Pdt. Weinata Sairin: Longa est vita si plena est. Hidup akan terasa panjang apabila penuh dengan perbuatan bermakna

0
1440

Ungkapan “klise” dan standar yang diucapkan tatkala kita memperingati dan mensyukuri hari ulangtahun kita adalah “semoga panjang umur”. Ungkapan ini agak berat dan cukup sulit jika yang berulang tahun adalah seorang yang memasuki usia diatas 80 tahun dan kondisi fisiknya agak lemah. Kita biasa memodifikasi ucapan itu dengan ungkapan yang lebih elegan yang ‘manusiawi’ sehingga aspek syukur dan sukacita dari orang yang berulangtahun tetap terasa dan terjaga. Bahasa yang agak ‘sakral’ dan ungkapan penyerahan diri kepada Tuhan biasanya lebih dikedepankan. Istilah “panjang umur” itu sendiri sebenarnya juga bernuansa kontradiktif dari segi teknis praktis. Sebab tatkala kita misalnya memasuki usia 69 tahun, sejatinya umur kita berkurang satu tahun dari *kuota* atau apapun istilahnya yang sudah ditetapkan oleh Sang Kuasa Transenden, Tuhan Yang Maha Esa. Jadi ketika kita diucapkan “panjang umur” sebenarnya kita “kekurangan” satu tahun dari jumlah umur yang telah ditetapkan bagi kita.

Namun apapun dan bagaimanapun tafsir atas ucapan standar ” semoga panjang umur” kita tetap bahagia dan bersukacita atas ucapan hari ulang tahun yang ditujukan kepada kita dengan berbagai varian didalamnya. Maka tatkala saya memasuki hari ulang tahun ke-69 tanggal 23 Agustus 2017, saya menerina ucapan selamat itu sejak pk 24.00 dari pendamping setia saya, anak-anak, menantu dan begitu banyak orang dan lembaga yang selama ini membina relasi dengan saya. Hal seperti itu tentu amat membahagiakan saya dan siapapun juga yang mengalami momen-momen indah seperti itu.

Saat ulangtahun amat baik untuk melakukan refleksi diri : apakah hidup kita hingga detik ini sudah bermakna bagi orang disekitar kita, bagi orang banyak; adakah hidup kita pernah menyakiti dan menimbulkan luka batin bagi orang lain. Hindarkan refleksi yang cenderung melankolis : apakah tahun depan saya masih hidup? Pertanyaan reflektif akan membantu kita untuk menampilkan sebuah kehidupan yang berkualitas menyongsong “recall” dari Tuhan atas diri kita.

Hidup yang diberkati Tuhan dengan ‘penambahan’ usia memang mesti diisi dengan hal-hal positif menuju terminal penghabisan. Pengabdian, dedikasi adalah hal penting yang perlu dikedepankan dalam menapaki hari-hari kedepan yang Tuhan anugerahkan. William Gladstone negarawan besar Inggris pada suatu hari sedang memprsiapkan pidato yang akan disampaikannya didepan parlemen esok hari.

Pada saat ia menulis ia berhenti untuk pergi mengunjungi seorang anak kecil yang sedang bergumul karena ajal yang mendekat. Ia menyaksikan dan mendampingi sang bocah mengakhiri hidupnya. Tatkala ia kembali lagi untuk menulis teks pidatonya ia berkata :”Pidato ini mungkin saja gagal, mungkin juga tidak. Kerajaan mungkin saja bisa runtuh, mungkin juga tidak. Tetapi menolong seorang bocah apalagi disaat ia mengakhiri hidupnya, membuatku memperoleh keindahan yang amat elok”.

Tindakan Gladstone amat tepat dan bijaksana, ia menghentikan kegiatan rutinnya menyiapkan teks pidato dan memberi makna pada *hidup* seorang bocah. Apresiasi terhadap “hidup” dan meninggalkan kerutinan bisa disebut sebagai tindakan cerdas dari orang yang berfikir “out of the box”. Sikap seperti ini agaknya bisa menjadi acuan dan referensi bagi kita dihari-hari kedepan.

Pepatah yang dikutip dibagian awal tulisan ini memberikan penyadaran bagi kita bahwa hidup akan terasa “panjang” apabila penuh dengan perbuatan bermakna. Perbuatan bermakna ? Ya, mengasihi dan melayani setiap orang tanpa pertimbangan *sara*, tidak melakukan perbuatan melawan ajaran agama/ melawan hukum, tidak melakukan ujaran kebencian, mewujudkan harmoni, damai sejahtera dalam kehidupan.

Selamat berjuang. God bless.

Weinata Sairin

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here