“Nisi per te sapias, frustra sapientem audias. Jika engkau sendiri tidak bijak sia-sialah mendengarkan orang yang bijak”.
Kata orang bijak, hari-hari ini ada dua kata kunci, ” keyword” yang amat penting untuk diingat dan bahkan dilaksanakan. Kedua kata itu adalah “bijak” dan “bajik”. Kata ‘bijak’ kemudian juga membentuk kata ‘bijaksana’ dan kata ‘bajik’ yang kemudian melahirkan kata ‘kebajikan’. Kebijaksanaan dan Kebajikan penting menjadi nafas, roh, semangat dari manusia di zaman “now” agar bisa tetap eksis menghidupi kehidupan yang gamang di hari-hari ini. Dunia manusia hampir di seantero jagat raya amat ramai dan heboh di hari-hari menjelang akhir tahun ini. Ada keputusan kepala negara adi daya yang melawan konvensi internasional tentang kota Yerusalem, ada bom bunuh diri yang meledak di ruang Gereja Methodis di Pakistan tatkala umat khsusuk beribadah dan menewaskan 9 orang serta melukai puluhan warga jemaat, ada pohon Natal termahal yang dipajang di Abu Dhabi, ada keriuhan pilkada serentak, ada ribuan pil ekstasi yang disita petugas, ada peristiwa kriminal dalam beragam bentuk, ada hoax, ada cyber crime, dan banyak lagi peristiwa yang diangkat ke media yang mempertontonkan kehidupan umat manusia dipenghujung tahun 2017.
Menapaki kehidupan dipenghujung tahun 2017 ini ternyata tidak terlalu nyaman. Konflik-konflik dalam berbagai bobot dan level yang disebabkan beragam latar-belakang terjadi hampir disetiap sudut dunia. Perempuan, anak dibawah umur diperdagangkan, dengan kecanggihan teknologi, sindikatnya meluas lintas negara. Ada regulasi, ada ketentuan perundangan, ada kebangkitan agama-agama, tetapi kejahatan dan mereka yang terjerat pidana makin bertambah.
Kedepan tantangan yang kita hadapi tidaklah makin ringan sebagai bangsa yang majemuk. Tahun 2018 ada Pilkada serentak, tahun 2019 ada pemilihan presiden; dua agenda penting ini akan sangat riskan bagi kita jika yang dikedepankan adalah isu tentang dan sekitar *sara* dan bukan aspek kompetensi dan profesionalisme. Sebagai umat dan bangsa yang beragama kita harus berupaya dengan sekuat tenaga agar *agama* tidak direduksi menjadi instrumen politik. Agama harus memberi terang bagi dunia politik, agama harus memberi arah, memberi roh spiritual bagi dunia politik sehingga politik tidak diberi stigma sebagai dunia yang _kotor dan bergelimang dosa_.
Itulah sebabnya adalah baik untuk menggarisbawahi dua kata kunci dari orang bijak, yaitu _bijaksana_ dan _kebajikan_. Bijak, bijaksana, adalah memberikan pandangan atau melakukan tindakan yang tepat untuk menjawab sesuatu persoalan yang hadir disuatu waktu tertentu. Seorang yang bijaksana adalah seorang yang berkata tepat pada waktunya, dengan memilih kata/istilah yang pas ketika terjadi suatu diskusi diantara beberapa orang yang sudah makin cenderung kearah saling menghina.
Kebajikan adalah kebaikan yang mewujud dalam berbagai bentuk yang dilakukan seseorang kepada orang lain. Kebajikan lebih dalam dan luas maknanya dari kebaikan. Kebajikan adalah kebaikan yang tiada terbatas; kebajikan adalah perbuatan, tindakan, kesadaran dan tenggangrasa dari seseorang terhadap orang lain. Kebajikan itu adalah perbuatan yang sesuai dengan moral, norma agama dan etika.
Sikap bijaksana adalah kemampuan mencari solusi terhadap masalah yang sedang dihadapi. Adalah Harold Macmillan yang ketika meletus Perang Dunia II menjabat sebagai Menteri Kependudukan Inggris dan melakukan kunjungan ke Al Jazair. Sebuah perselisihan terjadi antara perwira Inggris dan Amerika di ruang makan. Orang Amerika ingin minuman yang dihidangkan, sebelum makan, orang Inggris ingin yang sebaliknya. Macmillan diminta mencari solusi. Macmillan kemudian menyatakan : “Jika begitu sejak saat ini kita semua akan minum sebelum makan bagi orang Amerika dan semua akan minum setelah makan bagi orang-orang Inggris.
Dari khazanah masa lampau banyak juga cerita tentang kebajikan orang besar yang bisa menjadi sumber inspirasi kita. Thomas More digambarkan tentang bagaimana kebajikan yang selalu hadir dan menguasai hidupnya. Erasmus menggambarkan. Thomas More sebaga berikut. “Tinggi derajatnya tidak membuatnya bergembira atau menjadikannya lupa kepada sahabatnya yang merupakan orang-orang biasa. Ia selalu baik hati selalu bermurah hati. Ia menolong orang lain dengan uangnya dan pengaruhnya. Ketika ia sudah tidak bisa memberi apa-apa lagi, ia memberikan nasihatnya. Ia adalah pelindung orang-orang miskin yang bernasib malang”
Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini menyatakan “jika engkau sendiri tidak bijak maka sia-sialah mendengarkan orang yang bijak”. Kita sendiri memang harus bijak sehingga apa yang kita dengar dari orang bijak bisa kita praktekkan. Kebijaksanaan dan Kebajikan mesti kita wujudkan dalam hidup kita. Tak ada pilihan lain.
Selamat berjuang. God bless.
*Weinata Sairin*