnya jarang dihadapi sas-sus sebagaimana yang biasa terjadi dalam organisasi sekuler. Aspek dedikasi dan bekerja untuk Yang Diatas masih cukup kuat menjadi spirit dalam lembaga keagamaan sehingga amat kecil dijumpai tentang sas-sus atau rumor yang secara sengaja dibuat dan digoreng untuk memperkeruh suasana.
Buku “Logat Kecil Bahasa Indonesia” yang disusun oleh WJS Porrwadarminta, Penerbit JB Wolters Groningen – Djakarta, 1951 menjelaskan kata “desas-desus” sebagai “bunyi orang berbisik, kabar angin”. KBBI yang menjadi acuan utama memberi penjelasan yang lebih luas dengan menyatakan bahwa desas-desus adalah “kabar angin, percakapan orang banyak yang belum tentu benar dan tidak diketahui sumbernya”.
Penjelasan yang dilakukan KBBI sebagai elaborasi dari buku Logat Kecil Bahasa Indonesia 1951 sangat membantu kita untuk memahami dengan baik apa makna desas-desus itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Dalam dunia yang selalu gaduh dan heboh, sebagai umat beragama kita seharusnya memberi kontribusi yang nyata agar bumi kita tetap nyaman, aman dan sejuk menghadirkan suasana damai, penuh dengan silaturahim antar sesama warga bangsa. Jangan kita ikut ambil bagian dalam membuat dan atau menyebarkan desas-desus, isu, rumor, hoax, ujaran kebencian yang dapat mencederai kesatuan kita sebagai warga bangsa. Kita syukuri perkembangan IT, medsos sebagai anugerah Tuhan bagi pemajuan peradaban bangsa. Mari kita daya gunakan dunia maya, medsos itu untuk makin memperkuat spiritualitas kita, memperkukuh ikatan kebangsaan kita sebagai bangsa yang majemuk. Kita juga harus amat hati-hati dalam menggunakan istilah, utamanya istilah agama (apalagi jika bukan agama yang kita anut sehingga pemahaman kita amat terbatas). Ada baiknya kita bisa memilah dengan cerdas: istilah dan ayat kitab suci agama kita, kita ungkapkan di rumah ibadah atau pada kegiatan yang hanya diikuti oleh umat kita; dan tidak kita gunakan di ruang publik sehingga memperkecil adanya kemungkinan perbedaan persepsi dari publik yang majemuk.
Kita tidak boleh dalam posisi mengembangkan dan atau menyebarluaskan desas-desus apalagi desas-desus berkonten agama dan atau Sara yang amat sensitif bagi masyarakat kita. Kita harus selalu mengecek akurasi dan validitas sebuah berita/i formasi. Informasi yang cenderung mengadu domba, ujaran kebencian, hoax, berkonten sara harus segera diembargo bahkan distop peredarannya. Desas-desus tidak boleh menyebar. Kabar baik, berita cinta kasih, narasi dengan bahasa cantik dan elegan yang mesti disebar, ditebar dan ditabur.
Selamat Berjuang. God Bless
*Weinata Sairin*