“DIFFICULTIES ARE THINGS THAT SHOW A PERSON WHAT THEY YOU ARE” (Epictetus)

0
1147

Oleh: Pdt. Weinata Sairin

Ada banyak cara yang digunakan orang untuk mencoba ‘mengukur’ kehebatan individu. Beragam standar digunakan berbagai kriteria diterapkan. Ada yang melihat dari aspek genetik, asal usul, keturunan: berdarah merah, biru atau hitam. Bagaimana bobot, bebet dan bibitnya? Ia asli, keturunan atau cangkokan? Ada yang melihat dari aspek pendidikan, apakah ijazah terakhir yang ia miliki? Apakah ia menempuh pendidikan didalam atau di luar negeri. Ada juga yang mengukur dari aspek kekayaan dan jabatan. Berapa aset yang dimiliki, apakah jabatan yang diembannya dan dimana saja?

Memang tidak ada ukuran baku atau standar dalam rangka mengukur ‘kekuatan’ atau ‘kehebatan’ seseorang. Hal itu amat tergantung dimana dan pada lingkup apa ‘pengukuran’ itu dilakukan. Ukuran yang ditetapkan oleh sebuah dusun tentu berbeda dengan standar yang ditetapkan oleh sebuah komunitas kota.

Sebagai umat beragama kita amat memahami bahwa kekuatan seseorang itu tak pernah mengacu pada faktor-faktor luaran sebagaimana yang biasa digunakan banyak orang. Kekuatan seseorang atau katakanlah seseorang itu dianggap memiliki ‘status’ tertentu apabila tingkat spirutualitasnya benar-benar andal. Keberagamaannya mantap dan konsisten yang bisa diverifikasi dalam kenyataan praktis. Ia bukan saja hafal teks kitab suci bahwa seseorang itu harus jujur, tidak korupsi, suap, tidak menyuap, menerima suap, tidak diperhamba roh nepotisme tetapi ia juga mempraktekkan hal itu secara nyata dan konsisten dalam seluruh kehidupannya. Ia bukan hanya hafal dan fasih melafalkan ayat-ayat kitab suci tentang bagaimana mengasihi dan berempati terhadap sesama tanpa membeda-bedakan Sara, tetapi ia mewujudnyatakan hal itu dalam kehidupannya. Masih cukup banyak orang-orang seperti itu yang bisa kita temui dalam kehidupan nyata, bukan kehidupan fiktif di dunia maya.

Dalam perspektif umat beragama, orang-orang model begitu yang dianggap memiliki status khusus, atau orang-orang yang dianggap ‘hebat’. Jadi ukurannya bukan pada asal-usul genetik, status sosial, pendidikan, jabatan dan sebagainya. Memang tidaklah mudah menjadi orang yang mengetahui perintah agama dan sekaligus orang yang memberlakukannya. Itu semua terjadi hanya oleh karena kekuatan dan hikmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Cukup menarik ungkapan Epictetus yang dikutip diawal bagian ini. Kita mesti menunjukkan kesiapaan kita jurtru tatkala kita diperhadapkan dengan beragam persoalan. Mari perlihatkan kesiapaan kita sebagai, umat yang beragama (dan bukan yang ateis/kafir) dengan tetap tegar dan teguh beriman.ke
pada Tuhan Yang Maha Esa.

Selamat berjuang. God bless.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here