Jakarta, Suarakristen.com
Rencana pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dihembuskan pemerintah bisa disebut sebagai tanda kekalahan pemerintah yang seharusnya berkuasa dalam mengawal bertumbuhnya nilai-nilai Pancasila di tengah bangsa Indonesia. Ini menunjukkan selama belasan tahun pasca reformasi, pemerintah belum mampu mengarustamakan ideologi Pancasila di tengah masyarakat. Bagaimanapun dugaan yang disampaikan oleh Pemerintah melalui pernyataan resmi Menkopolhukam, Wiranto bahwa HTI tidak sejalan dengan Pancasila harus dibuktikan melalui jalur hukum.
Berbagai program yang diciptakan negara untuk mengawal Pancasila selama belasan tahun, bisa dikatakan belum memberi hasil optimal. Ini bisa dilihat dalam pernyataan resminya, Wiranto juga bakal membidik organisasi lainnya yang disinyalir tidak berdasarkan Pancasila. Terkesan kebijakan ini merupakan tindakan reaktif yang tidak direncanakan dengan matang. Sementara di sisi lain, Dewan Kerukunan Nasional dan Unit Pemantapan Ideologi Pancasila yang dicanangkan Presiden sejak berbulan-bulan lalu untuk pengarustamaan Pancasila dan upaya deradikalisasi di tengah masyarakat malah belum terbentuk sampai sekarang.
Kebijakan yang dilakukan pemerintah bisa menjadi celah untuk melakukan pembungkaman terhadap demokrasi yang sesungguhnya. Setiap warga negara Indonesia seharusnya mempunyai kebebasan untuk mempelajari ideologi apa pun. Pembungkaman ini menambah cidera pada kehidupan berdemokrasi di Indonesia.
Sebagai kelompok masyarakat terbesar di Indonesia, tentunya masyarakat Islam ada yang tersakiti dengan pernyataan ini. Jika memang Pemerintah serius dalam menegakkan aturan, seharusnya Pemerintah mendaftarkan dulu gugatannya baru berbicara, bukan sekedar melakukan “gertakan” di hadapan publik.
Menurut kami, tindakan ini bukan sebagai tindakan hukum, tetapi sebagai tindakan politis. Apalagi jika tindakan ini tidak dilanjutkan dengan pendekatan hukum juga pendekatan dialog di akar rumput. Dikuatirkan malah akan ada gerakan yang lebih massif yang akan semakin merepotkan pemerintah dan mengganggu kerukunan dan kebersamaan di tengah rakyat Indonesia yang beragam.
Soal pembubaran HTI atau pun ormas yang diberi label oleh pemerintah sebagai ormas radikal yang bertentangan dengan Pancasila haruslah terjadi di ruang yuridis formil, bukan opini liar di tengah masyarakat yang bisa berakibat terhadap kecemasan. Rasa cemas bisa memberikan kontribusi buruk terhadap pembangunan di Indonesia.
Permasalahan kelas sosial seharusnya yang menjadi tajuk utama pemerintah dalam membangun opini di Indonesia. Sistem ekonomi di Indonesia yang dipraktekkan pemerintah tidak secara serius mengutamakan ekonomi berbasis Pancasila yang dapat diterjemahkan bahwa, rakyatlah sesungguhnya yang harus menguasai alat-alat produksi. Bukan penguasaan sebanyak-banyaknya oleh korporasi/perorangan. Dan yang lebih disesalkan, diduga ada juga oknum-oknum yang menggunakan isu SARA dan radikalisme sesuai kepentingan masing-masing. Kita seharusnya menghormati konsensus yang dilakukan para pendahulu bangsa, bahwa kepentingan bangsa harus diatas setiap kepentingan kelompok.
Jakarta, 8 Mei 2017
Salam hangat,
Pengurus Pusat GMKI
Sahat Martin Philip Sinurat
Ketua Umum
Alan Christian Singkali
Sekretaris Umum