Kata “tolong-menolong” adalah sebuah kata yang sejak kita kecil diperkenalkan kepada kita oleh orang tua kita. “Orang hidup itu harus saling tolong menolong” demikian kata-kata ayah dan ibu yang masih terngiang hingga kini. Realitas itu terjadi dan terbukti dalam kehidupan praktis. Ayah menolong tetangga yang sakit, ibu menolong keluarga di dekat rumah yang mengalami kesulitan hidup. Para tetangga juga menolong keluarga kami, misalnya pada waktu panen padi atau pada saat memperbaiki rumah. Kata “tolong menolong” yang diajarkan orang tua kepada anaknya, tidak berhenti pada sesuatu yang verbalistik, yang cuma sekadar istilah, dan berhenti pada “kata”, “wording” tetapi mewujud dan “menubuh” pada tindakan, pada “action’.
Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yang dalam buku teks pelajaran zaman baheula disebutkan sebagai “bangsa yang ramah tamah, suka hidup bergotong-royong” maka kehidupan antar warga diwarnai oleh sikap tolong-menolong, terutama sekali diwilayah pedesaan, tatkala ikatan kekeluargaan masih amat kuat. Sikap individualistik yang biasanya tumbuh dalam lingkup masyarakat kota, semangat tolong menolong tidak sekuat dipedesaan atau kota kecil.
Semangat musyawarah, kekeluargaan, gotong-royong dan saling tolong menolong tercakup dalam Sila ke-5 Pancasila yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam acara Penataran Tingkat Nasional Pemuka Agama di Jakarta 24 Juni – 6 Juli 1979 didiskusikan cukup hangat agar dalam konteks modernisasi yang sedang dihadapi bangsa, nilai-nilai yang dimiliki bangsa tidak tergerus. Ditegaskan dalam acara itu bahwa “modernisasi tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, tidak bertentangan dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan, tidak melunturkan jiwa idealisme dan patriotisme bangsa Indonesia dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama. Modernisasi juga tidak menimbulkan pola hidup mewah yang bertentangan dengan prinsip nilai-nilai keadilan sosial dan merugikan kepentingan umum.”
Penataran itu dilaksanakan di Hotel Sahid Jaya diikuti oleh 246 orang pemuka agama seluruh Indonesia dan menampilkan 88 orang Manggala yang memberikan materi tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) yang saat itu sangat populer. Tokoh-tokoh agama yang hadir sebagai peserta pada kegiatan itu al. Dr SAE Nababan, Mgr Ignatius Harsono, Drs Ida Bagus Puniaatmadja, KH EZ Muttaqien, P. Giripoetro Soemarsono.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini merupakan permohonan. “Tuhan bergegaslah menolong kami”. Kata “bergegas” disini terasa agak “memaksa; mendikte” seolah Sang Transenden itu dirasakan lamban, apatis, ignore. Agaknya sang pemohon ini dalam posisi yang emergency, yang panik berhadapan dengan realitas yang ia hadapi (mungkin banjir besar, atau ada begal/penjahat yang menghadang, atau bisa juga anak-anak yang sedang ibadah di rumah susun didatangi orang dan mengusir dengan kekerasan). Bisa juga Saudara-saudara kita yang tengah dikepung debu gunung Agung mengungkapkan permohonan ini. Memohon pertolongan kepada sesama, siapapun dia adalah hal yang wajar. Dalam perspektif agama, kita memohon pertolongan kepada Tuhan adalah sesuatu yang biasa dan wajar. Hanya memang apakah Tuhan mendengar permohonan kita, apakah cepat atau lambat merespons permohonan kita itu, semuanya berada diluar kategori pemikiran kita. Kita memohon dan menyerahkan sepenuhnya jawaban atas permohonan itu kepada Tuhan dan kita harus ikhlas, lapang dada untuk menerima apa yang Tuhan lakukan bagi kita, manusia fana ini. Kita beribadah kepadaNya dengan iman kukuh, kita memohon kepadaNya dan kita percaya Ia akan menjawab kita sesuai dengan agendaNya dan kairosNya ( the time of God).
Selamat berjuang. God bless.
Weinata Sairin