Jakarta, Suarakristen.com
Yayasan Komunikasi Indonesia mengadakan Diskusi Panel bertemakan “Demokrasi dan Pembebasan”, Rabu (15/1), di Kantor Yayasan Jln. Matraman No.10A
Pada diskusi panel kali ini dihadiri para narasumber : Sabam Sirait sebagai Keynote Speaker, Alan Singkali (Sekum PP GMKI), Erasmus Napitupulu (Peneliti KJR), dan Abednego Tarigan (Kedeputian II KSP)
Sebagai Moderator : Theo Cosner Tambunan (Direktur Eksekutif Program Yayasan Komunikasi Indonesia)
Sabam Sirait mengatakan bahwa yang paling sering dibahas di dunia adalah mengenai Demokrasi.
“Contoh di Amerika Latin mereka sering bicara tentang demokrasi terutama untuk menjawab permasalahan yang terjadi saat ini. Demokrasi itu nantinya berkembang menjadi pembebasan terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keadilan. Mereka benar-benar ingin menerapkan demokrasi beserta pembebasan. Bukanlah demokrasi palsu yang diperagakan parpol-parpol di Indonesia. Untuk itu saya berharap dari diskusi ini lahir ide-ide berupa demokrasi dan pembebasan yang berguna untuk kemajuan negeri,” kata Sabam Sirait.
Alan Singkali mengingatkan tentang sejarah demokrasi Indonesia mulai dari era kemerdekaan sampai saat ini. Setiap periode atau fase punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
“Demokrasi dimulai pada fase sejak pra Indonesia Merdeka, Demokrasi Liberal & Terpimpin zaman Soekarno, Demokrasi Pembangunan zaman Soeharto dan Demokrasi saat era Reformasi dan setelahnya. Setiap perkembangan demokrasi di Indonesia memiliki pengaruh dan warisannya sendiri. Demokrasi kita ditentukan oleh siapa yang berada didalam sistem perpolitikan Indonesia saat ini. Ambil contoh di zaman pemerintahan Soeharto, sistem perpolitikan lebih terpusat kepada sosok Soeharto yang otoriter dan diktator, dimana partai-partai politik ruang geraknya dibatasi dan dikontrol ketat berbeda di era sekarang yang masuk era Millennial yang lebih bebas dan terbuka untuk menyampaikan suara-suara politiknya,” jelas Alan.
Erasmus Napitupulu mengutamakan Rancangan Kitab Undang Pidana (R KUHP) untuk mengatur demokrasi termasuk mengatur hak-hak azasi manusia.
“Instrumen Undang-Undang dan Instrumen Pidana adalah dua instrumen yang mengatur hak azasi manusia. Menurut politisi di legislatif yang melahirkan undang-undang, bahwa Undang-Undang tidak mengatur hal pidana merupakan Undang-Undang Banci. Undang-Undang yang berkaitan dengan pidana lebih kuat dan tegas kedudukannya mengatur warga negara. Tapi kelemahan dari penggunaan undang-undang pidana saat ini warga negara sangat mudah kena pasal kriminalisasi. Negara jauh lebih power full untuk memgontrol ruang gerak warga negara. Ini juga tidak baik karena bisa ancam proses demokrasi,” ungkap Erasmus.
Sekarang ini banyak kegiatan-kegiatan di masyarakat sering dibubarkan tanpa alasan jelas dan itu sepengetahuan dan seizin pihak aparat kepolisian.
“Jika kita mengatakan demokrasi ini adalah pembebasan, negara harus memastikan warga negaranya bebas untuk berekspresi, berbicara dan berkumpul. Jika ketiganya tidak terpenuhi, sebaiknya kita harus mempertanyakan sistem demokrasi kita jalankan saat ini,” papar Erasmus.
Abednego Tarigan menekankan tentang masih banyak terjadinya ketimpangan-ketimpangan di Indonesia saat ini. Untuk itu perlu adanya subsidi yang tepat guna untuk rakyat.
“Di zaman dulu subsidi pakai BLT, habis pakai hilang tanpa berguna secara jangka panjang untuk rakyat. Sekarang di era Jokowi subsidi lebih diarahkan kepada hal-hal yang sifatnya produktif bukan konsumtif. Terjadi perubahan besar yang memungkinkan negara menerapkan ekonomi yang berkeadilan. Ini berkaitan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah harus win-win solusi untuk semua pihak. Contoh saat pemerintah menaikkan tarif listrik, transportasi dan lain-lain, pemerintah membuka ruang untuk melihat dinamika yang terjadi di masyarakat. Artinya sebelum mengambil dan memutuskan suatu kebijakan pemerintah lebih aspiratif menampung suara-suara dari masyarakat,” jelas Abednego.