“Sustine et abstine. Bersabarlah dan menahan dirilah”.
Kita kini hidup dalam sebuah dunia yang jauh dari kenyamanan. Baik dunia nyata, maupun dunia maya kesemuanya menampilkan sebuah dunia yang keras, sangar, penuh konflik, ada gempa yang beruntun, ada berbagai bentuk kejahatan, persekusi yang berkaitan dengan politik, sabu, tindak kriminal, dan sebagainya, dan sebagainya. Dunia maya juga dipenuhi dengan banyak hal yang acap tidak mencerminkan sikap bersahabat, posting yang acap primordialistik, ujaran kebencian, hujatan terhadap agama, meme yang provokatif, yang semua merupakan wujud ekspresi kontestasi menyongsong tahun 2019.
Sebagai bangsa yang beragama, dan yang selama ini dihargai dan bahkan dijadikan panutan oleh negeri jiran, realitas yang kita hadapi, khususnya dalam menyongsong pilpres tahun depan, cukup menggelisahkan. Semua ungkapan, sikap, program, aktivitas dari pihak yang satu selalu dinilai negatif oleh pihak yang lainnya. Demikian juga hal yang sebaliknya terjadi. Hal-hal normatif dan standar yang dilakukan oleh pihak yang satu selalu diberi cap negatif oleh pihak yang lainnya. Posting yang bernuansa “pembunuhan karakter” bahkan yang dibumbui dengan manipulasi sejarah dimunculkan juga dalam “perang” menyongsong kontestasi ini. Hal yang menambah rumit adalah para tokoh politik/masyarakat yang terkadang mengungkapkan pernyataan yang makin membuat panas situasi dan menghadirkan polarisasi yang makin tajam di kalangan masyarakat.
Di medsos pertarungan itu terjadi dan dihadapi hampir setiap hari yang pada gilirannya dapat menimbulkan problema baru bagi masyarakat luas. Media cetak dan elektronik acapkali menayangkan pertarungan itu, demi mengejar “rating” dan tidak lagi mau berhitung tentang bagaimana dampak penayangan itu bagi masyarakat. Kesantunan bersikap dan berbahasa nyaris tergerus dan punah dari kehidupan kita oleh karena soal-soal politik dan kecanggihan media; pada akhir-akhir ini.
Terkadang kita berfikir ulang pernyataan bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sopan santun, seperti yang diajarkan guru kita pada zaman baheula tatkala kita masih duduk dibangku Sekolah Rakjat/Sekolah Dasar. Apakah benar ciri bangsa kita seperti itu dengan melihat realitas yang terjadi sekarang.
Dengan melihat relasi anak-anak terhadap orang tua mereka, kata-kata yang mereka gunakan kepada orang tua, sikap bahkan tindakan yang dilakukan anak kepada orang tua agaknya telah terjadi pergeseran. Anak-anak tidak lagi bersikap hormat dan santun kepada orang tua mereka. Bahkan ada kasus yang terjadi yang mengungkap tindak kekerasan anak terhadap orangtua.
Kesantunan adalah warisan utama yang telah kita terima dari para orang tua kita. Mereka mengajarkan santun dalam kata, sikap dan tindak dengan amat jelas, tuntas dan berulang-ulang.
Kisah-kisah kuno seputar sopan santun bagus juga untuk menjadi bahan bagi pembelajaran. Henry Clay berkata kepada John Randolph : “Tuan, aku sudah semakin tua. Aku punya sedikit pengalaman yang mengantarkanku pada bentuk suatu ukuran pengalaman lain dalam kehidupan publik dan kesimpulannya adalah : bila bisnis atau apapun ditransaksikan suatu pertmuan perundingan atau dalam kehidupan pribadi maka sopan santun, kesabaran, dan kesederhanaan harus diperhitungkan dengan cermat sehingga bisa mendatangkan keberhasilan.
Ya sopan santun adalah bagian amat penting didalam kita membangun relasi antar manusia. Pada relasi level apapun, sopan santun selalu dianggap penting, termasuk dalam dunia internasional.
Dalam sebuah dunia yang garang, keras dan penuh intrik, sopan santun, kesabaran, sikap menahan diri penting untuk dikembangkan. Sebagai umat beragama yang saleh ketiga hal itu bukanlah sebuah sikap yang mewah, yang memiliki tujuan tertentu. Itu sikap standar yang memang harus diwujudkan dalam pergaulan antar manusia.
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini mengungkap sebuah imperatif “bersabarlah dan menahan dirilah”. Perintah itu amat relevan bagi kita yang hidup di zaman ini. Kedua istilah itu digunakan secara serentak walaupun dari segi makna keduanya memiliki kesamaan dan keterkaitan. Bersabar artinya tidak usah responsif dan reaktif. Semua peryataan ditanggapi tenang, jawaban lugas tidak cepat merespons. Menahan diri adalah bersikap menunggu, tidak terdorong untuk merespons secara cepat, menyimak dengan baik. Jika kita bersabar dan menahan diri maka keadaan kita akan jauh lebih baik. Kita bersabar dan menahan diri dari korupsi, dari menyuap, dari memanipulasi, dari membohongi publik, dari sikap diskriminasi dan berbagai sikap lainnya yang positif untuk dikembangkan dalam masyarakat.
Mari kita berusaha untuk bersabar dan menahan diri dalam menapaki kehidupan ini ditengah dunia yang keras dan sarat konflik.
Selamat berjuang. God bless
*Weinata Sairin*