“Ab alio expectas alteri quod facis. Apa yang engkau harapkan dari orang lain adalah apa yang kau lakukan kepada orang lain”.
Dalam hidup ini, kemerataan dan juga keseimbangan itu amat diperlukan; apalagi dalam sebuah komunitas yang anggotanya sangat beragam. Apabila sebuah irigasi yang dibangun dengan uang rakyat, tapi air dari irigasi itu tidak dapat secara merata mengaliri seluruh sawah yang ada di dekat irigasi itu sesuai dengan maksud awal pembagunan irigasi itu maka di sekitar wilayah itu akan muncul persoalan besar yang bisa melebihi soal kekurangan air. Ada soal-soal makro dengan banyak angle yang lahir disitu : diskriminasi, hak- hak rakyat yang tidak terpenuhi, pemandulan undang-undang, dan sebagainya, dan sebagainya.
Aspek keseimbangan acap tidak terlalu mendapat perhatian dalam sebuah komunitas. Dalam ‘keseimbangan’ setiap orang mendapat tugas atau beban yang sama; yang seorang tidak mendapat yang terlalu berat atau juga terlalu ringan. Di zaman baheula sebelum GBHN dinyatakan _almarhum_, maka dalam rumusan GBHN yang setiap lima tahunan itu direvisi oleh MPR, selalu diulang-ulang penegasan bahwa harus ada keseimbangan antara pembangunan fisik-materil dengan pembangunan mental-spirutual. Dengan memelihara aspek keseimbangan itu maka pembangunan fisik-materil itu tidak akan *menggerus* pembangunan mental, yang pada gilirannya bisa menguras habis potensi spiritualitas warga bangsa.
Bahwa dalam kenyataan praktis itu kemudian tergerus nilai-nilai spiritual yang dimiliki warga bangsa, ya itu persoalan lain yang memang tidak terlalu mudah dan sederhana menelusuri akarnya. Pembangunan pada sebelah lain memang bisa menghadirkan lebih banyak hasrat-hasrat sekuler; bisa meminggirkan kelompok/kelas orang tertentu. “Pembangunan” hadir dengan banyak wajah, ia menjadi sebuah ideologi, jargon politik, berhala modern, yang menghabiskan nilai-nilai kelokalan dengan amat beringas.
Dengan menyadari pentingnya menjaga agar pembangunan tetap berlangsung dalam nafas keindonesiaan yang kukuh dan memperkecil dampak negatifnya bagi rakyat, maka Dr TB Simatupang sejak tahun 1976 memperkenalkan istilah “Pembangunan Nasional Sebagai Pengamalan Pancasila” (PNSPP). Dengan konsep pemikiran PNSPP diharapkan agar pembangunan itu tidak memarginalkan atau menyengsarakan rakyat, tidak menimbulkan kekalutan dan distorsi dalam kehidupan masyarakat, tetapi melalui pembangunan itu ke lima sila Pancasila diejawantahkan secara nyata dan konkret dalam kehidupan masyarakat. Bahwa kemudian pemikiran bernas PNSPP itu dengan perjuangan berat masuk dalam naskah GBHN 1993, namun dalam kenyataan yang dirasakan banyak orang tetap saja pembangunan itu belum mampu diwujudkan secara merata dan seimbang yang menghadirkan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam kehidupan di sebuah komunitas memang aspek kemerataan, keseimbangan, respek, apresiatif, saling mengerti, mengenal, memahami, mengasihi, mengampuni harus terus dibangun dan ditumbuhkan. Aspek-aspek itu sudah kita kenal bahkan kita praktikkan dalam kehidupan rumah tangga kita. Tak bisa kita bayangkan bagaimana turbulensi yang kita alami dalam hidup rumah tangga bisa kita kuasai andai aspek-aspek yang disebutkan diatas tidak kita artikulasikan dengan baik. Dalam komunitas yang lebih besar, komunitas bangsa dan antar bangsa upaya dan perjuangan kita untuk tetap mempertahankan komunitas yang solid, utuh, _respectable_ harus menjadi agenda utama. Kesenjangan ekonomi, ideologi, agama bisa jadi merupakan titik-titik rapuh yang setiap saat bisa meruntuhkan kekuatan/kesolidan komunitas kita yang puluhan tahun kita rawat dengan tekun.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengingatkan kita bahwa kita mesti melakukan yang baik kepada orang lain, jika kita mengharapkan yang baik dilakukan orang lain kepada kita. Ini soal keseimbangan, soal respek, soal merawat sebuah relasi dan persahabatan. Harus ada _sharing_, harus ada kemauan untuk mengembangkan sikap berbagi. Sebagaimana kita tahu bahwa dalam rangka Etik Global yang digagas oleh Hans Kung, seorang teolog Katolik terkenal, inti pemikiran dari pepatah yang dikutip diatas itu telah menjadi warna utama dari gagasan Etik Global itu. Pemikiran yang acap disebut Golden Rule itu sudah cukup lama digemakan oleh para tokoh di zaman baheula. Sebagai contoh Confusius misalnya menyatakan “Apa yang kamu sendiri tidak inginkan, jangan kamu lakukan pada orang lain”; atau Yesus Kristus “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12); atau Rabbi Hilel “Jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak ingin mereka lakukan padamu”.
Golden Rule dalam banyak versi bisa menjadi acuan penting dalam kita membangun silaturahim dengan banyak orang, dalam latarbelakang yang berbeda, baik dalam komunitas kecil maupun besar. Kita tidak pernah hidup sendirian; kita juga tidak hidup dalam sebuah ruang yang kosong (dan steril). Kita hidup dalam ikatan relasional dengan orang yang paling dekat, dengan komunitas kecil dan besar; kita hidup dalam sebuah dunia yang selalu ramai, heboh, bahkan garang dan jauh dari kenyamanan dan kesejukan. Kita acap lupa kita ini *siapa*, *dimana*, siapa *audience* kita, apa *kapasitas dan kompetensi* kita; apakah sikap dan ucapan kita tidak merugikan pribadi kita, organisasi kita dan komunitas kita. Apakah maksud ucapan kita? Apakah orang lain faham dengan kata-kata kita.
Mari kita melakukan yang terbaik kepada orang lain, sehingga orang lain juga terpanggil untuk berbuat baik kepada kita.
Selamat Berjuang. God Bless.
*Weinata Sairin*