Pdt. Weinata Sairin:”Aquam infundere in cinerem. Menyiram air pada abu (rumah yang telah terbakar)”.

0
1405

Air memiliki makna yang amat penting dalam kehidupan manusia. Setiap saat manusia membutuhkan air : untuk minum, mandi, mencuci, masak dan untuk keperluan lain dalam kehidupan. Sebagai sebuah negeri agraris maka air sangat diperlukan dalam pertanian. Menurut penelitian, dinegara-negara maju seorang membutuhkan 250 liter air per hari, sementara dinegara berkembang cukup hanya 150 liter.

 

Seseorang yang tersesat dihutan atau terdampar disuatu pulau tak berpenghuni hanya bisa bertahan hidup tanpa minum 4-5 hari saja. Banyak sekali manfaat air bagi kehidupan manusia. Untuk pembangkit tenaga listrik, untuk pendinginan pabrik, untuk irigasi yang akan mengatur alokasi air bagi pertanian, industri, hotel, restoran, peternakan dan sebagainya.

 

Air bersih, air untuk diminum dan kebutuhan hidup manusia memang amat penting sekali. Pembangunan RS Indonesia di Myanmar konon terkendala karena sulitnya air bersih. Bagi sebuah rumah sakit, air bersih memang amat urgen sekali karena hal itu berkaitan erat dengan pelayanan terhadap pasien.

 

Pernah terjadi di beberapa wilayah negeri kita terjadi kekeringan yang amat parah. Ternak kesulitan air, padi dan tanam-tanaman lainnya mati sehingga menimbulkan dampak bagi kehidupan petani yang memang menggantungkan kehidupannya kepada hasil pertanian.

 

Bahkan ada juga wilayah di Tanah Air yang terus menerus mengalami kesulitan air bersih karena tanah yang memang tandus. Kondisi seperti itu acapkali dicarikan solusi dengan melibatkan mereka yang ahli dalam bidang teknologi air bersih, sehingga realitas kekeringan itu bisa diakhiri.

 

Air memiliki banyak aspek dalam hubungannya dengan kehidupan manusia, air menjadi sesuatu yang dibutuhkan, air menjadi “kawan” dan “pemberi hidup”; namun air juga bisa menjadi “musuh”. Tatakala kita mengalami haus, kekeringan, banyak tanaman dan hewan yang mati maka air menjadi ‘kawan’, menjadi sesuatu yang dibutuhkan.

 

Namun ketika air itu menyebabkan wilayah-wilayah kebanjiran, banyak korban berjatuhan dan menimbulkan kerugian yang tidak kecil maka air tidak lagi dalam posisi “kawan” tetapi “musuh”. Walaupun air yang banjir itu penyebabnya adalah manusia juga!

 

Pepatah yang dikutip diawal bagian ini menyatakan tentang “menyiram air pada abu rumah yang terbakar”. Air amat diperlukan pada saat terjadi kebakaran. Tetapi jika sesuatu rumah itu sudah terbakar habis dan menjadi abu, maka air tidak lagi punya makna untuk menyiram. Pepatah ini menyadarkan kita bahwa sikap terlambat sama sekali tidak punya arti dan tidak memiliki manfaat. Dalam konteks menghadapi kebakaran diperlukan kecepatan ekstra untuk menyiramnya. Ada sindiran yang sarkastis kepada (bangsa) kita yang selalu diulang-ulang. Jika terjadi bencana, kata sindiran itu, kita lebih sibuk membentuk *panitia* ketimbang segera bertindak mengecek on the spot ke lokasi. Kita harus segera meninjau *locus delicti* bukan mencari orang untuk ditetapkan menjadi Panitia.

 

Mari kita gunakan air untuk menyiram rumah yang terbakar secepatnya sebelum rumah itu jadi abu. Rumah besar Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini menyemburkan hawa panas yang membuat hidup tidak nyaman. Semburan awan panas terutama sekali karena masih ada upaya untuk mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar yang lain yang tidak sesuai dengan hakikat bangsa ini sebagai bangsa yang majemuk. Mari kita segera mengambil air agar hawa panas itu didinginkan sehingga tak sempat membakar jadi abu Rumah Besar ini.

 

Selamat berjuang. God bless.

 

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here