“Optimi corruptio pessima.
Kebusukan dari orang-orang yang paling terkemuka merupakan kenistaan yang paling buruk”.
Kata “busuk” pada awalnya lebih sering dikaitkan kepada benda, termasuk sampah dan juga mayat/jenazah. Tempat Pembuangan Akhir sampah di Bantar Gebang misalnya dahulu sering dicap sebagai tempat menggunungnya beragam sampah dengan bau busuk yang amat menyengat. TPA tersebut pernah menjadi titik singgung dan bahkan titik tengkar kedua pimpinan daerah di kedua wilayah itu. Truk sampah yang biasa membawa sampah ke TPA itu pernah di hadang untuk tidak masuk ke Bantar Gebang. Kebusukan sampah telah menimbulkan “pertikaian” dan berujung pada kompensasi dana yang harus ditingkatkan oleh pemda DKI. Hal yang berhubungan dengan _busuk_ juga terjadi pada mayat/jenazah yang terbawa banjir dan beberapa hari kemudian baru bisa diketemukan. Pada bencana longsor, banjir, atau pembunuhan berencana, acapkali kebusukan mayat itu terjadi.
“Busuk” menurut Logat Ketjil Bahasa Indonesia(1951) adalah “buruk”, “berbau bangar”, berbau yang menusuk dan menyengat. Buah yang terlalu masak pada akhirnya juga bisa busuk dan tak bisa dimakan. Busuk, dalam arti ‘buruk’ atau ‘jelek’ biasanya dikaitkan kepada orang. Misalnya terungkap pada kalimat ini : “Petinggi yang asetnya milyaran rupiah itu namanya busuk karena sikapnya yang melawan hukum dan kemaruk kekuasaan”.
Luka yang tidak terawat dengan baik dan pada tahap awal penanganannya tidak optimal terkadang juga bisa menimbulkan kondisi yang busuk. Busuk adalah penyakit yang ditandai dengan penghancuran jaringan sebagai hasil kegiatan jamur atau bakteri.
Buah yang busuk pasti tak bisa lagi dinikmati, malah buah yang busuk sudah langsung dibuang karena menimbulkan aroma yang tidak bersahabat. Pada keranjang-keranjang buah tertentu sekali-sekali kita dapati juga buah yang ‘hampir’ busuk, oleh karena sang pengusaha ingin mengeruk keuntungan lebih banyak.
Busuk, kebusukan, membusukkan nama telah menjadi kosakata yang cukup hidup dalam keseharian umat manusia. Dalam perkembangan terakhir kata “busuk” ternyata dikaitkan dan atau dikenakan kepada lebih banyak benda/pihak. Hal itu muncul dalam beberapa ungkapan, antara lain ‘politisi busuk’, ‘kekayaan busuk’, ‘hati busuk’, ‘siasat busuk’, ‘skenario busuk’ dan sebagainya.
Sebagai bangsa yang beragama kita amat prihatin jika sifat dan karakter busuk itu telah juga melanda banyak orang di negeri ini, terutama pada lapis-lapis tertentu. Kita semua amat mahfum dan sangat menyadari bahwa agama mengajarkan umatnya untuk mewujudkan sikap santun, jujur, bekerja keras.
Sifat dan karakter busuk bertentangan dengan nilai-nilai moral dan ajaran agama sebab itu mesti terus dikikis dan diubah menjadi sifaf dan karakter yang baik dan positif. Pembiasaan bersikap elegan, jujur, bekerja keras harus dimulai sejak dari lingkup keluarga, yang diteruskan dalam kehidupan masyarakat, di institusi pendidikan, institusi keagamaan, dan berbagai lembaga lainnya.
Perbuatan kebaikan dan kebajikan yang semestinya terus menerus diwujudkan dalam kehidupan kita sebagai umat beragama dalam sebuah NKRI yang majemuk. Perbuatan baik dan kehidupan yang menebar kebajikan harus menjadi gaya hidup dan agenda utama dari sosok manusia Indonesia dimanapun dan kapanpun. Agama-agama harus secara sadar dan terencana memprogramkan pembinaan warga agar mereka menampilkan sebuah kehidupan yang baik, dan bukan yang beraroma busuk.
Kebaikan dan kebajikan harus terus ditebar dan ditabur dalam pentas kehidupan. Itulah hakikat sejati dari sosok manusia yang dicipta Allah. Philip Sidney telah membuktikan bahwa menebar kebajikan itu wajib hukumnya bagi manusia yang disebut imago dei dan khalifah Allah. Pada tahun 1956 Philip terbaring sekarat di medan perang Zuthpen. Ada seseorang yang memberikan air minum kepadanya untuk menyegarkan tubuhnya. Tapi Philip mengabaikan dirinya dan malah memberikan air itu kepada prajurit lain yang tidak dikenalnya yang sedang terbaring luka parah. Katanya : “Ia lebih membutuhkan dibanding aku”.
Pepatah kita menyatakan bahwa kebusukan para orang terkemuka adalah kenistaan paling buruk. Di dunia kita akhir-akhir ini kita menyaksikan yang korup dan membangkang itu adalah orang dari tingkat tinggi. Orang-orang yang secara moral sudah dalam kondisi busuk, tapi secara hukum masih menunggu inkracht. Itulah sebabmya posisinya dimintanya tidak berubah. Realitas ini hadir dalam kehidupan kita. Masihkah kita bangga menjadi bangsa yang beragama?Moral mestinya lebih luhur nilainya ketimbang sebuah peraturan!
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*.