Oleh Weinata Sairin, Jakarta 1997
KATA PENGANTAR SEBUAH DIALOG IMAN KRISTEN, ISLAM Oleh M. Dawam Rahardjo pada Buku kecil karya Weinata Sairin yang berjudul Tempat dan Peran Yesus di Hari Kiamat Menurut Ajaran Islam kiranya menarik untuk di baca karena tiga hal :
_Pertama_,
ia adalah sebuah contoh dialog iman, sebuah ide kegiatan yang beberapa waktu, lalu dicetuskan di Yogya, antara lain di dukung oleh para teolog dari berbagai agama.
_Kedua_,
buku ini ditulis oleh seorang Kristen yang mencoba mempelajari suatu bagian dari ajaran Islam. Bagi orang Islam, hal ini menarik, karena mereka ingin tahu bagaimana orang Kristen secara ilmiah menanggapi pandangan Islam tentang keimanan Kristen, khususnya mengenai Yesus yang dalam ajaran Islam dikenal sebagai Nabi Isa a.s. atau Isa bin Maryam;
Hal _ketiga_ yang menarik,
setelah membaca buku ini adalah bahwa penulisnya pada akhimya menjelaskan pandangan Kristen sendiri setelah mempertimbangkan pandangan tentang Yesus dari sumber-sumber Islam. Persoalan yang dibahas dalam buku ini termasuk ke dalam kategori llmu Perbandingan Agama. IImu ini lahir guna dan mungkin dapat memfasilisasi hubungan antar umat beragama di Indonesia, yang sering dikatakan sebagai rukun, tetapi dalam kenyataannya sering juga timbul bentrok dalam hubungan mereka.
Sebenarnya hubungan antara umat Islam dan umat Kristen (termasuk Katholik) dengan agama agama lainnya memang sangat bagus. Tetapi hubungan antara Islam-Kristen, dua agama yang induknya sama, yaitu “agama Ibrahim”, sering diwarnai dengan bentrokan fisik setidak-tidaknya cukup tegang. Hal ini tidak saja memalukan dari sudut falsafah hidup Pancasila yang dianut oleh bangsa Indonesia, tetapi sebenamya juga merugikan kedua belah pihak, dilihat dari sudut kepentingan untuk meningkatkan mutu kehidupan agama.
Setiap agama mengklaim kebenaran bagi keyakinan masing- masing. Bahkan setiap agama mengklaim kebenaran absolut berhadapan dengan agama-agama lain. Sebagai akibatnya, mereka sering menganggap bahwa agama-agama lain itu juga salah secara mutlak. Seolah-olah tak ada sedikit pun unsur kebenaran dari agama- agama lain. Malahan, percaya kepada suatu unsur agama lain, sering dianggap sebagai dosa. Sementara itu orang beragama justru lebih terbuka menerima suatu kebenaran ilmu pengetahuan yang tidak berkaitan dengan keyakinan suatu agama tertentu. Padahal, jika setiap agama itu mengklaim kebenaran multak, tentunya ada unsur-unsur kebenaran yang dapat diterima oleh pemeluk agama lain. Malahan, mungkin juga terdapat banyak persamaan-persamaan antara agama yang satu dengan yang lain.
Sebenamya, hal ini sebagian sudah jelas. Tidak sulit mencari persamaan-persamaan antaragama, termasuk yang menyangkut aqidah yang fundamental. Karena itulah maka sebuah “dialog iman” sebagaimana yang diprakarsai oleh sebagian pemuka agama-agama kita itu, adalah sesuatu yang mungkin. Namun sebenarnya iman kita itu justru akan berakhir mengecewakan. Dialog dalam ilmu tentu saja sangat mungkin. Tetapi dialog antar iman mengandung tanda tanya. Kemungkinan besar akan menghasilkan apa yang dirumuskan oleh Prof. A. Mukti Ali sebagai “sepakat dalam berbeda”.Tidak adakah perspektif lain dari dialog antar-iman ini ?
Saya melihat ada tiga tingkat perkembangan ilmu perbandingan agama.
_Pertama_, dalam upaya perbandingan itu, masing-masing berusaha melihat kelemahan agama-agama lain sebagai bukti kebenaran agama sendiri. Dalam rangka persaingan antar agama, khususnya agama Islam dengan Kristen, pola ini sangat sering terjadi. Bahkan sering terjadi saling ejek terhadap keyakinan agama lain.Hal ini sebenarnya sebuah ironi.Tak seorang pun pemeluk agama bisa menerima ejekan orang lain. Bahkan tentang hal ini orang sangat mudah tersinggung. Karena hal ini menyangkut kepercayaan yang dinilai sebagai suatu yang sakral, suci dan harus dihormati.
Pada tingkat _kedua_,
orang tidak lagi mencari kesalahan dan kelemahan agama-agama lain untuk membenarkan agama sendiri. Di sini orang mulai mengkaji persamaan dan perbedaan antar-agama lain dengan agama sendiri.Pada umumnya orang cenderung untuk melihat perbedaan-perbedaan dari pada persamaan-persamaan. Namun, sekalipun kita melihat dan menemukan perbedaan- perbedaan, tetapi dalam tahap ini orang sudah bisa menghargai perbedaan-perbedaan tersebut. Setidak-tidaknya dalam melihat perbedaan itu, orang tidak lagi berusaha untuk mengungkit kelemahan dan kesalahan agama lain.Tetapi yang lebih diharapkan dalam tahap perkembangan ini adalah, bahwa orang sudah berusaha bersikap jujur sehingga mampu menemukan persamaan-persamaan antar agama. Hal ini memang lebih mudah menemukan persamaan dalam ajaran-ajaran sosial. Tetapi bukan tidak mungkin menemukan persamaan-persamaan di bidang teologi.
Tahap yang lebih tinggi lagi adalah jika kita berusaha untuk menemukan kebenaran-kebenaran pada agama-agama lain. Kebenaran pada agama lain itu memang susah di identifikasikan dan di rumuskan secara jelas, karena adanya hambatan struktural kebahasaan, Namun, setidak-tidaknya seseorang sudah bisa melakukan apresiasi. Misalnya tentang doktrin Trinitas yang sering menjadi bahan ejekan di kalangan Muslim. Karena doktrin ini, kaum Muslim sering tidak bisa memahami jika orang Kristen menyatakan dirinya sebagai pemeluk monotheis.Tentu saja bagi seorang Muslim untuk menerima penjelasan tentang “Three in One”. Padahal pemeluk Kristen mungkin bisa menjelaskan doktrin ini dengan kenyatan empiris mengenai tiga bentuk benda, yaitu air, uap dan es. Tetapi yang penting adalah bahwa Trinitas itu memberi makna yang fungsional dalam kehidupan kongkret umat Kristen.
Keyakinan bahwa Yesus itu “Anak Allah” atau penjelmaan Tuhan dalam diri seorang Manusia, memang amat sulit dipahami oleh orang Islam.Hal ini disebabkan karena orang Islam tidak hidup dalam tradisi ini Namun yang penting, keyakinan tersebut mempunyai makna yang sangat fungsional dalam kehidupan orang Kristen. Hal itu sebenamya bisa dirasakan oleh banyak kalangan Muslim ketika membaca novel kecil Iwan Simatupang yang berjudul “Kooong” atau “Merahnya Merah”, di mana kepribadian Yesus oleh pengarangnya dijelmakan dalam diri seseorang. Dalam novel “The Last Temptation of Christ”, Nikos Kazantzakis, -yang notabene adalah seorang Marxis-, dapat menggambarkan Yesus sebagai “manusia nan Ilahi” melalui ekspresi kemanusiaan “Anak Allah”.
Buku yang ada di tangan anda ini adalah sebuah karya yang dapat dimasukkan ke dalam ketegori ilmu perbandingan agama. Pengarangnya secara sistematis membahas tentang tempat kedudukan Yesus dalam eskatologi Islam. Dimulai dengan bab pendahuluan sebagai mana biasanya sebuah buku ilmiah, pengarang mula-mula menjelaskan bagaimana ia tertarik pada masalah kepercayaan paraousia Yesus, yakni kedatangan Yesus untuk ke dua kalinya ke bumi ini setelah wafat di tiang salib.Hal yang agaknya menarik perhatian penulis adalah bahwa kepercayaan semacam itu temyata terdapat pula di kalangan Islam. Mula-mula pembaca bisa menduga, bahwa kepercayaan Islam itu akan dipergunakan oleh penulisnya untuk memperkuat iman Kristen.Tetapi kenyataan dalam hal ini ia telah memiliki hipotesa bahwa Kepercayaan parousia Yesus atau Nabi Isa dalam kepercayaan Islam itu berbeda dengan yang ada dalam kepercayaan Kristen. Dalam buku tersebut ia berusaha mencari garis batas yang jelas antara Nabi lsa yang diharapkan dalam eskatologi Islam, dengan kedatangan Yesus untuk kedua kalinya dalam iman Kristen.
Pada bab kedua ia memulai pembahasannya dengan eskatologi Islam. Ini kemudian ia perbandingkan dengan eskatologi Perjanjian baru.Dari perbandingan itu ia kemudian menarik kesimpulan. Dan sebagaimana telah ia duga sebelumnya, konsep parousia Nabi Isa Islam dan Yesus dalam Perjanjian Baru itu memang berbeda. Pada Bab III ia berusaha menjelaskan kepercayaan Kristen.
Dari cara penulisannya itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa penulisnya memang berusaha melakukan sebuah dialog. Memang biasanya dialog dilakukan antara beberapa pihak.Tetapi dalam dialog ini yang berperan hanyalah satu pihak, yakni penulis buku ini. Hanya saja dalam buku ini ia menampilkan dua pihak. Faktor yang menjadikan buku ini sebuah dialog adalah cara penulisnya mengemukakan ajaran Islam sebagaimana dipahami oleh pihak Islam sendiri. Jika ditanyakan kepada pihak Islam apakah yang ditulis oleh pengarang ini telah bisa mewakili, jawabnya adalah bahwa yang dikemukakannya itu cukup mewakili pandangan Islam. Sebab dalam buku tersebut ia menampilkan pandangan berbagai tokoh Islam yang diakui otoritasnya, seperti HAMKA Arsyad Thalib Lubis, Nurcholish Madjid atau Gazalba, bahkan juga pandangan Ahmadiyah yang diwakili oleh tulisan Syafi R. Batuah.
Apa yang dilakukan oleh Weinata Sairin mengingatkan kita kepada cara yang dilakukan oleh Kyai Arkanudin, seorang ulama ahli Kristologi dari Solo. Cuma memang ada perbedaannya. Sebagaimana Sairin mempelajari Islam dalam menjelaskan keyakinan Kristen, Kyai Arkanudin juga mempelajari Injil, wal terutama Perjanjian Lama. Menurut keyakinan Kyai Arkanuddin dalam Perjanjian Lama tentu masih ada “sisa-sisa kebenaran” yang bisa diambil dengan tujuan membenarkan ajaran Islam.Dalam buku ini Sairin tidak bermaksud mencari kebenaran kebenaran dalam al Qur’an atau Hadist. Tanpa secara eksplisit menolak kesaksian al Qur’an dan Hadits, ia berusaha menjelaskan bahwa iman Islam tentang Nabi Isa itu memang berbeda dengan keyakinan Kristen tentang Yesus.
Sangat menarik untuk dicatat kesimpulan Sairin tentang perbedaan keyakinan Islam dan Kristen dalam eskatologi masing-masing. Disimpulkan olehnya tentang kepercayaan Islam bahwa Keselamatan di akhirat adalah sesuatu yang dicapai berdasarkan usaha rnanusia, sebab keselamatan sangat ditentukan oleh amal perbuatan yang manusia lakukan dalam hidupnya di dunia ini. Menurut kesimpulannya tentang Islam, “Pekerjaan manusia tiap- tiap hari dilakukan bukan atas dasar karya penyelamatan Allah yang telah berlaku bagi manusia”. Sementara itu menurut kepercayaan Kristen: “Oleh dan di dalam Yesus Kristus keselamatan sudah diberikan kepada setiap manusia yang percaya kepadaNya, sebab itu keselamatan bukanlah sesuatu yang melulu dikecap pada hari kiamat nanti, melainkan sudah dimulai pada masa kini.” Selanjutnya dalam penjelasannya mengenai iman Kristen; “Segala pekerjaan manusia yang dilakukan dalam hidupnya, harus dimengerti sebagai usaha untuk mencapai keselamatan pada hari akhirat, tetapi sebagai respons atas tindakan penyelamatan Allah yang telah terjadi dalam Yesus Kristus.”
Kesimpulan di atas, memang berasal dari seorang Kristen. Tetapi kiranya dapat diterima oleh Muslim. Islam memang mementingkan amal, Ini tidak berarti bahwa Islam mengecilkan iman. Tetapi iman itu dalam Islam perlu dibuktikan dengan amal. ✓Dalam al Qur’an umpamanya diceriterakan bahwa ketika kaum Badui padang pasir menyatakan dirinya beriman, Allah menyuruh rasulNya, Muhammad mengatakan: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu” (Qs al Hujurat:14). Dengan perkatan lain, iman itu bagi Islam adalah sebuah proses yang tumbuh atau menyurut dalam proses tindakan atau amal perbuatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh Weinata Sairin cukup fair bagi orang Islam. Memang begitulah persepsi tentang Yesus dalam eskatologi Islam, sebagaimana ditulis dalam buku ini. Buku ini menyimpulkan bahwa “pengharapan turunNya Yesus dalam eskatologi Islam tidak mempunyai pengaruh terhadap sikap hidup para penganut Islam sehari-hari”. Dalam perumusan orang Islam, kepercayaan parousia Nabi Isa tidak merupakan bagian penting dalam rukun iman Islam. Jadi memang tidak ada pengharapan terhadap turunnya Nabi lsa untuk kedua kalinya. Yang diharapkan oleh kaum Muslim di hari kiamat adalah syafa’at nabi mereka, Muhammad saw. Tapi pengharapan tentang turunnya Imam Mahdi memang hidup juga, terutama di kalangan Syi’ah. Revolusi Iran tahun 1989 dan tampilnya Imam Khumaini menyajikan gambaran yang kongkret tentang Imam Mahdi. Sebab Imam Khumaini memang dinilai oleh rakyat Iran dan kaum Syi’ah di seluruh dunia sebagai membawa keadilan di bumi Iran.
Dengan contoh Imam Khumaini yang membebaskan rakyat Iran dari penindasan Syah Iran, hingga kini pengharapan tentang kedatangan Imam Mahdi masih menghiasi poster-poster di Iran. Di kalangan Sunni, pengharapan itu tidak merupakan kesadaran yang kuat. Hanya saja di Indonesia, pada awal abad ke 20, pernah timbul juga pengharapan tentang datangnya Ratu Adil yang pada waktu itu dipersonifikasikan pada tokoh Tjokroaminoro; walaupun atas nasehat Haji Agus Salim, pengharapan itu ditolak. Bagi sebagian kyai kita di Indonesia, Soekarno setengahnya dianggap sebagai macam Ratu Adil, yang membebaskan rakyat Indonesia dari penjajahan. Dalam kaitan dengan dominasi PKI, Jenderal Soeharto sebenarnya juga memerankan diri sebagai semacam Ratu Adil, karena ketrampilannya yang tak diduga-duga seolah-olah diturunkan oleh Tuhan untuk menyelamatkan bangsa Indonesia dari komunisme. Memang kedua tokoh itu tidak secara resmi disebut sebagai Ratu Adil. Tetapi peranan kedua tokoh tersebut bisa menjelaskan kepercayaan tentang datangnya Imam Mahdi yang menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebenarnya peranan Imam Mahdi, yang oleh pemikir modernis seperti Nurcholish Madjid ditafsirkan sebagai matafor,- dan seperti dikemukakan dalam buku ini sebagai peristiwa yang “bukanlah suatu peristiwa yang benar-benar terjadi secara konkret” itu, sebenarnya telah banyak terjadi dalam sejarah.
Sebelum Kristus, Imam Mahdi secara spektakuler diperankan oleh Nabi Musa yang membebaskanbbangsa ya, Israil, dari perbudakan Pharaoh di Mesir. Peranan serupa dalam bentuk lain, telah dilakukan oleh seorang Yahudi Amerika, Abraham Lincoln, ketika membebaskan kaum kulit hitam Amerika dari sistem perbudakan. Itu semua dapat kita tangkap di Indonesia sebagai peran Ratu Adil yang membebaskan dan menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam skala yang lebih kecil, banyak tokoh sejarah yang mengambil peranan Imam Mahdi, walaupun mereka tidak menyatakannya demikian. Bahkan ketika sebagian besar mereka tidak berhasil, seperti Diponegoro di Jawa dan tuanku Imam Bonjol di Minangkabau. Sebenarnya Imam Mahdi adalah sebuah konsep “Juru Selamat” yang dipersepsikan sebagai telah terjadi atau diwujudkan di masa kini.
Dalam masyarakat yang tertindas dan hampir putus asa biasanya timbul pengharapan tentang datangnya sang juru selamat. Pengharapan itu bisa timbul dari kegagalan yang telah terjadi. Di balik pengharapan itu sebenarnya tersembunyi peranan “tidak mau menerima kenyataan” tentang matinya seorang pemimpin yang dianggap mengemban misi menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka berharap pemimpin seperti itu akan bangkit kembali di kelak kemudian hari. Di kalangan Syi’ah, pengharapan itu hidup selama berabad-abad, dan barangkali baru dirasakan terwujud, ketika datang Imam Khumaini.Tetapi mereka belum puas juga dengan keadaan, karena merasa masih mengalami penindasan, misalnya dari imperialisme Barat dan berharap akan datang lagi Ratu Adil.
Dari ilustrasi tentang kepercayaan terhadap Imam Mahdi di atas kita dapat mengambil kesimpulan yang sama dengan penulis buku ini, bahwa parousia Nabi Isa dalam kepercayaan Islam, khususnya tentang konsep Imam Mahdi, memang tidak mendukung kepercayaan parousia Kristen. Tetapi kepercayaan Islam tentang turunnya kembali Nabi Isa dan datangnya Imam Mahdi,– keduanya bisa berbeda atau identik, sebagaimana dijelaskan juga oleh Sairin–, memang cukup menarik untuk dibahas. Dan karena itu buku ini menarik untuk dibaca. Memang buku ini membahas soal pengharapan turunnya Yesus untuk kedua kalinya. Buku ini sebenamya barulah merupakan “pendahuluan dari pembahasan yang lebih mendalam yang berupa diskursus yang lebih filosofis. Buku lain perlu pula ditulis mengenai dampak sosial dari kepercayaan parousia Yesus dalam masyarakat Kristen atau kedatangan Imam Mahdi dalam tradisi kepercayaan kaum Muslim.