Pdt. Weinata Sairin:”Whatever you do will be insignificant but it is very important that you do it” (Mahatma Gandhi)

0
1224

Kekuatan sosok dan figur manusia sejatinya berada pada dua aspek penting yaitu *kata* dan *tindak*. Manusia berkata-kata mengekspresikan pemikirannya, menuangkan gagasannya yang cerdas bernas, memotivasi dan visioner. Manusia mewujudkan kata-katanya itu dalam tindak nyata, dalam “action”. Manusia tidak dalam posisi yang acap diplesetkan anak muda : no action, talk only. Manusia itu talk dan action, disitulah hakikat manusia. Bahwa ada saja manusia yang hanya berkata saja dan tidak pernah berbuat, atau yang berbuat tapi perbuatannya tidak senafas dengan perkataannya itu harus dimaknai sebagai sebuah kasus.

Dari buku-buku sejarah kita mengalami pembelajaran bahwa pemikiran dan perbuatan sosok seorang manusia selalu dikenang bahkan melewati masa-masa berabad-abad sesudah manusia itu sendiri telah menghadap KhalikNya. Melalui buku-buku yang ditulis kita tahu sosok Hamka, Iwan Simatupang, AA Navis, Mr Silaban, AA Maramis, KH Wahid Hasyim, Mukti Ali, Lapian, Pattimura, Cut Nyak Dien, Dewi Sartika dan masih banyak lagi. Mereka mengisi hari-hari hidupnya dengan mengukir karya terbaik di bidang masing-masing, memberi yang terbaik bagi banyak orang tanpa mempersoalkan keberbedaan yang ada.

Perbuatan dan perkataan sosok manusia tentu didasarkan pada nilai agama yang sejak kecil terpateri dalam kediriannya. Ajaran agama yang ditekuni sejak awal direfleksikan dalam perkataan dan perbuatan seseorang dalam kehidupannya ditengah sejarah. Itulah sebabnya pendidikan agama didalam keluarga dan yang dilakukan oleh lembaga/komunitas keagamaan amat penting dan mendasar bagi seseorang. Selain nilai-nilai agama, ada nilai-nilai lain yang juga memasuki khazanah pemikiran seseorang, bisa ideologi, filsafat dan ilmu-ilmu lain yang kesemuanya harus memperkuat nilai-nilai religiositas yang ada dalam diri seseorang. Andaikan ada nilai-nilai lain diluar nilai keagamaan yang ternyata substansinya berbeda dengan nilai keagamaan yang dianutnya, maka nilai lain itu semestinya tidak boleh menafikan, apalagi membongkar dan atau menggantikan nilai keagamaan yang memiliki aspek sakral-transendental.

Perkataan dan perbuatan seorang manusia memiliki pengaruh yang besar, terutama orang-orang yang berada dalam jabatan dan posisi tertentu. Pilihan kata atau istilah yang digunakan, intonasi dan aksentuasi ketika pernyataan itu disampaikan secara verbal akan selalu diberi makna dan tafsir tatkala figur pejabat atau tokoh politik mengungkapkan hal itu diruang publik. Bisa saja terjadi sebuah pernyataan seseorang diruang publik yang tidak tepat dari aspek tertentu akan menuai kegaduhan besar yang berada diluar perkiraan, apalagi jika pernyataan itu berkaitan dengan hal sensitif dalam sebuah masyarakat majemuk.

Dengan memperhatikan realitas kemajemukan, tingkat intelektualitas masyarakat, sensitivitas terhadap hal yang berhubungan dengan _sara_ maka sebaiknya dalam pidato ceramah diruang publik dengan audiens yang majemuk para pejabat tidak mengutip dan atau menggunakan istilah/terminologi agama, baik agama yang dianutnya maupun agama-agama yang dianut oleh warga masyarakat.

Dalam sebuah masyarakat yang amat majemuk dari segi suku, agama, ras dan antar golongan yang berulang kali mengalami konflik bernuansa *sara* seluruh pejabat/pemimpin bahkan setiap warga bangsa harus menghindari ucapan yang bisa dipersepsi mendiskreditkan sara, tidak mengungkapkan ujaran kebencian dan berbagai ungkapan negatif tentang pihak lain melalui media apapun.

Bukan saja perkataan yang mesti dijaga sehingga kita harus mengungkapkan kata-kata positif, elegan, bernas dan bermakna dalam berinteraksi dengan orang lain, tetapi juga perbuatan kita harus dijaga dengan baik.

Perbuatan, tindakan, action dari kita sebagai umat beragama seharusnya tindakan yang positif, yang produktif dan bermakna bagi orang lain. Tindakan, perbuatan kita seharusnya tindakan yang mempersembahkan tubuh kita _sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah_. Tindakan kita seharusnya adalah tindakan yang *mempersembahkan kurban bagi Allah*dan bukan *tindakan yang menjadikan orang lain sebagai korban*. Kurban (sacrifice) mesti dikedepankan dan korban (victim) di delete dari pola pikir kita.

Pada saat umat Islam merayakan Hari Idul Adha 1438 H tanggal 1 September 2017 maka kita semua sebagai warga bangsa memperoleh penyadaran ulang bahwa berkurban, mempersembahkan sesuatu bagi Allah dan bagi sesama manusia adalah sebuah pernyataan iman, sikap iman, refleksi dan wujud serta buah iman yang hidup. Kita mesti belajar dari Ibrahim (Kristiani : Abraham) bagaimana iman yang hidup itu memerlukan sebuah pembuktian.

Seorang besar seperti Gandi mengingatkan bahwa apapun yang kita perbuat tidaklah signifikan, tapi hal yang paling penting adalah berbuat, bertindak. Dalam rasa syukur atas Hari Raya Idul Adha 1438, mari terus berupaya mempersembahkan *kurban* dan tidak menjadi *korban* atau membuat orang lain menjadi *korban*.

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here