“It is well to give when asked, but it is better to give unasked, through understanding”. (Kahlil Gibran)
Kata ‘bantu’, ‘tolong’, ‘dukung’ dengan berbagai sinonim dan konotasinya masing-masing sudah sejak lama dikenal dalam vokabulari masyarakat Indonesia. Dalam sebuah masyarakat agraris tradisional yang amat _guyub_ hidup saling membantu, saling bergotong royong adalah sesuatu yang biasa terjadi. Misalnya untuk membongkar rumah tua untuk diperbaiki, masyarakat di kampung cukup mengerahkan para tetangga dan selama lebih kurang dua hari perombakan itu rampung. Para tetangga yang _membantu_ membongkar rumah itu tidak perlu diberi upah/dibayar. Mereka membantu dengan ikhlas, sukacita sebagai wujud relasi yang baik antar tetangga. Baru sesudah rumah dibongkar, pemilik rumah akan memanggil para tukang “profesional” yang akan membangun rumah baru, selama sekian minggu, dan para tukang itu dibayar sesuai dengan tarif yang berlaku saat itu.
Selain kata ‘bantu’, ‘tolong’, ‘dukung’ dikenal juga kata ‘sokong’. Kata-kata itu kesemuanya memiliki _nafas_ yang sama, hanya penggunaannya dalam kalimat yang akan memperjelas makna dan konotasi dari setiap kata itu. Pada kata “tolong, tolong, sepeda motorku dirampas begal” menjadi jelas bahwa kata ‘tolong’ lebih kuat pemaknaannya pada situasi yang emergency. Kata ‘dukung’ banyak digunakan dalam konteks ‘mendukung pendapat’, ‘mendukung suara’, ‘mendukung paslon X’; ya agak bernuansa politis penggunaannya.
Kata ‘sokong’ acap digunakan dalam hubungan dengan dana. “Berapa sokongan dana yang diberikan untuk biaya studi XY?” Ada juga yang menggunakan kata itu dalam konteks “menyokong pendapat”. Dari kata ‘bantu’ itu lahir istilah Pembantu Rumah Tangga, bahkan istilah ‘bantu’ digunakan di dunia pendidikan, di dunia militer dan lain sebagainya.
Dalam kehidupan nasyarakat Indonesia yang majemuk, dan amat taat beragama maka sikap hidup yang saling membantu difahami sebagai bagian integral dari perjuwudan ajaran agama. Sikap yang saling peduli, caring, saling memperhatikan amat kuat terutama di lingkungan masyarakat agraris di kampung-kampung. Struktur kehidupan masyarakat yang lebih terbuka menyebabkan adanya keterikatan komunal pada warga masyarakat. Setiap peristiwa yang menimpa seorang warga akan segera menyebar beritanya keseluruh kampung dan bisa menjadi “burning issues” di situ. Masyarakat kota yang modern, yang acap dikuasai oleh roh individualismrme yang terpenjara oleh masalah kehidupan kota yang keras, ganas, kempetitif, aspek _caring_ , peduli tereduksi. Adanya apatemen, rumah susun, komplex perumahan makin mempertebal aspek indivudualistis itu. Apalagi jika ada kompleks perumahan yang cenderung mengkhususkan diri untuk hanya menerima orang dari latarbelakang ikatan primordial tertentu.
Realitas masyarakat kota yang individualistis, yang tertutup dan amat sibuk, membuka peluang bagi orang-orang dari ideologi tertentu, punya kepentingan tertentu, untuk mewujudkan obsesinya antara lain dengan merakit bom baik low maupun high eksplosive, atau memperdagangkan sabu dan jenis narkotik terbaru yang lepas dari sistem deteksi petugas keamanan.
Sebagai bangsa yang mejemuk, yang beragama, yang diwarisi nilai-nilai luhur kehidupan dari nenek moyang kita, yang memiliki lokal wisdom, semangat cinta kasih, sayang menyayangi maka hidup saling membantu, menolong harus diwujudkembangkan terus dan menjadi gaya hidup, habitus dari masyarakat kita.
Ajaran agama dan nilai-nilai spiritual dari Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa harus diartikulasikan konkret dalam kehidupan yang konkret. Ajaran agama dengan keluhuran nilai vertikal-transendental jangan hanya _dikurung_ pada diskusi teologis-akademis di menara gading dan atau di ruang publik, tapi harus nyata, praksis dan operasional dalam memandu umat yang tengah bergelut dengan banyak masalah dalam berbagai sektor kehidupan dikekinian zaman.
Ungkapan Gibran dalam pepatah yang dikutip diawal bagian ini menarik untuk direnungkan. Memberi, membantu itu lebih baik tanpa diminta, artinya atas insiatif dan pertimbangan sendiri. Bukan atas perintah atau permohonan pihak lain. Kedewasaan pribadi, kematangan hidup beragama bisa juga dilihat dari perspektif ini, pada soal insiatif. Gibran menyentuh aspek penting dalam konteks relasi antar manusia. Sejatinya banyak dari antara kita yang memberi dan membantu berdasarkan perintah atau permohonan.
Seorang Kafi Kurnia yang mendalami Marketing, lebih 20 tahun yang lalu menyatakan bahwa orang Indonesia itu untuk memberi pujian, applaus kepada orang lain harus dikomando. Misalnya kepada seorang pembicara yang telah membawakan makalah amat baik dan menawan, moderator selalu meminta “ayo beri tepuk tangan untuk nara sumber!”
Ungkapan Khalil Gibran ini penting untuk menjadi bahan rujukan dalam mengembangkan kehidupan kita dimasa depan ditengah dinamika zaman yang penuh turbulensi. Sebagai umat beragama dari sebuah bangsa besar di bumi ini kita harus berinsiatif untuk membantu sesama kita tanpa mempertimbangkan kesiapaan mereka.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin.*