Oleh: Jeannie Latumahina
Mengutip pidato politik Anies Baswedan:
“Kita semua pribumi ditindak,dikalahkan,kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri Indonesia!”
Kita bandingkan kutipan pidato diatas,dengan
INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 1998 TENTANG
MENGHENTIKAN PENGGUNAAN ISTILAH PRIBUMI DAN NON PRIBUMI DALAM SEMUA PERUMUSAN DAN PENYELENGGARAAN KEBIJAKAN, PERENCANAAN PROGRAM, ATAUPUN PELAKSANAAN KEGIATAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan, persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak dan kewajiban warga negara, dan perlindungan hak asasi manusia, serta lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, dipandang perlu memberi arahan bagi upaya pelaksanaannya.
Mengingat:
Pasal 4 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pas1 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
MENGINSTRUKSIKAN:
Kepada:
Para Menteri;
Para Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen;
Para Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara;
Para Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dan Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.
Untuk:
PERTAMA:
Menghentikan penggunaan istilah pribumi dan Non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
…dan seterusnya
Sangat tidak etis, cacat hukum, seorang pemimpin yang berlawanan pola pikir dengan hukum yang berlaku .Apakah ini memang disengajakan?
Menurut pemikiran saya,
Pola pikir demikian adalah pola pikir yang naif,tidak patuh dan hormat terhadap semua ketentuan yang berlaku,mengutamakan kepentingan pribadi dan ambisi, tidak toleran ,lazimnya itu hanya ada dalam masyarakat purba.
Pola pikir masyarakat purba, yang bertindak semaunya sendiri, sangat berbahaya karena dapat memicu fanatisme.Fanatisme ini kemudian dapat berkembang menjadi rasa benci terhadap etnis tertentu.Kemudian rasa benci itu dapat berkembang lagi menjadi upaya mengenyahkannya.
Pola pikir masyarakat purba, memancing suasana curiga,dan benci.Orang menjadi tidak rasional, dan tidak mau mengakui realitas bahwa kemanusiaan selalu bersifat majemuk dan adalah picik ,bila orang menganggap etnisnya paling unggul.
Kita berbeda etnis,tetapi kita berkerabat dalam satu keluarga besar NKRI, dan juga keluarga umat manusia.Warna kulit kita berbeda,yaitu hitam,putih,kuning,coklat,sawo matang, rambut kita,keriting,ikal,lurus, namun warna darah kita semua sama,yaitu merah.Kita semua NKRI ,tidak ada istilah pribumi atau non pribumi.
Untuk yang berpola pikir “masyarakat purba!”,cobalah mengingat kembali Jiwa luhur Abdurrahman Wahid ( 1940-2009) atau Gus Dur yang dikenang dalam sejarah ,sebagai guru bangsa.Apa didikannya kepada bangsa kita?Ia mendidik kita untuk berjiwa luhur atau berjiwa besar dalam bidang politik,religi,ekonomi dan etnik.Gus Dur berwawasan luas, karena membaca banyak buku.Ia gemar membaca sejak kecil.Ia membaca buku dari berbagai agama dan etnis, yang diwariskan oleh kakeknya ,Hasyim Asy’ari dan ayahnya Wahid Hasyim.
Sebagai Guru Bangsa, Gus Dur telah menjadi harta pusaka umat manusia yang mewariskan pola pikir berwawasan luas, bukan pola pikir masyarakat purba.Mewariskan pola pikir berjiwa luhur,nasionalis untuk Indonesia Raya yaitu Indonesia dalam keseluruhannya dan keutuhannya.
Mencermati pidato pemimpin dengan pola pikir masyarakat purba diatas” yang sengaja memicu fanatisme etnik tertentu!,maka saya meragukan kinerja program 100 hari kerjanya. Sebab program 100 hari kerjanya banyak menekankan pendekatan kemanusiaan yang melibatkan semua etnik di DKI.Program yang jelas bertentangan dengan konsep pidato awal adalah ” sesuatu yang patut diragukan kinerjanya !!!
Kediri, 17 Oktober 2017