Jakarta, 15 November 2017
Informasi yang tidak benar (fake news) selalu merugikan semua pihak, bahkan tidak jarang karena informasi tersebut menyulut sebuah konflik yang lebih besar dan berpotensi membahayakan nyawa warga sipil yang sebenarnya adalah korban.
Sejak beredarnya informasi bahwa telah terjadi penyanderaan sekitar 1.300 warga Desa Kimbely dan Desa Banti oleh kelompok bersenjata (KKB), Kapolres Mimika AKBP Victor Dean Mackbon yang diwawancarai oleh jurnalis tagar.id pada 9 November 2017, telah mengklarifikasi bahwa sebenarnya tidak ada penyanderaan terhadap warga Desa Kimbely dan Banti. Beliau mengatakan, “Yang bilang menyandera siapa? Tidak ada yang menyandera, kondisi Banti kondusif, daerah tersebut memang menjadi daerah basis KKB, masyarakat memang dibatasi karena kalau mau keluar harus melalui desa Kimbely,” ungkapnya kepada reporter tagar.id melalui telepon genggam pada hari Kamis, 9 November 2017.
Begitu juga yang dikatakan Pejabat Humas Polda Papua, Ajun Komisaris Besar Suryadi Diaz kepada BBC pada hari Minggu, 12 November 2017. Suryadi menyebut para anggota TPN-OPM tidak menyandera penduduk, melainkan bersiaga di sejumlah titik yang menjadi pintu utama Kampung Banti dan Kimbely. Dia mengatakan istilah penyanderaan memang berlebihan karena penduduk masih dapat beraktivitas seperti biasa.
Namun di sisi lain, kita melihat bahwa sejumlah media besar baik itu televisi, online/digital, maupun cetak masih kerap menyatakan peristiwa tersebut adalah penyanderaan.
Atas hal tersebut, kami organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gema Demokrasi menilai:
Pertama, frasa penyanderaan yang digunakan oleh beberapa media terhadap peristiwa di atas adalah sangat berlebihan dan dapat menimbulkan konflik-konflik baru. Jika kita melihat arti kata dari penyanderaan, menurut KBBI bahwa penyanderaan adalah sebuah tindakan menawan orang untuk dijadikan jaminan. Sedangkan faktanya yang seperti diungkap oleh Kapolres Mimika dan Humas Polda Papua bahwa tidak ada penyanderaan dan masyarakat masih bisa beraktivitas.
Kedua, media seharusnya berfungsi sebagai penengah konflik (_conflict resolution_), yakni menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Lewat pemberitaan di media, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap apriori yang semula terbentuk dan posisi media seharusnya menyajikan fakta yang berimbang dan tidak menjadi pemicu kemarahan-kemarahan lain yang pada akhirnya membuat suana semakin tidak kondusif. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahwa pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut:
a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar;
d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e. Memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
Ketiga, ketika para pejabat kepolisian di Papua sudah mengklarifikasi bahwa tidak ada penyanderaan di desa Banti dan Kimbely namun media tetap memberitakan bahwa ada penyanderaan, maka masyarakat harus mempertanyakan kredibilitas dan independensi media tersebut.
Media harus belajar atas apa yang terjadi pada Timor Leste seperti apa yang pernah disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Stanley Adi Prasetyo dalam diskusi tentang kebebasan pers di Papua, bahwa “menutup informasi itu mirip dengan menyapu debu ke dalam karpet. Saat itu kontrol pemerintah atas media sangat kuat, Tak ada media satu pun yang berani menurunkan berita terkait fakta sebenarnya yang terjadi di Provinsi ke-27 Indonesia saat itu. Kalau pun ada liputan, ya, ketika para pejabat datang ke ibukota Dili dan dapat sambutan yang meriah lengkap dengan tari-tarian. Semua orang kaget ketika mengetahui bahwa rakyat Timor Leste memilih merdeka saat ditawari otonomi khusus. Semua orang menilai rakyat Timor Timur sebelumnya selalu ingin bergabung dengan Indonesia”.
Media dan jurnalisnya sekarang sebaiknya segera mempunyai kesadaran baru bahwa kebebasan pers yang baru seumur jagung ini harus dirawat bersama. Kebebasan pers ini juga milik seluruh rakyat Indonesia, dan itu bisa berlangsung hanya dengan menyampaikan berita-berita yang benar-benar independen serta mematuhi standart kode etik jurnalistik. Di samping itu pemberitaan media massa haruslah memberikan ruang bagi suara-suara yang lemah termasuk dalam mengangkat isu-isu terkait Papua. Dalam konteks ini, media memiliki peluang besar untuk memainkan peran sebagai jembatan bagi perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara para pihak yang berkonflik, selain berperan untuk menyampaikan pesan perdamaian dengan cara lebih kerap mengangkat dan memberitakan aspirasi rakyat, termasuk gejolak yang terjadi Papua.
Atas pendapat kami di atas, kami mendesak:
1. Seluruh Media Massa untuk tidak menggunakan frasa penyanderaan dan harus menyajikan berita yang faktual, akurat dan berimbang, dan tidak hanya mengandalkan satu sumber saja.
2. Aparat Keamanan, baik Polri maupun TNI untuk mengedepankan upaya persuasif agar tidak ada ada korban yang berjatuhan akibat peristiwa ini, dan berhenti menyebarkan informasi yang tidak sesuai dengan faktanya.
3. Dewan Pers mengusut terjadinya pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan oleh sejumlah media saat memberitakan kondisi Papua belakangan ini dengan menindaklanjuti surat aduan yang akan dikirimkan Gema Demokrasi.
Jakarta, 15 November 2017
Gema Demokrasi
Narahubung:
1. Ade Wahyudin (LBH Pers) : +62 857-7323-8190
2. Gading Yonar (LBH Pers) : +62 813-9294-6116
3. Damar Juniarto (SAFEnet) : +62 899-0066-000
Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (GEMA DEMOKRASI) terdiri dari 80 organisasi masyarakat sipil dan individu yang aktif bergerak di gerakan buruh, petani, pelajar, mahasiswa, intelektual, anak muda, kelompok keagamaan, jurnalis, aktivis kebebasan ekspresi, pengacara publik, aktivis literasi, dan komunitas seni.